Jejak penerima nobel di Goettingen
Tulisan ini kutulis pada tahun 2014, ketika aku baca2, rajin juga dulu aku nulis di blog. Silakan dibaca, semoga bermanfaat yaa
Udara sejuk menyambut kedatangan kami seketika kami keluar dari stasiun kereta api di kota Goettingen. Sejuknya udara sangat terasa walaupun masih terhitung akhir musim panas. Bukan hanya kami yang merasa udara di Goettingen sangat dingin, tapi juga para pengajar yang merupakan penduduk asli Jerman mengakui adanya penurunan suhu pada tahun ini. „Cuaca seperti ini harusnya kita rasakan satu bulan yang akan datang, musim dingin akan datang lebih awal tahun ini dan persiapkan diri kalian dengan baik‘ ungkap salah seorang pengajar di Goethe Institut Goettingen dimana saya bersama teman-teman belajar bahasa dan kebudayaan Jerman. Setelah program belajar di Goettingen selesai akan dilanjutkan dengan program studi masing-masing di kota yang berbeda-beda dalam rentang waktu 2 tahun bagi kandidat master dan 3 tahun bagi kandidat doktor dalam rangkaian program beasiswa DAAD-Aceh.
Hal yang menarik perhatian saya sejak pertama menginjakkan kaki di Goettingen adalah suasana klasik yang sejuk dengan jejak para ilmuan yang masih bisa dilihat dengan jelas oleh para pendatang. Kota yang dikenal sebagai Universitätstadt atau kota universitas ini terletak di bagian Niedersachen dengan polpulasi sekitar 121.364 (2012) jiwa memiliki 44 penerima nobel sejak tahun 1905 dari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, kedokteran, literatur dan perdamaian. Di kota tua yang berdiri pada tahun 953 ini umumnya nama-nama jalan diadopsi dari nama-nama para ilmuan seperti Robert-Koch-Str. yang terletak tidak jauh dari klinik (Klinikum) Universitas Goettingen, Robert Koch (1843-1910) dianugerahi nobel di bidang kedokteran pada tahun 1905 untuk investigasi dan penemuannya yang berkaitan dengan Tuberculosis. Terdapat pula keterangan di setiap nama jalan tentang siapa ilmuan tersebut dan bidang yang dikuasainya.
Selain itu juga pada beberapa rumah terdapat plakat sebagai tanda bahwa rumah tersebut pernah ditinggali para ilmuan atau orang terkemuka di kota Goettingen. Ada sebuah rumah yang menarik bagi saya yang terletak di jalan Merkelstrasse no 4 Goettingen yang sekarang digunakan sebagai bangunan utama Goethe Institut Goettingen, merupakan sebuah rumah dari seorang ilmuan yang berasal dari Oslo, Norwegia, bernama Fridtjof Nansen (1861-1930) yang mendapat penganugerahan nobel pada tahun 1922 karena membantu para korban perang dunia pertama. Rumah tersebut pernah ditinggali oleh ilmuan bernama James Franck (1882-1964) selama kurang lebih 10 tahun pada sejak tahun 1923 sampai tahun 1933, Franck bersama dengan Gustav Hertz merupakan penerima nobel fisika untuk penemuan hukum yang mengatur dampak dari electron pada atom. Selain plakat dan nama jalan juga terdapat beberapa patung para ilmuan seperti Gaus dan Weber yang terletak di Bürgerstrasse, tidak terlalu jauh dari pusat kota Goettingen. Patung perak Gaus dan Weber yang dibuat pada tahun 1899 oleh Ferdinand Hartzer ini menunjukkan kerjasama guru dan anak didiknya dalam penemuan telegrap elektromagnetik.
Gambar: Carl Friedrich Gauss dan Wilhelm Weber (denkmale.goettingen.de)
Banyaknya para ilmuan yang menetap di Gottingen bisa disebabkan karena posisi geografis kota ini yang sangat strategis terletak di di bagian tengah negara Jerman sehingga menjadi sentral ilmu pengetahuan yang juga didukung dengan adanya sebuah universitas besar yang didirikan pada tahun 1734 oleh George II yang merupakan raja dari Britania Raya. Universitas ini merupakan universitas tertua di propinsi Niedersachsen dengan sekitar 26.000 mahasiswa yang terdiri dari 11% mahasiswa international. Universitas tertua ini juga memiliki 13 fakultas dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Selain itu juga terdapat monumen dimana pertama kalinya teknologi telekomunikasi elektromagnetik bekerja pada tahun 1833 yang juga berisi pesan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia „Mengapa tidak segera menghubungi rumah dan ceritakan bahwa kamu tepat berada di satu tempat di Goettingen di mana tele komunikasi elektromagnetik pertama kali bekerja di tahun 1833. Dan ceritakan juga bahwa kamu baru saja mencoba dan mengalami bagaimana sulitnya di jaman itu“.
Dari sini saya menilai betapa warga Gottingen menghargai ilmu pengetahuan hingga jejak para ilmuan tidak lekang begitu saja dari kota tua ini. Dan ketika bukti-bukti sejarah ini mulai rapuh, mereka tidak langsung menghancurkan dan membangun bangunan baru nan modern, namun bangunan lama tersebut dipugar sehingga ciri khas kota klasik masih melekat yang juga mengundang banyak wisatawan dan pelajar dari seluruh dunia sehingga devisa negara juga terbantu. Saya hanya bisa berharap kita juga bisa melakukan hal yang sama di Aceh sehingga situs-situs sejarah dari masa kerajaan Aceh bisa dinikmati hingga ratusan tahun berikutnya yang merupakan identitas daerah.