Kontes Cerita Ramadhan Saya; Keseruan Ramadhan di Sekolah Sukma Bangsa Pidie
SEBUAH konsep yang cenderung keliru dipahami oleh sebahagian masyarakat kita Aceh tentang Ramadhan ialah, tentang Ramadhan sebagai bulan beristirahat dari aktivitas fisik (bekerja). Segala aktivitas yang dirasa berat, dan biasanya rutin dilakukan pada bulan-bulan sebelum Ramadhan cenderung dihindari –dan bahkan dijauhkan-- oleh kita memasuki bulan Ramadhan.
Padahal hakikatnya, Ramadhan dengan ibadah khasnya, yakni puasa, adalah bertujuan salah satunya untuk memunculkan rasa empati sosial pada umat Islam. Dengan berpuasa, dan mereka tetap bekerja yang berat-berat sebagaimana biasanya, maka muncul kesadaran pada mereka akan adanya nikmat yang tidak dirasakan oleh mereka-mereka prasejahtera --belum beruntung dalam hal finansial.
Akan tetapi, yang lumrah terjadi ketika memasuki bulan Ramadhan, kita melihat ada banyak dari saudara-saudara kita yang menghindari aktivitas kerja, lalu memilih banyak beristirahat (tidur-tiduran, rebahan, golek-golek, dan sejenisnya) dengan alasan untuk peulale puasa (menjaga puasa).
Pertanyaanya, bagaimana kita dapatkan kepedihan batin karena rasa lapar, haus, hanya makan sehari sekali denga menu seadaanya –sebagaimana yang dirasakan oleh mereka yang masih prasejahtera? Bagaimana mungkin, rasa empati sosial itu akan muncul pada kita pasca berpuasa bertahun-bertahun bila saat bulan puasa kita cenderung rebahan?
Dengan menghindari banyak aktivitas berat, puasa kita cenderung jadi lebih enak, ketimbang mereka yang tetap bekerja dan puasa. Statement ini adalah benar. Namun saya yakin, hikmah dari puasa Ramadahan yang kita lakukan tidak akan berdampak banyak pada kita bila puasa kita tidak .
Maka oleh karena demikian, adalah penting bagi kita, untuk menjaga ritme produktivitas yang sedianya kita lakukan sebelum bulan Ramadhan hingga memasuki bulan Ramadhan. Tanpa membedakan Ramadhan sebagai bulan istirahat (alih-alih ibadah), sementara sebelas bulan lainnya adalah bulan untuk bekerja.
Pepatah “siblah buleun kerja, untuk sibuleun pajoh” memang ada dan diwarisi secara sosial oleh leluhur kita bangsa Aceh. Akan tetapi perlu disadari, pepatah itu bukan bermakna bulan Ramadhan sebagai bulan istirahat total, yang membuat ritme produktivitas kita mengendur.
Munculnya pepatah itu, saya yakin, karena memang leluhur kita membedakan bulan Ramadhan dengan bulan lainnya dengan tujuan fokus untuk ibadah. Sehingga hari-hari mereka di bulan Ramadhan lebih sibuk ketimbang bulan lainnya. Mereka sibuk tadarus, merutinkan berbagai shalat sunnah, yang sebelumnya jarang dilakukan karena disibukkan oleh aktivitas tani, melaut dan berkebun, dan berbagai ibadah lainnya.
Kesibukan para leluhur kita dalam bulan Ramadhan, tidak lagi terlihat pada kita yang hidup di era sekarang. Mesjid-mesjid malah sepi, termasuk saat malah harinya, warung-warungkopi tetap ramai seperti biasa, tidak banyak yang berbeda dari hari biasanya. Kecuali dalam beberapa hal, seperti tradisi asmara subuh, ngabuburit dan memanjakan lidah dengan berbagai kuliner saat di bulan Ramadhan.
Berhubung lagi ada kontes, yang diinisiasi oleh bang @levyscore, maka saya ingin meramaikan kegiatan positif ini dengan membagi keseruan rangkaian kegiatan yang melahirkan keseruan luar biasa di bulan Ramadhan. Ya, benar-benar seru.
Adalah sekolah Sukma Bangsa Pidie, tempat saya mengabdi dan mendedikasikan separuh waktu, jiwa dan pikiran saya, berhasil menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang penuh keseruan. Saya kira Sekolah Sukma Bangsa Pidie, juga sudah berhasil pada proses menjaga ritme produktivitas warga sekolahnya agar tetap tidak mengendor. Malah menjadi lebih produktif.
Bayangkan saja, meski puasa, sekolah tetap tidak diliburkan dengan kegiatan belajar dan mengajar yang sedikit banyak, disanasini disesuaikan. Penyesuaiannya ada karea hadirnya ide untuk menyelenggarakan kegiatan positif lainnya, yang menjadi bagian dari syiar untuk mnyemarakkan Ramadhan. Mulai kegiatan tadabbur, tadarus bersama, shalat dhuha, kuliah ringkas (yang disingkat jadi kulkas), dan beragam aktivitas lainnya.
Termasuk mengalang dana dan menyalurkan hasilnya dalam bentuk paket sembako kepada kaum duafa yang ada di Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Barat (meulaboh).
Sebagai pendidik, saya bisa melihat bagaimana euforia yang muncul ditiap mereka-mereka para siswa (pembelajar) dalam menyemarakkan beragam kegiatan ini. Tak ayal, ada pula siswa yang berseloroh, bahwa lebih seru belajar di bulan Puasa ketimbang bulan lainnya. Ini membuktikan bahwa kegiatan semacam tadabbur, kulkas, dan lain sebagainya berhasil melahirkan keseruan di bulan Ramadhan, yang dirasakan langsung oleh mereka siswa.
Mudah-mudahan kegiatan positif ini menular kepada pembaca, khususnya para pendidik yang sudah diembankan oleh negara untuk mencerdaskan anak bangsa. Nyanban
Berikut beberapa keseruan Ramadhan lainnya di Sekolah Sukma Bangsa.
Adanya Lomba Melukis Kaligrafi
Adanya Lomba Nasyid
Mendengar Kuliah dari Guru Tamu
Resensi Buku
Selasa, 04 Mei 2021 || @emsyawall