Köhlerboom's Short Story: A Literary Reflection on Caring for the Earth: Bahasa

in Hot News Community2 days ago (edited)

Di tengah bencana banjir Sumatra yang merenggut lebih dari 1.100 jiwa dan puluhan ribu masih mengungsi, izinkan saya memposting cerpen berjudul Köhlerboom yang saya ikutsertakan dalam Lomba Cerpen Hari Bumi tahun 2019 silam.

Cerpen ini tidak menang, tetapi menjadi salah satu cerpen unggulan. Köhlerboom terinspirasi dari penebangan pohon Kohler di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, demi membangun payung elektrik. Keputusan Pemerintah Aceh saat itu bukan saja tidak berpihak kepada alam, tapi juga membakar sejarah terpenting tentang Belanda dan Aceh di masa lalu. Ingat, dalam sejarah pendudukan Hindia Belanda, hanya satu jenderal Belanda yang mati, dan itu terjadi di Aceh.


Banjir di Peusangan_02.jpg
Salah satu foto dramatis dalam banjir Aceh: korban banjir dievakuasi dengn peralatan seadanya, kerja sama warga dengan polisi, dan potongan kayu hasil penjarahan hutan.


Köhlerboom

Cerpen Ayi Jufridar

BULDOSER kuning kusam yang berdiri tak jauh dari Köhlerboom di halaman Masjid Baiturrahman telah mempertemukan Raja dengan Sofie—sepasang anak muda yang berbeda dalam banyak hal—di sebuah sore yang kelabu. Mereka duduk berhadapan dan hanya dipisahkan sebuah meja kecil kayu berpelitur, senada dengan warna sanger yang tinggal separuh dalam gelas Sofie dan nyaris tandas dalam gelas Raja.

Sebenarnya, justru Sofie yang lebih bersemangat menyesap sanger setelah Raja memperkenalkan minuman itu sejak hari pertama kedatangannnya. Kata Raja, sanger adalah kopi dengan sedikit susu, tapi bukan kopi susu karena aroma dan rasa kopi yang lebih kental. Menurutnya, sanger yang nikmat itu terasa sedikit jejak pahit di ujungnya yang terjebak di antara rasa manis susu dan gula. Sungguh komposisi yang sempurna.

Keasyikan Sofie menyesap sanger terinterupsi dengan gawainya yang bergetar di tengah percakapan mereka yang serius. Ia harus menjawab panggilan video maminya dari Amsterdam. Perempuan itu berseru ketika melihat wajah maminya dan bertanya pukul berapa di sana, lalu menanyakan kabar maminya tanpa merasa perlu menunggu jawaban tentang perbedaan waktu.

Raja mengalihkan perhatian pada minumannya agar tidak terkesan sedang mencuri dengar percakapan Sofie dengan maminya. Seandainya ia menyimak percakapan itu pun, ia tetap tidak paham maknanya. Bahasa Indonesia Sofie pun masih sering membingungkan sehingga Raja harus meminta gadis itu mengulangnya, apalagi kalau Sofie bicara dalam bahasa Belanda.

Namun, Raja tetap ingin memberikan kenyamanan kepada Sofie selama berinteraksi dengan maminya. Setelah menyesap sanger berkali-kali, ia mengalihkan perhatian kepada suasana di luar.

Cuaca sulit diramal akhir-akhir ini. Pagi matahari bersinar cerah seolah menjanjikan kehangatan sampai gelap turun. Tetapi dua jam kemudian sinarnya redup, berganti dengan awan kelabu yang memayungi hingga orang menduga sebentar lagi hujan akan turun. Tiga jam berikutnya matahari kembali bersinar garang, menggeser awan-awan kelabu ke ujung cakrawala dan kemudian lenyap dari pandangan. Gejala seperti itu terjadi di segala musim, termasuk di bulan-bulan pertama di awal tahun seperti sekarang.

Ketika perhatian Raja tertuju ke luar, tiba-tiba ia merasakan punggung tangannya disentuh dan Sofie meminta maaf karena percakapan mereka terputus.

“Mami kirim salam buatmu dan keluarga. Dia sangat khawatir, ini perjalanan lintas benua pertama bagiku. Dia masih berpikir masih ada konflik bersenjata di sini atau dampak tsunami belum pulih. Padahal itu sudah lama sekali,” Sofie tertawa pelan lalu mengedikkan bahunya sebelum melanjutkan; “Sebenarnya Mami juga ingin ikut, dia sudah pernah ke sini dengan Om dan Tante dulu. Sayangnya kesehatan Mami kurang mendukung untuk perjalanan jauh. Aku juga mengajak sepupu, tapi mereka lebih mementingkan kuliah daripada napak tilas. Aku tidak menyalahkan mereka. Barangkali suatu saat nanti mereka juga akan ke sini. Itu janji mereka, tetapi aku tak yakin. Kamu tahu, anak muda zaman sekarang tidak menganggap itu penting. Aku tahu yang kamu pikirkan, aku juga anak muda zaman sekarang, tapi aku adalah pengecualian.”

Mereka tertawa bersama. Raja menekankan kata “pengecualian” dengan nada penuh kekaguman. Tidak salah bila ia menghubungi Sofie ketika mendapatkan informasi umur Köhlerboom terancam.

“Ketika aku belajar Bahasa, sepupuku heran. Menurut mereka, lebih penting Spanyol atau Mandarin. Aku tetap memilih Bahasa karena alasan sejarah dan ziarah. Ada ikatan emosional di masa lalu. Kalau aku belajar bahasa Spanyol atau Mandarin, itu tidak kutemukan.”

“Aku suka dengan istilah napak tilas. Itu alasan yang tepat melakukan perjalanan jauh.”

“Perjalanan menyelamatkan Bumi, kalau mau ditambahkan. Kedengarannya berlebihan, tapi ada benarnya.”

Raja menyepakati dengan anggukan.

“Oh ya, Mami bilang semalam ada gempa di sini. Tapi aku tidak merasakannya.”

Raja juga tidak. “Ada ribuan kali gempa di sini setelah gempa besar tahun 2004 silam. Banyak yang tidak kita rasakan karena skalanya kecil. Sepertinya Bumi masih mencari posisi yang sesuai.”

“Yah, Mami membaca beritanya di internet dan itu membuatnya cemas. Padahal getarannya pun tidak terasa,” Sofie tertawa lagi untuk memberi kesan dia tidak terganggu dengan kecemasan orang tuanya. “Oh ya, sampai di mana kita tadi?”

“Buldoser sudah ada di halaman masjid. Hanya karena ada protes dan pemberitaan di media, mereka menunda merubuhkan Köhlerboom. Pohon-pohon kurma sudah tumbang beberapa hari lalu. Pemberitaan di media tidak bisa melindungi Köhlerboom lebih lama.”

“Pemberitaan media tetap penting. Tapi harus ada perlawanan lain secara politis, sosial, dan budaya. Kita bisa mendorong lembaga swadaya masyarakat lokal, nasional, bahkan internasional untuk lebih peduli pada Köhlerboom.”

“Mengangkat isu lingkungan semata tidak memiliki magnitudo besar. Daya ledaknya kecil karena hanya sebatang pohon. Ada ratusan pohon tumbang di Leuser dan banyak orang berpura-pura tidak tahu, termasuk media yang tidak sungguh-sungguh melakukan investigasi di sana, kecuali menerima laporan pihak lain dan mengemasnya menjadi berita. Barangkali mereka juga tidak bisa disalahkan. Menginvestigasi kasus butuh biaya besar, waktu lalu, dan juga risiko yang relatif tinggi. Ribuan pohon ditebang, semuanya diam, termasuk pers. Semuanya baru ribut dan saling menyalahkan setelah banjir bandang datang. Untuk ribuan saja mereka diam, apalagi sebatang pohon. Mereka pikir tidak masalah untuk perluasan tempat ibadah.”

“Jangan hanya melihat sebatang pohon. Di baliknya ada sejarah besar bagi bangsamu, bagi bangsaku, terutama bagi kami sekeluarga.”

Raja terdiam ketika mendengar tekanan suara Sofie. Pemuda itu bertanya dalam hati apakah Sofie tersinggung dengan perkataannya. Apakah kalimat Sofie tadi ditujukan untuk dirinya atau untuk media dan lembaga swadaya masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan. Raja tak bisa memastikannya. Kalau sampai Sofie tersinggung, berarti gadis itu sudah keliru memahami makna ucapannya tadi. Raja berkata seperti itu menyampaikan kemungkinan cara pandang pihak LSM lingkungan yang cenderung melihat hanya dari sisi nominal saja dan melupakan sejarah penting di baliknya.

Mereka punya misi sama untuk menyelamatkan pohon Köhler. Banyak perbedaan di antara mereka, tetapi misi untuk menyelamatkan pohon Köhler membuat seluruh perbedaan itu bukanlah masalah besar.

Mengubah cara pandang para pegiat lingkungan sangat penting dalam mengatur strategi perjuangan. Raja sudah bicara dengan beberapa aktivis lingkungan di tingkat lokal. Mereka semua memiliki pandangan sama. Bukan jumlah pohon yang penting, melainkan sejarah yang mengikuti pohon tersebut sehingga harus dipertahankan.

Tapi Raja belum membicarakan Köhlerboom dengan pemerhati lingkungan di tingkat nasional, apalagi internasional. Selain belum ada jaringan yang kuat, ia juga tidak ingin ditertawai karena lebay mempermasalahkan sebatang pohon secara nasional dan internasional.

Bahkan dalam pembicaraan dengan beberapa pemerhati lingkungan di tingkat daerah, dia bisa merasakan adanya perbedaan prioritas di antara mereka terhadap upaya penyelamatan pohon Köhler. Semuanya sepakat untuk menyelamatkan pohon itu, tetapi ada yang berhenti sampai di sana. Ada yang sekadar bersuara di media karena jurnalis sudah bertanya. Tidak ada gagasan untuk merancang rencana aksi berikutnya yang lebih nyata. Raja bersyukur, sikap seperti itu ia temukan pada aktivis yang lain. Jadi, dia tidak berjuang sendiri atau dengan Sofie.

Dia melihat ke wajah perempuan itu dan berkata dengan hati-hati; “Makanya, kita harus mengemas isu sejarah bersamaan dengan isu lingkungan. Jangan sampai media atau kawan NGO hanya melihat sebatas sebatang pohon saja.”

“Satu batang pohon tumbang adalah tragedi. Ribuan pohon tumbang adalah statistik.”

“Itu kata....”

“Stalin. Tapi dalam kaitan kematian manusia, bukan pohon.”

“Aku pernah membaca sebuah artikel, katanya itu bukan kutipan Joseph Stalin. Kutipan itu sudah ada jauh sebelum Stalin hidup.”

“Baiklah, katakanlah itu benar. Tapi anggap saja kutipan itu dari Stalin karena populer dari mulut Stalin.”

“Yang lebih penting sekarang, jangan sampai itu dianggap sebagai kebenaran. Nanti, menumbangkan banyak pohon dianggap statistik, pelakunya pun dianggap sebagai pahlawan. Sama seperti membunuh satu orang membuat kita menjadi penjahat, tapi membunuh jutaan orang membuat kita jadi pahlawan. Jumlah itu menyucikan kejahatan. Aku mengutip itu entah dari siapa,” Raja mengaku sambil tersenyum lebar.

“Satu pohon sama pentingnya dengan seribu pohon. Bayangkan kalau itu pohon terakhir yang ada di Bumi. Maka seluruh umat manusia harus berjuang menyelamatkannya.”

“Aku senang dengan istilah pohon terakhir. Kamu selalu menemukan istilah yang dramatis.”

“Aku Sofie, si Penemu Istilah,” perempuan itu tertawa agak panjang. Kali sesuatu yang benar-benar lucu, bukan tawa pelengkap kalimat sebagaimana kebiasaannya selama ini, atau begitulah anggapan Raja.

“Aku sudah mengontak seorang kawan aktivis yang punya jaringan ke Gubernur. Tapi kata ajudannya, Pak Gubernur sedang berada di Berlin. Dan itu memang benar, aku membacanya di koran lokal tadi pagi,” Raja mengedarkan pandangan ke deretan meja untuk mencari harian lokal yang biasa ada di seluruh kafe dan warung kopi. Ternyata, koran tersebut sedang dibaca seorang pengunjung lain.

Ketika Raja celingukan, dia mendengar kalimat satire dari Sofie; “Wow, hebat sekali Gubernur kamu, bisa jalan-jalan ke Eropa.”

“Kamu tahu, agenda Gubernur di Berlin juga berkaitan dengan lingkungan untuk menandatangani perjanjian transaksi perdagangan karbon. Hutan yang ada di sini, punya andil menyumbang oksigen murni untuk penyehatan paru-paru dunia sekaligus menurunkan emisi karbon dari negara-negara industri, termasuk negara kamu, kan. Wajar kalau kemudian negara-negara maju ikut bertanggung jawab memelihara hutan di negara tropis. Dan negara yang merawat hutannya mendapatkan kompensasi.”

“Wow, kedengarannya hebat...”

“Di atas kertas, begitu. Tapi aku ragu ini akan berjalan lancar. Selama ini sudah banyak gagasan hebat berakhir di atas kertas. Bangsa ini pintar membangun, tidak mampu merawat. Pintar membuat rencana hebat, tapi miskin implementasi.”

Sofie merentangkan kedua tangan sembari mengedikkan bahu. Barangkali ia enggan berkomentar tentang keburukan negara lain di mana ia sedang memiliki urusan dengan negara tersebut.

“Bagaimana bisa merawat belantara kalau satu pohon saja gagal kita selamatkan,” lanjut Raja.

“Nah, itu dia,” sahut Sofie.

“Bagaimana kalau kamu membangun komunikasi dengan orang di Kedutaan Belanda. Biasanya, tekanan luar lebih mudah mengubah keputusan orang lain.”

“Itu gagasan yang bagus. “Tapi harus kepada orang yang tepat. Butuh waktu untuk mendapatkan orang yang kita inginkan, dan dalam masa itu, buldoser harus ditahan agar tidak segera bekerja.”

“Aku yakin, kamu akan menemukan orang yang tepat, sebagaimana kamu selalu menemukan istilah yang tepat.”

Sofie menyesap sangernya lalu mengangguk-angguk sembari tersenyum. “Tapi kamu harus ingat ya, aku ke sini dengan visa perawat. Jangan sampai aku bermasalah secara hukum karena dituduh menyalahgunakan visa.”

“Mungkin maksudmu pelawat, bukan perawat.”

“Oh iya, maaf, pelawat. Jadi, seperti yang pernah kusinggung dalam email, semua tindakanku tidak boleh terlalu terlihat. Ini perjuangan yang sedikit rahasia bagiku.”


81ffbbc4-d9da-4a1e-a269-70f5ba5d1f0f.jpg


Tiga bulan delapan belas hari sebelum menerima surat Kerajaan Nomor 19 tanggal 17 Januari, Johan Harmen Rudolf Köhler berbicara dengan istrinya ketika mereka melakukan ritual pagi menjelang berangkat ke kantor. Istrinya selalu mengantar sampai di depan rumah dengan menyandang tas kulit berwarna coklat tua di bahu seolah dialah yang akan berangkat kerja.

Percakapan menjelang berangkat sering terjadi, dengan topik serius maupun yang ringan. Namun pagi itu, istrinya mengingatkan agar dirinya mewaspadai pohon ketika berada di daerah perang.

Köhler tidak tahu itu percakapan ringan atau serius, tetapi ia tercenung sekejap sebelum menyahut; “Pepohonan tidak akan membunuhku,” ia menutup kalimat itu dengan tawa kecil.

Pada hari ia memeriksa pasukan di halaman Masjid Baiturrahman, entah kenapa percakapan itu terngiang kembali dalam benaknya. Pikiran militernya mengaitkan pesan itu dengan keberadaan musuh di balik pohon atau ancaman lain yang berkaitan dengan pohon. Banyak pohon di sekitar Masjid Baiturrahman yang membuat udara sekitar terasa lebih sejuk bahkan di masa perang, tetapi jumlah anak buahnya yang berjaga di sekitar pepohonan jauh lebih banyak daripada jumlah pohon itu sendiri. Tidak ada alasan untuk mencemaskan pepohonan bahkan meski mereka bisa menembak.
Entah karena paranoid atau sebagai bentuk kewaspadaan semata, dengan teropong di tangan Köhler sudah memeriksa sendiri kesiapan pasukan di sekitarnya, beberapa kali bahkan. Kesimpulannya tidak berubah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Maka dia serasa tidak percaya ketika baru saja membalas hormat anak buahnya, tiba-tiba ada rasa sakit di tangannya lalu naik ke jantung. Dia sempat bingung dengan apa yang terjadi sampai melihat noda darah membasahi seragam militernya di bagian dada.

Oh God, ik ben getroffen...!” pekiknya di tengah kepanikan yang tiba-tiba terdengar di sekitar. Ada teriakan memberi perintah, ada kegaduhan dari pasukan pengamanan. Köhler tidak bisa memastikan siapa mengatakan apa, ia hanya bisa merasakan beberapa tangan menyambut tubuhnya sebelum rubuh ke tanah. Percakapan dengan istrinya pagi itu membayang samar di tengah kesadaran yang kemudian gagal ia pertahankan.


Evakuasi korban di Lhokseumawe.jpg


Beberapa tahun setelah penembakan itu, dalam sebuah upacara militer kecil, tentara Belanda menanam pohon geulumpang di titik rubuhnya Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler. Tidak ada pertimbangan khusus mengapa pohon itu yang dipilih. Anak buah Köhler pun tidak pernah mendengar kisah percakapan sang Jenderal dengan istrinya tentang sebatang pohon yang membuat mereka harus mencari jenis pohon tertentu untuk mengenang kematian Köhler.

Geulumpang dipilih karena pohon itulah yang mudah ditemukan dan menurut mereka, pohon itu sangat kokoh dan tinggi dengan cabang-cabang tumbuh mendatar bertingkat-tingkat, cocok untuk menggambarkan karakteristik Jenderal Köhler dalam membangun karier militernya yang sempat menjadi kopral dalam masa pemberontakan Belgia. Daun-daunnya yang hijau lebat memberi keteduhan bagi siapa pun, itu pun dinilai sesuai untuk melukiskan karakteristik Köhler. Sang Jenderal kini sudah pergi, tetapi pohon geulumpang akan tetap tumbuh dan akan tetap dirasakan keberadaannya bagi generasi berikut, bahkan dari pihak musuh sekali pun. Beda kalau mereka memilih tulip, yang meskipun lebih indah tetapi tidak sesuai dengan simbol kemiliteran, selain pertimbangan usianya yang tidak bertahan lama.

Dalam pidatonya di halaman Masjid Baiturrahman ketika menanam pohon geulumpang tersebut, Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen menyebutkan beberapa alasan di atas untuk mengenang jasa-jasa Jenderal Köhler. Dia berharap, pohon yang disebutnya sebagai Köhlerboom, mencerminkan sikap patriotik Jenderal Köhler dan bisa tumbuh melebihi 54 tahun, usia hidup sang Jenderal. “Fisiknya boleh pergi, tetapi sikap patriotiknya akan terus kita kenang.”


Bendera Putih_02.jpg


Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen pun tidak pernah berpikir bahwa pohon geulumpang itu mampu melampaui usia Jenderal Köhler bahkan usia rata-rata manusia. Lebih dari seratus tahun kemudian, pohon geulumpang itu masih berdiri tegak. Sudah tidak terhitung orang yang berdiri di bawah pohon itu, baik yang paham sejarah kematian Köhler atau tidak. Banyak pengunjung memilih berdiri di bawah pohon itu untuk mengabadikan kehadirannya di Masjid Baiturrahman. Tentu saja dengan latar kubah-kubah masjid yang menjulang di belakang kepala mereka.

Ketika gubernur setempat membangun sebuah prasasti di bawah Pohon Köhler, tempat itu semakin menjadi pembicaraan dan menjadi tempat yang paling bersejarah, melengkapi berbagai kisah lain yang terjadi di sekitarnya, terutama keberadaan Masjid Baiturrahman yang sudah megah sejak zaman dulu.

Begitu megahnya masjid tersebut, Köhler yang sudah mengumpulkan berbagai informasi militer, menyusun strategi sederhana untuk menguasai tempat itu dengan membangun pangkalan militer di seputar muara sungai. Dari sanalah ia akan menguasai Istana Sultan dan menguasai ibu kota kerajaan. Kalau ibu kota sudah dikuasai, maka akan mudah melebarkan daerah kekuasaan.

Namun, Köhler harus kecewa dengan akurasi laporan yang diterimanya. Setelah menyerang dan banyak anak buahnya yang gugur, mereka memang berhasil menguasai bangunan paling megah yang ada. Tapi belakangan diketahui ternyata bangunan itu bukan Istana Sultan, melainkan Masjid Baiturrahman.

Sebagai panglima perang, Köhler merasa terkecoh karena keliru mengenali bangunan. Mereka mendapatkan amarah penduduk lokal karena merasa terhina setelah tempat ibadah mereka diserang dan dihancurkan. Kejadian itu telah membakar semangat tempur penduduk dan mereka tidak gentar menghadapi bedil. Köhler dan pasukannya telah membakar semangat juang musuh, kehilangan anak buah dalam jumlah besar, dan Istana Sultan masih tegak berdiri. Itulah kerugian yang berlipat yang dialami Köhler dalam ekspedisinya pertama bersama 3.000 anak buahnya.

Dengan sejarah kekeliruan itulah mereka berusaha melanjutkan perjuangan. Mereka yang sempat mundur dari Masjid Baiturrahman, kembali lagi dan bisa menguasai bangunan itu dalam empat hari pertempuran yang melelahkan. Tetapi Kerajaan Belanda kehilangan tak kurang dari 2.000 prajurit dan salah satu panglima perang terbaik di Hindia Belanda, Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, yang menjadi satu-satunya jenderal yang mati selama pendudukan di Hindia Belanda.

Jasad Jenderal Köhler kemudian dibawa ke Batavia melalui Singapura dengan kapal uap Koning der Nederlanden. Pemerintah Hindia Belanda sempat merencanakan membawa jenazah Köhler ke Belanda, tetapi membutuhkan waktu lama untuk menunggu kapal dan di tengah situasi perang, memulangkan jenazah terkadang jauh lebih sulit dibandingkan dengan peperangan itu sendiri. Bahkan untuk membawa keranda Köhler ke Batavia, harus jalan-jalan dulu ke Singapura.

Di Batavia, Köhler dimakamkan secara militer. Banyak yang menduga riwayatnya akan berakhir di pemakaman Tanah Abang dan hanya dikenang dalam upacara tertentu, itu pun kalau Pemerintah Hindia Belanda masih mampu bertahan di tanah pendudukan. Barangkali keturunan Köhler akan ziarah ke sana, atau ziarah bukan bagian dari budaya mereka.
Tapi Köhler dibuat tidak tenang bahkan sampai di kuburnya setelah penembakan memalukan di halaman Masjid Baiturrahman. Bumi Batavia seperti tidak ramah terhadap jasad Köhler. Pembangunan Batavia membuat pemakaman Tanah Abang digusur dan Köhler pun pindah ke Kedutaan Belanda, tepat 103 tahun setelah kematiannya yang semakin jarang dibicarakan orang. Orang menganggap tidak ada lagi yang berani mengusik Köhler dalam peristirahatan yang terakhir di Kedutaan.

Ternyata kerangka Köhler hanya dua tahun berdiam di sana. Arwahnya terus berjuang untuk mencari cara kembali ke tanah yang pernah menampung tumpahan darahnya. Dia kembali ke pemakaman Kerkhoff di Banda Aceh, berkumpul kembali dengan dua ribuan anak buahnya yang meninggal dalam peperangan di Tanah Rencong. Betapa panjang perjalanan arwah Köhler untuk bisa memimpin kembali pasukannya meski kali ini di alam kubur. Lebih dari seratus lima tahun yang lalu dia memimpin pasukannya merebut Masjid Baiturrahman dan kemudian dia memimpin kembali pasukannya di tanah pemakanan yang di atasnya tumbuh rumput-rumput hijau, serupa daun-daun kepuh yang tumbuh di halaman Masjid Baiturrahman.


Bangkai Mobil_Aceh Taniang_01.jpg


Ketika rencana perluasan areal Masjid Baiturrahman dilakukan, tidak ada yang menduga Köhlerboom akan mendekati ajalnya. Warga berpikir pohon itu akan tetap dipertahankan, meski di sekitarnya akan dibangun payung-payung mentereng seharga Rp11 miliar per unit yang bisa dibuka dan ditutup secara elektrik sesuai kebutuhan seperti di Masjid Nabawi.

Sebatang pohon kepuh yang rindang dengan cabang bertingkat-tingkat, tentunya akan terlihat indah dan unik di tengah naungan 11 payung berwarna putih dengan garis tepi warna emas dan hitam. Dari puncak menara masjid atau lantai atas pertokoan di sekitarnya, deretan payung elektrik dan sebatang pohon kepuh akan terlihat seperti perpaduan sebuah peradaban berteknologi tinggi dengan alam yang tetap lestari.

Peradaban yang membumi, begitu Raja ingin memberi istilah. Tiba-tiba saja ia menjadi seperti Sofie yang menemukan banyak istilah. Raja sudah menjalin kontak lewat surat elektronik dengan gadis itu ketika sejarah kematian Köhler mulai akrab dengan dirinya, atau dialah yang mengakrabi diri dengan sejarah yang terjadi 120 tahun sebelum kelahirannya. Dia mendapatkan kontak Sofie dari penjaga makam Kerkhoff dan seorang dosen yang sejarah yang intens berkomunikasi dengan keturunan Köhler di Belanda.

Mereka tidak langsung terhubung karena Raja harus menunggu jawaban dari Belanda. Dimulai dari percakapan tentang sejarah melalui surat elektronik, kemudian ia bertambah akrab dengan Sofie meski mereka baru berjumpa delapan bulan setelah saling berkomunikasi dengan surat dan kemudian berlanjut dengan berbagai media sosial, termasuk melalui Skype yang membuat Raja langsung bisa mengenali Sofie ketika menjemput gadis berambut pirang itu di Bandara Sultan Iskandar Muda.

Sofie mengatur perjalanan yang boleh dibilang mendadak setelah mendapatkan informasi pohon Köhler akan ditebang untuk perluasan halaman masjid. Boleh dibilang mendadak boleh juga tidak sebab Sofie—seperti pengakuannya—sudah lama ingin berkunjung ke makam kakek moyangnya bersama keluarga. Namun, nasib Köhlerboom memang membuat perjalanan Sofie lebih cepat dari rencana semula.

Raja sempat berpikir untuk menggelar demonstrasi bersama kawan-kawan mahasiswa dan pegiat LSM lingkungan ketika mengetahui Köhlerboom tidak ada dalam maket perluasan halaman masjid yang disiapkan pemerintah daerah. Dalam rapat dengan aktivis mahasiswa, rencana demonstrasi dicoret dari strategi aksi mereka karena dinilai bisa bias kemana-mana ketika sekelompok mahasiswa demonstrasi di masjid. Aksi itu tetap akan dilakukan, tetapi di Kantor Gubernur.

Dia sempat menceritakan keputusan tersebut dan berbagai tindakan yang sudah dilakukan bersama mahasiswa kepada Sofie. Gadis itu menyetujui keputusannya dan menganggap Raja lebih memahami peta persoalan dibanding dirinya. Tujuan mereka sama, ingin Köhlerboom tetap tegak berdiri.

Memang Köhlerboom yang sekarang penuh kotoran debu di samping kerja buldoser sudah merubuhkan pohon-pohon kurma, bukanlah Köhlerboom sama yang ditanam 142 tahun silam. Umur pohon kepuh tidak sampai seratus tahun di tengah berbagai perubahan cuaca dan bencana yang datang. Pohon itu sudah berganti, tetapi tetap dengan jenis sama dan tumbuh di tempat sama. Pohon sudah berganti, tetapi sejarahnya kematian Köhler tetap abadi di bawah pohon itu. Apalagi sejak 14 Agustus 1988 atau lima tahun sebelum kelahiran Raja, sebuah prasasti dibangun di bawah pohon yang menjelaskan di bawah pohon ini Mayor Jenderal J.H.R. Köhler tewas ketika memimpin penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman. Prasasti itu ditandatangani gubernur pada masa itu. Dan sekarang, prasasti yang sering bersanding dengan para pengunjung ketika berfoto di bawah Köhlerboom, juga terancam musnah.


IMG_6665.JPG


Dua hari setelah percakapan mereka di sebuah kafe, Raja menelepon Sofie dengan panik. Dan dia menjadi lebih panik lagi karena telepon Sofie tidak aktif. Setelah mencoba beberapa kali dalam durasi waktu yang lama, akhirnya ia mengirim pesan kepada Sofie. Mulanya ia ingin menjumpai Sofie di hotel tempatnya menginap, tetapi karena harus membuktikan dulu informasi yang diterimanya, rencana itu tertunda. Kemudian ia berjumpa dengan kawan aktivis mahasiswa di kampus. Sepanjang itulah ia menelepon Sofie dan telepon sulelar gadis itu tetap tidak aktif.

Akhirnya, tanpa mengikuti perkualiahan terakhir, Raja duduk menunggu Sofie di kafe biasa mereka nongkrong dua hari terakhir. Sepanjang penantian itu pun ia kembali menghubungi Sofie dan tetap tidak aktif. Raja kemudian menghubungi beberapa pegiat LSM lingkungan. Es sanger yang sudah berembun dalam gelasnya hingga mengalir di meja, sama sekali belum disentuh. Padahal tadi ia sengaja memesan sanger dengan es untuk meredam suasana hatinya yang sedang panas melebihi cuaca di luar.

Dia agak kecewa dengan pegiat LSM yang tidak maksimal memperjuangkan keselamatan Köhlerboom. Sebagian mereka hanya kuat dalam wacana, tapi lemah implementasi. Barangkali perhatian mereka sedang tercurah pada program lain yang sudah disepakati dengan lembaga donor. Namun, di tengah kesibukan itu seharusnya juga bisa membagi perhatian untuk sebatang kepuh yang menyimpan sejarah.

Raja menenggak sanger terburu dan ketika meletakkan gelas ia melihat sosok Sofie sudah tegak di hadapannya. Gadis itu mengenakan penutup kepala warna biru muda meski sebenarnya tidak ada larangan ia memperlihatkan keindahan rambut pirang panjangnya yang mengagumkan. Namun, Sofie ingin terlihat seperti kebanyakan gadis di sini dan itu membuatnya semakin mengagumkan di mata Raja dan Raja yakin semua lelaki yang ada di kafe ini berpendapat sama. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat membahas keindahan rambut panjang Sofie. Saat ini adalah waktu untuk membahas Köhlerboom.

“Maaf, sanger membuatku tidak bisa tidur semalaman. Tadi sepulang dari Kerkhoff, aku tertidur sampai sore,” Sofie memilih tempat duduk di depan Raja. Mereka saling bertatapan. “Aku sudah bicara dengan orang Kedutaan. Kebetulan ia kenal baik dengan Pak Gubernur. Dia berjanji akan membahasnya ketika sudah terhubung dengan Pak Gubernur.”

Raja yang tadi panik dengan situasi, kini menjadi lebih tenang dan pasrah, apalagi setelah pembicaraan dengan beberapa pemerhati lingkungan yang tidak memperlihatkan sikap militan. Dia mempersilakan Sofie memesan minum. Anehnya, meski mengaku tidak bisa tidur semalaman, gadis itu kembali memesan sanger.

“Nanti tidak bisa tidur lagi.”

“Itu harga yang pantas untuk kenikmatan sanger. Aku harus minum sanger sepuasnya sebelum kembali ke Amsterdam.”

Raja terdiam memerhatikan Sofie mengucapkan terima kasih kepada pelayan sambil mengembalikan daftar menu tanpa membukanya. Dia hanya memesan sanger saja dan itu tidak perlu menu.

“Kenapa? Sepertinya kamu tidak bersemangat? Padahal aku sudah membawa kabar gembira tadi,” ucap Sofie ketika melihat wajah kusut Raja.

“Kamu belum membaca pesanku?”

Sofie menggeleng.

“Köhlerboom sudah tumbang siang tadi. Sepertinya mereka mengabaikan suara-suara keberatan dari warga. Mereka tidak menganggap pohon itu penting, prasasti di bawahnya juga tidak ada nilainya.”

Seperti mendengar berita kegagalan besar dalam hidupnya, Sofie yang biasanya ceria langsung terdiam. Perjalanan panjang dari Amsterdam berakhir dengan berita duka. Sebuah titik yang menandai kematian kakek moyangnya akhirnya tumbang setelah tegak berdiri selama 142 tahun, tujuh bulan, dan lima hari. Akhirnya titik itu menjadi samar ditutupi lantai marmer dan payung elektrik di atasnya. Padahal untuk mempertahankan Köhlerboom mereka hanya perlu mengosongkan tanah berdiameter 1,5 meter dan pohon itu turut memberikan keteduhan tanpa biaya mahal, tanpa perlu biaya perawatan sebab alam yang melakukannya.

Sofie mengembuskan napas panjang. Dia tidak bisa berkata apa pun lagi. Tidak juga bisa menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini.

“Kamu kecewa?” tatap Raja.

“Tentu saja. Kamu pun begitu. Kita gagal sebelum sempat berjuang. Kita gagal ketika baru memulai langkah pertama.”

“Mungkin Tuhan tidak ingin membuat kita kecewa lebih dalam setelah lelah berjuang. Itu salah satu hikmahnya.”

Sofie tidak berkata apa-apa lagi. Matanya menerawang melewati puncak deretan pertokoan di seberang jalan. Barangkali dua kalimat terakhir Raja tidak masuk ke telinganya.

“Sofie,” Raja memanggil dengan suara agak keras karena merasa gadis itu seperti sedang berada dalam dunia lain. Panggilan tersebut tidak membuat Sofie terkejut, tapi cukup untuk membuat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah Raja. “Aku sudah bicara dengan beberapa kawan mahasiswa dan pegiat LSM tadi. Kami akan menanam pohon kepuh di kompleks Kerkhoff. Köhlerboom harus tetap tegak, meski bukan lagi di Masjid Baiturrahman.”

“Aku sepakat, setidaknya menjadi pesan bagi mereka yang menganggap Köhlerboom tidak penting.”

“Mereka bisa menghancurkan Köhlerboom, tapi tidak sejarah Jenderal Köhler, tidak juga sejarah perjuangan para pahlawan yang terlibat di dalamnya.”

“Kalian menganggap kakek moyangku sebagai musuh, bukan pahlawan,” sergah Sofie.

“Bagi negerimu, kakek moyangmu pahlawan. Dalam peperangan, pahlawan lahir dari dua kubu berbeda. Seseorang menjadi pahlawan atau pengkhianat tergantung siapa yang menilai dan dari mana mereka menilai.”

“Seperti kita berdua, kita adalah pahlawan bagi Köhlerboom meski kita kalah.”

“Jadi, mari kita rayakan,” Raja mengangkat gelas sangernya, Sofie pun demikian. Kedua gelas mereka berdenting di udara dan keduanya tertawa. Raja menatap Sofie dalam dan sangat menikmati tawa Sofie yang renyah.

“Aku minta maaf, Sofie...”

“Tidak perlu minta maaf, ini bukan salahmu.”

“Bukan itu, bukan soal Köhlerboom. Ini soal penembakan Jenderal Köhler. Kamu tahu pelakunya siapa?”

Sofie mengangguk sambil tersenyum. “Aku sudah membaca sejarahnya. Nama kalian sama, menggunakan nama kakek moyang ternyata bagian dari tradisi kalian. Kupikir kamu adalah reinkarnasi kakek moyangmu.”

“Kamu tidak dendam?”

“Seharusnya kamu yang dendam karena kakek moyangku tentara pendudukan. Kalian menyebutnya penjajah. Tapi bagiku, mereka berdua pahlawan. Tidak perlu marah kepada sejarah, kita generasi berbeda yang hidup pada zaman berbeda dan menjadi pahlawan dengan cara berbeda, misalnya dengan menyelamatkan sebatang pohon.”

Sofie terus berbicara tentang alam dan kepahlawanan. Sambil menatap wajah gadis itu, Raja membayangkan kakek moyangnya dulu mengendap diam-diam dan membidik Jenderal Köhler tepat di dadanya. Kakek moyangnya masih 19 tahun masa itu dan ia seorang sniper yang hebat.

Raja sudah lama ingin menjadi seorang sniper meski istilah itu kurang cocok karena ia akan menembak tepat di hati secara terang-terangan dan saling berhadapan.[]

Lorong Asa, Maret 2019


Bersama Dek Aja_01.jpg
Bersama Raja, tokoh dalam cerpen Köhlerboom?

Posted using SteemX

Sort:  

🎉 Congratulations!

Your post has been upvoted by the SteemX Team! 🚀

SteemX is a modern, user-friendly and powerful platform built for the Steem community.

🔗 Visit us: www.steemx.org

✅ Support our work — Vote for our witness: bountyking5

banner.jpg

 yesterday 

Thank you so much....