Gadget dan Minat Baca di Era Literasi Digital | Gadgets and Reading Interests in the Era of Digital Literacy |

in STEEM Literacy4 years ago



Keberadaan gadget yang yang menggerus minat baca ternyata tidak sepenuhnya benar. Jumlah buku yang terjual di jaringan toko buku Gramedia yang tersebar di seluruh Indonesia, meningkat dalam tiga tahun terakhir ini.

Pada 2016, jumlah buku yang terjual adalah 18,6 juta buku. Jumlah ini meningkat menjadi 29,7 juta buku pada 2017 dan meningkat lagi menjadi 34,7 juta buku pada 2018. Ini hanya di jaringan toko buku Gramedia saja. Padahal, masih banyak jaringan toko buku lainnya di seluruh Indonesia. Belum lagi toko buku yang tidak masuk jaringan mana pun.

Perpustakaan Nasional menyebutkan penerbitan buku dalam tiga tahun terakhir di Indonesia sangat fluktuatif. Pada 2016, diterbitkan 50.090 judul buku dan turun menjadi 45.506 judul buku pada 2017. Namun pada 2018, melonjak menjadi 68.290 judul buku. Dari data ini, terlihat teknologi digital tidak serta merta menggerus penerbitan buku cetak.

Bukan disrupsi gadget saja yang menjadi tantangan meningkatkan jumlah minat baca di Indonesia. Jumlah penduduk yang mengalami buta aksara juga masih tinggi, yakni 3.4 juta orang. Angka ini setara dengan jumlah penduduk di negara kecil di benua Eropa.

Teknologi digital jangan dipandang sebagai musuh dalam meningkatkan minat baca. Di negara baca, bahkan di Indonesia, literasi digital mulai menjadi membudaya, meski di Indonesia masih di kalangan tertentu saja, misalnya generasi milenial di perkotaan.

Teknologi digital jangan sampai menggerus jumlah pembaca buku di Indonesia, sebab kini buku pun tersedia dalam berbagai bentuk yang bisa dibaca kapan saja dan di mana saja.

Peran pemerintah juga sangat penting, terutama dalam melahirkan regulasi yang mendukung minat baca seperti mengurangi bahkan membebaskan pajak penghasilan bagi penulis buku, mengurangi pajak penggunaan kertas yang digunakan untuk mencetak buku, dan insentif lainnya untuk mendorong masyarakat lebih mencintai buku.[]






Gadgets and Reading Interests in the Era of Digital Literacy

The existence of gadgets that erode reading interest is not entirely true. The number of books sold in the Gramedia bookstore network throughout Indonesia has increased in the last three years.

In 2016, the number of books sold was 18.6 million books. This number increased to 29.7 million books in 2017 and increased again to 34.7 million books in 2018. This is only in the Gramedia bookstore chain. In fact, there are still many other bookstore chains throughout Indonesia. Not to mention the bookstores that are not on any network.

The National Library said the publication of books in Indonesia has been very volatile in the last three years. In 2016, 50,090 book titles were published and decreased to 45,506 book titles in 2017. But in 2018, it jumped to 68,290 book titles. From this data, it can be seen that digital technology does not necessarily erode printed book publishing.

It is not only the disruption of gadgets that is a challenge to increase the number of reading interests in Indonesia. The number of illiterate people is still high, namely 3.4 million people. This figure is equivalent to the population in a small country on the European continent.

Digital technology should not be seen as an enemy in increasing interest in reading. In reading countries, even in Indonesia, digital literacy is starting to become entrenched, even though it is still only in certain circles in Indonesia, for example, the urban millennial generation.

Digital technology should not erode the number of book readers in Indonesia, because now books are available in various forms that can be read anytime and anywhere.

The role of the government is also very important, especially in creating regulations that support reading interest, such as reducing or even exempting income tax for book authors, reducing taxes on the use of paper used for printing books, and other incentives to encourage people to love books more. []



Sort:  

Poin terakhir aku setuju banget bg, bahwa peran pemerintah harus ada di sini. Terus pemerintah juga tegas untuk menindak pelaku buku bajakan, kasihan penulisnya kalau banyak buku yang dibajak yang kaya justru para pembajak, sedangkan penulis dibebankan pajak.

Benar sekali @yellasaints24. Di negara maju, harga buku lebih rendah, minat baca masyarakatnya tinggi. Sedangkan di Indonesia, harga buku mahal, penulisnya miskin karena royalti penulis pun dikenai Ppn. Harusnya untuk karya intelektual, Ppn itu tidak boleh dikenakan lagi.

Long ka u dalam beh 😁

Bereh that adoe @midiagam. Tapi hana jai SP di sinoe. Bacut-bacut ta grak dan yang peunteng, na edukasi untok peningkatan kemampuan literasi baik menulis, membaca, maupun memaknai. Jai penulis hebat di sinoe.

 4 years ago (edited)

Jai penulis hebat di sinoe.

Nyan keuh yang mendorong long untuk galak tameng lam grup nyoe

Hana masalah nyan bang Ayi, hana that lon fokus keu jumlah vote, yang penteng ka resmi jeut keu anggota. Pokok jih karap mandum komunitas na long idalam, sampe bak pehtem na cit😂

salam literasi ✨

Alhamdulillah @midiagam. Memang hana masalah tanyoe tamoeng bak mandum komunitas. Yang penting, na manfaat bagi tanyoe dan komunitas.

#SalamLiterasi

Sepakat 👍

na neukalon bang midi, dua foto syewek saboh foto ureung agam. tau kan maksudnya? :D

Yaya, pasti ada udang dibalik bakwan, oopppsss, dibalik batu maksudnya 😅

Lon ka bergabung

Terima kasih Om Jon @darmawanbuchari. Kita jadikan komunitas ini sebagai tempat diskusi konstruktif.

Siap bang

Terima kasih Om Jon @darmawanbuchari.