Acehnologi (Review) "CARA BERPIKIR ORANG ACEH" [VolumeIII:Bab27]
Dalam bab ini, penulis mengatakan tujuannya yaitu menggali falsafah berpikir orang Aceh yang dikenal dengan dalam bahasa Aceh yaitu seumike (berpikir). seperti yang kita ketahui produk cara berpikir orang Aceh yang paling otentik adalh hadih maja yang merupakan nasihat para tetua Aceh.
Awalnya bab ini menyajikan bagaimana pengalaman penulis sendiri melihat bagimana interaksi orang Aceh, beserta caranya. Yang disimpulkan bahwa kontruksi berpikir masyarakat Aceh mengikut wilayah dan status sosial, artinya orang Aceh menciptakan wilayah dan status sosial untuk berkonflik dan mencari aliansi sebanyak mungkin.
Akhirnya dapat dikatakan pola pikir orang Aceh dibangun atas tiga fondasi dasar yaitu alam, agama dan jiwa. Saat mengaitkannya denga alam maka muncul istilah "hana roh" istilah ini bisa diatikan seperti spirit jadi tanpa harus mengatakan ini masuk akal atau tidak kita tidak dapat melakukan sesuatu yang melawan alam. Adapun spirit antar manusia (mikro kosmos) dengan alam (makro kosmos) yang menjadi sangat penting karena biasa orang Aceh juga melaukan persembahan alam dengan kenduri.
Aspek kedua yaitu konsep "hana get", yang merupakan nasihat atas pemikiran dari tetua Aceh. Sering sekali jika ada perlakuan yang tak sesuai dengan semestinya maka langsung dinasehatkan dengan menekankan bahwa itu tidak baik (hana get)
Aspek terakhir yaitu "hana jroh" yang konsep ini disematkan kepada hal hal ya dilakukan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Selengkapnya mengenai ketiga ini dapat kalian baca dalam buku ini. Saya sangat menyukai pernyataan dari penulis yang bunyi nya seperti ini:
"Ketika hana roh dan hana get tidak bisa berjalan seiring, dia pun memiliki dampak pada aspek ketiga yaitu han jeut. Akibatnya ketika alam-jiwa-agama tidak menjadi dasar berpikir masyarakat Aceh, maka struktur sosial menjadi rapuh. Akibatnya adalaah rakyat tidak memiliki prmimpin spiritualyang mampu memahamkan diri pada falsafah hana roh, hana get, dan han jeut."
Dalam era modern seperti ini, konsep akan cara berpikir ke-Aceh-an ini kian hilang, oleh karena itu dalam buku ini penulis akan mencoba kembali membuka kembali konsep orang Aceh yang sangat menjunjung keselarasan dalam segala halnya yaitu "timang". Penulis mengharapkan dalam kajian berikutnya merupakan sebagai pintu masuk untuk kembali kepada cara berpikir orang Aceh dengan negosiasinya di kehidupan modern.