Junidar Sang Pejuang Riman
Tak pernah lelah dari satu pintu kantor ke kantor yang lain. Kalau lagi ada acara pertemuan pejabat di Sigli di selalu berada diluar arena. Tidak kenal lelah dan selalu tersenyum. Suaranya lembut, berjualan tanpa agresif. Berbeda dengan sales modren yang terkadang terkesan memaksa. Menawarkan dagangan dengan lemah lembut dan selalu senyum. Sisa kecantikan masih tersisa diwajahnya. Umurnya sudah 44 tahun. Dengan enam anak. Belasan tahun lalu telah ia jalani profesi ini. "Terkadang saya jualan sampai ke Bireuen, tidak tiap hari saya jualan" ungkapnya. Jualannya tidak tiap hari laku. Terkadang seharian berkeliling tidak ada yang terjual. "Tidak semua orang membeli karena lumayan mahal" tambahnya. Istri Abdurrahman inj tidak lelah walau harus melalui hari hati berat. "Suami saya petani, jadi jualan ini membantu menambah penghasilan keluarga" jelas Junidar.
Junidar adalah sales yang metangkap pengrajin kupiah riman. Kopiah khas Pidie yang terbuat dari serat daun aren dan ijuk. Tidak mudah membuat kerajinan ini. Hanya orang sangat trampil bisa menghasilkan riman. Junidar menjual 300 ribu perbuah. Warga Dayah Adan Mutiara Timur Pidie ini mengambil dari pengrajin. Harga ditingkat pengrajin sekitar 250 ribu rupiah perbuah. Terkadang ia membuat sendiri bila ada waktu. Satu kopiah riman butuh waktu kira kira dua minggu. Bayangkan betapa rumitnya pengerjaan. Bila dijadikan sebagai mata pencaharian jelas tidak cukup. Kupiah rimam biasanya dikerjakan oleh kaum wanita. "Sebagai sampingan sambil berzikir" jelasnya. Junidar terkadang juga mengerjakan sendiri. Ini dilakukan sambil mengajarkan anak gadisnya.
Mukanya langsung muram dan menengadah. Pertanyaan tentang masadepan kupiah riman merisaukan Junidar. "Sangat mungkin akan punah sebab tidak sesuai lama pengerjaan dengan harga jual" ungkapnya.ia bahkan bersedia menerima tukar tambah kopiah lama dengan yang baru.cukup membayar setengah harga.kopiah lama akan diperbaikinya.dan dijual kembali.ia menjamin higienis dan tanpa bausebab semuanya menggunakanbahan dari alam. Ia kuatir beberapa waktu lagi pengrajin akan menolak mengerjakan. Dan ia juga tidak tau apa solusinya. "Saya lakukan semampu saya untuk menjaga warisan nenek moyang kami sebagai identitas orang Pidie" gumamnya.
Sejak 2015 kupiah riman Pidie telah ditetap sebagai warisan budaya benda Indonesia. Namun tidak jelas upaya melestarikan. Tidak terdengar upaya pemerintah dalm melestarikan. Pasalnya masa pengerjaan tidak sesuai dengam harga jual. Ini akan mengurangi animo pengrajin. Sehingga dibutuh intervemsi pihak lain menyelamatkan kopiah khas Pidie ini. Bila tidak dia segera tiba di ruang musnah. "Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita" seharusnya pemerintah membina mereka. Mempromosikan sebagai souvenir. Mensubsidi pengrajin. Misalnyamembeli dengam harga yang pantas.
Butuh Junidar Junidar yang lain yang mau menjaga kupiah riman. Terkadang kita lupa bahwa budaya adalah harta tak nilai. Sebagai bangsa yang beradap kita perlu menunjukkan budaya adiluhung. Kita perlu melestarikan identitas kita. Semaju apapun sebuah bangsa identitasnya tidak boleh hilang. Kita perlu belajar pada bangsa Jepang atau China. Semaju apapun mereka, idemtitas mereka tidak pernah luntur. Disemua sisi kehidupan mereka gunakan untuk melestarikan identitas mereka. Kenapa tidak? Jangan Junidar tidak lagi menjaja kupiah riman. Sehingga pengrajin tidak mampu menjual dan berhenti. Kita tidak mau suatu saat kupiah riman hanya ada di internet. Berbentuk foto atau tulisan. Kita ingin tetap memakai dikepala kita. Sebagai bentuk identitas luhur kita. Sebuah bangsa hanya bisa menujukkan identitasnya dengan budayanya. Bukan kaya atau hebatnya bangsa itu.
Kisah perjuangan seorang perempuan sambil melestarikan tradisi dan budaya bangsa. Riman dan Risman beda satu huruf @abulaot, hehehehehe. Menarik juga kalau menulis tentang usaha pengrajin riman di Pidie.
Kami sudah pernah membuat film dokumenter tentang ini bg Ayi. Tetapi saat itu kami ikuti penjual yang seorang pria. Uniknya lagi, karena adanya bantuan dari pemerintahan (Dinas Perindustrian kalau tidak salah) yang mendirikan semacam Unit Usaha, malah pengrajin Riman ini jadi terbelah dalam dua kelompok dalam kampung itu.
Kemudian, pencari serat Riman ini, hanya bergantung pada seorang, dan dikhawatirkan untuk regenerasi.
Kedua nya perlu dilestarikan sebagai kearifan Aceh