Mengenal Pocut Meurah Intan
*Mengenal
Pocut Meurah Intan
( Pocut Di Biheu )
]] Pocut Meurah Intan (1833-1937): Wanita dari Aceh yang Terlupakan
Dia dijuluki oleh belanda " Singa Betina".
Karena begitu garangnya beliau Ketika menikam 18 tentara Marsose Dengan hanya memakai Rencong.
Makamnya terletak di Tegalsari, Blora, Jawa Tengah.
Masih banyak wanita hebat Aceh lainnya yang gigih berjuang hingga meninggal dalam perlawanannya. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia adalah hanya sebagian kecil dari pengobar semangat perlawanan terhadap pemerintah Kolonial Belanda.
Pocut Meurah Intan namanya. Lahir di Biheue pada tahun 1833. Biheue adalah sebuah uleebalang (kenegerian) yang merupakan Wilayah Sagi XXII Mukim di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Pocut Meurah Intan adalah putri keturunan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya merupakan seorang Kejruen (Kepala Negeri) Biheue. Pocut Meurah Intan memiliki suami bernama Tuanku Abdul Madjid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam.
Pocut Meurah Intan memiliki 3 (tiga) orang putra bernama Tuanku Muhammad atau biasa dikenal Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, Tuanku Nurdin. Kesemua anaknya berjuang dalam Perang Aceh. Perang Aceh adalah peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dengan Belanda.
Pocut Meurah Intan juga merupakan ibu tiri dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (Sultan terakhir Kesultanan Aceh).Pocut Meurah merupakannama panggilan khususbagi wanita keturunan keluarga Kesultanan Aceh.
Pocut Meurah Intan adalah pemimpin perang gerilya di Daerah Laweung. Pocut Meurah Intan juga mengajak ketiga putra untuk ikut berperang. Beliau memimpin pasukan keluar-masuk hutan. Begitu seringnya Pocut Meurah Intan bersama pasukannya menyerang pasukan Belanda.
Namun, putra pertama yaitu Tuanku Muhammad atau Muhammad Batee tertangkap pada bulan Februari 1900. Tertangkapnya putra pertama membuat Pocut Meurah Intan semakin bersemangat Cintanya dengan tanah kelahiran yang diilhami oleh kepercayaaan pada agama dan pendidikan dari guru nya.
Pada tanggal 11 November 1902, Pocut Meurah Intan tertangkap di Gampong Sigli.
Tertangkapnya Pocut Meurah Intan memberikan kesan tersendiri. Hal ini diceritakan oleh H.C.Zentgraaff, seorang wartawan Belanda dan pemimpin redaksi koran De Java Bode yang meliput perang di Aceh.
Zentgraaff menceritakan bahwa Pocut Meurah Intan dikejar oleh 18 orang marsose (marechaussee/serdadu) yang dipimpin oleh Veltman. Marsose adalah satuan militer yangdibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda sebagai pasukan taktis melawan gerilyawan Aceh.
Termasuk menangkap Pocut Meurah Intan. Pocut Meurah Intan yang dalam keadaan sendiri namun tidak menyerah begitu saja. Dengan rencongnya, beliau menusuk seluruh pasukan marsose tanpa takut. Dalam penyerangan tersebut, Pocut Meurah Intan terluka parah.
Karena semangat juang beraninya. Belanda menjulukinya ‘Heldhafting’ yang memiliki arti yang gagah berani’.
Pada tanggal 6 Mei 1905, Pocut Meurah Intan bersama kedua putranya dan seorang keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim dibuang ke Blora, Jawa Tengah tepatnya di desa Muman.
Di tempat pembuangannya itu, Pocut Meurah Intan yang belum banyak dikenal orang. Selama pembuangannya tersebut, masyarakat Blora lebih mengenal dengan nama “ Mbah Tjut”.
Dalam pembuangannya, beliau tidak dapat lagi berjuang karena terkendala komunikasi dengan pengikut-pengikutnya. Sampai akhirnya Beliau wafat di usia sekitar 105 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Desa Tegal Sari, Kabupaten Blora tepatnya pada tanggal 19 September 1937.
Pocut Meurah Intan merupakan wanita di bidang pertahanan dan kemiliteran yang perlu dicontoh. Beliau berjuang demi martabat bangsanya tanpa mengorbankan waktu dengan anak-anaknya.Justru beliau maju bersama berjuang bersama anak-anaknya.
Pocut Meurah Intan adalah seorang ibu yang piawai dan pejuang yang teguh dalam pendirian. Beliau merupakan wakil dari Rakyat Aceh sebagai bagian dari perjuangan. Beliau pula adalah pahlawan bagi kaumnya dan bangsanya.
*Sumber :
H.C.Zentgraaff, seorang wartawan Belanda dan pemimpin redaksi koran De Java Bode yang meliput perang di Aceh.