Diskusi Kecil Bersama Romo Mudji: Budayawan, Rohaniawan, Akademisi, dan Lima Jari yang Merapat

Saya bersama Romo Mudji, seorang budayawan, akademi, dan rohaniawan Katolik ketika berjumpa dengan BWCF 2018 di Yogya.
Diskusi Kecil Bersama Romo Mudji: Budayawan, Rohaniawan, Akademisi, dan Lima Jari yang Merapat
Di tengah berbagai kegiatan, saya mendapatkan berita Romo Mudji Sutrisno meninggal dunia dunia di Rumah Sakit St Carolus, Jakarta Pusat, Ahad 28 Desember 2025. Saya langsung ingat dengan lelaki kelahiran Solo, 12 Agustus 1954 tersebut.
Saya sudah mendengar nama Mudji Sutrisno sejak lama, mungkin sejak saya menjadi masih mahasiswa di Politeknik Negeri Lhokseumawe, dulu masih bernama Politeknik Negeri Universitas Syiah Kuala. Saya selalu membaca artikel seni dan budaya di Hr Kompas, Tempo, dan Republika.
Namun, ketika menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Aceh Utara, 2003 – 2008, saya semakin mengenal Romo Mudji karena beliau termasuk salah satu anggota KPU-RI. Namun, Romo Mudji tidak lama menjadi komisioner karena mengundurkan diri agar lebih fokus mengajar.
Ketika mendapat undangan menghadiri Borobudur Writer and Cultural (BWCF) di Yogyakarta, November 2018, saya berkesempatan berjumpa dengan Romo Mudji. Saat itu, beliau menjadi salah satu narasumber. Sayangnya, kegiatan menarik di BWCF banyak yang bentrok sehingga tidak bisa menghadiri pertemuan dengan Romo Mudji meski saya berada di lokasi sama.
Namun, saya menyapa Romo Mudji dan memperkenalkan diri sebagai diri dari Aceh dan menjadi anggota KPU di Aceh Utara. Dia tampak semringah ketika mendengar Aceh dan KPU. Lalu kami berdiskusi dengan tahapan pemilu yang sedang berlangsung.
Saya meminta sahabat saya, Ratna Ayu Budhiarty, penyair dari Garut, Jawa Barat (yang juga seorang pensiunan Steemian), untuk memotret saya dan Romo Mudji. Biar tidak dituding terindikasi mendukung partai politik nomor urut 5, Romo Mudji menyebutkan kelima jemari harus merapat ketika kita melambai. “Jadi, ini telapak tangan, bukan angka lima,” kata Romo Mudji dengan ramah.
Romo Mudji memang dikenal ramah. Ingatan saya ketika masih menjadi anggota KPU Aceh Utara, dalam setiap pertemuan, Romo Mudji bicara dengan tenang dan banyak tersenyum.
Selain banyak meulis artikel, Romo Mudji banyak menulis buku, antara lain Sunyi yang Brebisik (2020), Oase (2020), Rekah Puisi (2019), Esai-Esai untuk Negeri (2015), Krisis Peradaban (2013), Teori-Teori Kebudayaan (2005), dan masih banyak lagi.
Menteri Agama, Prod Dr Nasaruddin Umar, mengenang Romo Mudji sebagai tokoh yang memegang nilai-nilai kebudayaan dalam agama. Nasaruddin Umar mengenang Romo Mudji sebagai tokoh yang gencar mempromosikan toleransi dan perdamaian.
“Saya mengenal Romo Mudji sebagai figure yang sangat menghargai nilai-nilai kebudayaan dalam beragama,” ungkap Nasaruddin kepada sejumlah wartawan.
Indonesia memang membutuhkan tokoh perekat sekaligus budayawan seperti Romo Mudji.[]

Romo Mudji bersama Ratna Ayu Budhiarty penyair dari Garut, Jawa Barat.


Thank so much @lirvic. Happy new year....