Steemit, Sebuah Tamparan untuk Rektor Jaman Now

in #indonesia7 years ago (edited)

Media sosial steemit tumbuh subur di Aceh. Sekali pun saya tidak punya data resmi, tapi saya yakin setiap harinya angka pengguna Steemit menunjukkan grafik peningkatan. Motivasi dan dorongan mereka juga bermacam-macam: ada yang ingin mendapat reward, berbagi pengetahuan atau sebagai salah satu medium berinvestasi.

Rektor-UIN-ar-raniry.jpg
Image Source

Apa pun motivasinya, steemit untuk sementara sudah mengubah cara bermedia sosial orang Aceh, meski tidak semuanya. Jika di media sosial Facebook atau Twitter, kita kerap menemukan konten negatif, sharing berita hoax atau kebiasaan mem-bully (plus nyinyiran) orang, maka di Steemit nyaris sepi dari konten semacam itu. Di steemit para pengguna (kreator) berlomba-lomba menghadirkan informasi positif, semangat berkomunitas, serta keinginan membantu sesama. Prinsip saling membantu dan menolong antar-pengguna begitu nyata.

Saya tidak akan gegabah mengatakan bahwa steemit dapat menjadi salah satu solusi mengentaskan kemiskinan. Namun, saya yakin, dengan ketekunan dan keseriusan (serta kerja keras), orang-orang yang menulis di Steemit (disebut Steemian) bisa mendapatkan penghasilan (reward). Mendapat upah adalah tujuan orang-orang mencari pekerjaan tetap, bukan? Nah, bukan tidak mungkin, ke depan steemian pun akan dipandang sebagai sebuah profesi, karena dengan menulis di steemit kita bisa mendapatkan upah lelah.

Para steemian yang menghabiskan banyak waktu di warung kopi untuk memposting tulisan tidak akan dipandang rendah atau buang-buang waktu. Menteri Susi pun tidak akan lagi mengeluarkan pernyataan bahwa kebiasaan anak muda Aceh nongkrong di warung kopi sebagai perbuatan sia-sia. Dan, Rektor IAIN Ar Raniry, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim, tak akan berani mengulangi komentarnya, dengan mengatakan bahwa mahasiswa yang sering nongkrong dan menghabiskan waktu di warung kopi akan membuat mereka menjadi pengemis.

Saya mencatat dengan jelas bagaimana sinisnya sang Rektor (izinkan saya menyebutnya Rektor Jaman Now), ketika memberikan kata sambutan saat mewisuda lulusan program doktor, magister dan sarjana S1 di auditorium Ali Hasjmy. "Hari ini kita menyaksikan rata-rata mahasiswa yang kuliah di Banda Aceh kerjanya nongkrong di warung kopi. Pustaka kita lihat sepi. Kalau seperti ini mahasiswa, ke depannya akan sangat berpengaruh terhadap generasi peminta," katanya seperti saya kutip dari berita ini

Screen Shot 2018-01-07 at 6.01.05 PM.png

Betapa naifnya pernyataan itu, dan dia seakan tidak sadar bahwa sebagian mahasiswa yang diwisuda itu mungkin akan menambah daftar pengangguran baru di Aceh.

Benarkah orang-orang yang menghabiskan waktu dengan nongkrong di warung kopi membuat mereka menjadi generasi peminta-minta? Saya pribadi jelas menolak anggapan ini. Tak usah jauh-jauh, teman-teman saya yang bekerja sebagai desainer online, penulis blog atau kini penulis di steemit, bisa meraup pendapatan yang nominalnya mungkin bisa lebih desar dari upah seorang pegawai negeri sipil. Bahkan, pemasukan beberapa teman saya bahkan lebih besar dari gaji sang rektor!

Screen Shot 2018-01-07 at 5.53.02 PM.png

Saya tak akan menjabarkan lebih detail berapa pemasukan seorang penulis di steemit. Namun, jika rektor jaman now ingin menghitung penghasilan seorang Steemian, dia bisa menggunakan kalkulasi kasar, dengan melihat trend harga Steem dan Steem Dollar (SBD). Saat tulisan ini saya tulis, harga 1 SBD setara dengan Rp111.729, sementara harga 1 Steem senilai Rp90.014. Sebagai gambaran, rata-rata seorang steemian bisa mendapatkan 10 SBD sebagai reward untuk satu tulisan. Masukkan saja angka tersebut di kolom pada gambar yang saya lampirkan ini, dan sang rektor pasti akan geleng-geleng kepala.

Screen Shot 2018-01-07 at 5.52.41 PM.png

Dengan penjelasan singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa steemit bisa menjadi salah satu cara melawan argumentasi sang Rektor Jaman Now, yang tak lain adalah dosen yang sangat saya harmoti. Kepada Steemian, teruslah menulis dengan menebarkan semangat positif di steemit, dan orang-orang tidak akan memandang rendah pada profesi kita ini. Semoga!

Sort:  

Jak bak halaman lon, kiban lom wujudkan tulisan gata

Teurimong geunaseh. Siap menuju TKP

Semua butuh data. Versi kita versi mereka versi saya. Sama saja sih, di warkop dgn tpt lainnya. Ada yg nganggur, ada yg sukses, ada yg biasa aja. Siapapun berhak nilai, saya, anda, mreka, tmasuk sang rektor, asal datanya jelas.

Benar, semua berhak menilai. Tapi, menyeragamkan kesimpulan bahwa nongkrong di warkop melahirkan generasi pengemis, itu kita tolak

bereh that tulisan bg @acehpungo

Terima kasih...

Dari aspek-aspek mana yang harus kita pahami

Iya, butuh kejelian serta pikiran terbuka untuk memahaminya

Memang betul kalo ada yg duduk di warung kopi memang hanya melakukan hal2 yg tidak produktif, tetapi dia tidak boleh memvonis yg duduk di warung kopi itu generasi pengemis

Mungkin bukan bangai, tapi tak mencoba memahami dan mencari tahu apa yang dilakukan generasi milenial di warung kopi

Rektor terlalu cepat berkata demikian, perkembagan media yang dapat mengisi dompet mahasiswa tidak beliau ketahui "mungkin".
Hehe

Mudah-mudahan, di tahun 2018 ini rektor akan memperbaharui persepsinya terkait masalah nongkrong di warung kopi

neu kalon2 ata long sige ge bang. nye hana pah neu pegah ju beh hahah

Ka bereh nyan...Hana payah peugah le, tinggai tuleh beu sering mantong. Sebagai YouTuber, upload video beu sering laju via DTube

Siaaaap bang. thank you that 😂

Saya merupakan salah seorang yang tidak sepakat dengan pernyataan pak rektor. Beliau belum tahu bagaimana yiuth jaman now itu berkreasi di warung kopi.

Iya, saya pun demikian. Sang rektor tidak paham bagaimana kreatif-nya anak muda Aceh yang bekerja di warung kopi.

Hehehe... Mungkin pak rektor kurang ngopi. Harus diajak sesekali ke warkop biar tahu apa kerja anak muda sekarang. Youth jaman old sama youth jaman now itu jelas-jelas beda

Steemit datang sebagai new generator of social media, dengan konsep and platform berbeda. Ke depan, sesiapa saja yang aktif di Steemit dapat disebut produktif dalam arti berkarya sekaligus berduit.

Dan tidak lama lagi penulis di steemit pun bisa membubuhkan "Steemian" di kolom pekerjaan pada kartu identitasnya. Mantong di Banda?

Sejak awal saya anggap komentar rektor itu sama sekali tidak mengetahui dunia digital sebagai sumber rejeki banyak orang, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di kota seperti Lhokseumawe. Kemarin saya berkomunikasi dengan pengelola blog yang dia bekerja membuat konten kreatif iklan, hanya demgan menerjemahkan. Dari satu blog dia bisa dapat penghasilan 3.5 sebulan. Dia punya 10 blog yang aktif. Bayangkan lenghasilannya. Dia adalah seorang guru.

Iya, sangat banyak anak muda Aceh yang berprofesi sebagai blogger, dan rata-rata mereka belajar sedikit ilmu SEO, sehinga konten yang diproduksinya bisa nangkring di halaman satu pencarian google. Dengan demikian, blog mereka berpeluang besar diakses pengguna internet, dan mereka para blogger bisa meraup dollar dari iklan yang terpasang di blog-nya. Sebagian dari mereka rutin mendapatkan gaji di atas gaji rata-rata PNS kita.