Melawan Ku’eh

in #indonesia7 years ago (edited)

man-390339_960_720.jpgSering kita mendengar frasa dan tamsilan “Bit Ku’eh…! Ta Jak u Keu Diceut Gateh, Ta Seutot di Likot Ditoh geuntot Geuntot (Dengki Betul…! Kita ke depan dijegal betis (dijatuhkan), kita ikuti di belakang diketentuti”
Tamsilan dalam bahasa Aceh itu ditujukan kepada orang yang dengki dan kianat terhadap kesuksesan orang lain. Sifat Ku’eh jauh lebih dalam maknanya sebagai ungkapan dengki yang berlebihan dan puncak penyakit batin.
Dalam terma agama, ada tiga penyakit batin sangat berbahaya. Nabi Muhammad saww bersabda, ”Tiga hal yang merupakan sumber segala dosa, hindarilah dan berhati-hatilah terhadap ketiganya.
Hati-hati terhadap keangkuhan, karena keangkuhan menjadikan iblis enggan bersujud kepada Adam. Hati-hatilah terhadap tamak (rakus), karena ketamakan mengantar Adam memakan buah terlarang. Berhati-hatilah terhadap iri hati, karena kedua anak Adam (Qabil dan Habil) salah seorang di antaranya membunuh saudaranya akibat dorongan iri hati.” (HR Ibn Asakir melalui Ibn Mas’ud).
Sifat takabur muncul ketika manusia merasa memiliki kelebihan, baik berupa ilmu pengetahuan, harta benda, ataupun jabatan. Dalam keadaan seperti ini, setan tidak akan tinggal diam, akan memasang perangkap untuk menjerumuskan manusia itu. Seperti, mencela, menghina, dan merendahkan orang lain.
Sifat kedua adalah tamak (rakus), sifat manusia dalam mempertahankan apa yang sedang dalam genggamannya, baik berupa harta, kekuasaan, ataupun kedudukan. Sama sekali ia tidak mau berbagi dan hanya mau dinikmati sendiri. Ia tidak pernah merasa cukup dan tidak pernah bersyukur atas apa yang diperolehnya.
Padahal Tuhan (Allah swt) menjanjikan dan mengingatkan berulangkali kepada manusia bahwa sekecil apa pun perbuatan baik yang kita lakukan tidak akan sia-sia. ”Barang siapa yang mau berbuat baik walau sebesar biji dzara pun Allah SWT akan membalasnya.” (QS Alzalzalah [99]: 7).
Ketiga, hasud atau iri hati, yaitu perasaan tidak rela atau tidak suka melihat orang lain mendapatkan kebaikan atau kenikmatan. Ketika dalam diri manusia telah tertanam sifat dengki, ia akan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan orang yang ia dengki. Ia tidak senang melihat orang lain sukses, pintar, hidup bahagia, dan lebih kaya darinya, sehingga dia membangun kebencian terhadap orang lain
Hasut atau gibah adalah mengumpat atau menggunjing, biasanya disebabkan oleh kebiasaan seseorang yang kurang memehatikan dirinya sendiri karena merasa tirinya lebih baik dari pada orang lain. Atau sering disebut namimah yang berarti mengadu domba. Seperti menceitakan sikap/ perbuatan seseorang (yang belumtentu benar) kepada oang lain dengan maksud agar tejadi peselisihan antara keduannya. Namimah hanya berupa ucapan atau cerita. Namimah bisa berawal dari rasa iri karena melihat seseorang ( yang difitnah) memperoleh kesenangan atau keuntungan
Akumulasi dari perangai buruk takabur, tamak, dan hasud itu disebut Ku’eh. Dalam istilah populer dikatakan sifat “Senang melihat Orang Susah dan Susah Melihat Orang Senang (SMS)”. Itu namanya Kueh. Karena Nabi saww, selalu mengingatkan kepada kita untuk menjauhinya.
"SMS" menjadi watak sosial ketika di tengah-tengah masyarakat --dimana melihat seseorang atau sekelompok orang berhasil atau memiliki kelebihan timbul rasa tidak senang dari kelompok lain. Sebaliknya, apabila seseorang atau sekelompok orang mengalami musibah atau kesusahan, maka kelompok lain juga merasa senang. Bila kemudian, prilaku ini tidak menjadi kesadaran, dapat mengental menjadi sifat dan karatkter yang dapat menjerumuskan manusia kepada perpecahan dan saling memusnakan.
curiga.jpg
Ku’eh merupakan penyakit batin sebagai akibat tatanan sosial suatu masyarakat. Sebagai kebiasaan atau perilaku individu atau pun kelompok masyarakat yang bertentangan dengan nilai etika, akhlak, dan moral. Dari sudut pandang nilai perilaku tersebut tidak mempunyai nilai bahkan sangat rendah. Akan tetapi tidak sedikit dari anggota masyarakat tertentu yang tidak bisa terlepas dari jerat dari penyakit social tersebut.
Sekarang ini, media (cetak maupun elektronik), terutama berjamurnya media sosial memberikan andil besar tumbuhnya perilaku Ku’eh atau suburnya panyakit batin ini di tengah masyarakat kita. Berita berita hoax dapat mengubah minset masyarakat untuk mengidap munculnya Kueh dengan persentase sangat tinggi. Apalagi, perilaku ku’eh kian “kronis” ketika adanya momentum yang menempatkan dua kutub berlawanan saling bersaing untuk mencapai tujuan masing-masing. Baik itu bertujuan meraih kemenangan, kesuksesan yang penuh “ambisius, sehingga masing-masing hanya memiliki ua pilihan “menang atau kalah”.
Ketika salah satunya merasa akan kalah atau sulit mendapatkan, maka Ku’eh sebagai cara terakhir dengan ungkapan “meunyoe hana ke keh bek ke kah (kalau saya tidak ada kamu jangan mendapatkannya).
Sifat Ku’eh merupakan puncak dari semua penyakit batin yang ini bukan hal baru telah ‘mengidap’ pada sebagian orang di Aceh. Saya sebut sebagai penyakit batin paling bahaya, karena sifat Kueh itu bukan hanya menghancurkan atau merugikan orang lain dan juga orang ku‘eh itu sendiri. Karena setiap adanya perilaku ku‘eh maka di sana juga wujud kehancuran atau kerugian, baik kerugian tersebut menimpa orang yang di-ku‘eh-kan maupun menimpa orang ku‘eh itu sendiri, atau kedua-duanya sekaligus.
Ku’eh disebabkan kultur hati yang kemudian menjadi suatu paham ketika persoalan sosial, ekonomi, politik dan pergaulan global menjadi liar dan dianggap tidak adil, sehingga ketika melihat ada kesuksesan atau kemajuan yang berhasil dicapai oleh seseorang atau kelompok, sifat Kueh itu muncul.
Jika ada pertanyaan yang diajukan kepada saya, semisal, di antara 33 suku bangsa dari 33 provinsi di Indonesia ini, mana suku bangsa yang paling tinggi tingkat iri alias kueh-nya, secara terbuka saya tak ingin mengatakan bahwa suku bangsa Aceh yang paling tinggi tingkat iri hatinya. Tentu, perlu melacak secara fakta dan akademis, termasuk menyimak dari segi sejarah Aceh itu sendiri.
Fakta bahwa leluhur orang Aceh adalah komunitas yang selalu cemburuan dan iri hati bisa dilihat dari dokumen yang ada pada terah Aceh. Perjalanan sejarah yang penuh didiskriminasi, kudeta, konflik antara sesama akibat penyakit batin ini. Belum lagi alasan internal keluarga pada masa lalu terjadi saling bunuh antar saudara sendiri. Yang lebih nyata lagi, bagaimana konflik G30S/PKI terjadi pada tahun 1960-an, ratusan ribu warga belum tentu bersalah dibunuh oleh saudara – saudara mereka sendiri, perang cumbok, terkahir konflik GAM-RI dalam kisah Cuak. ( anda sejarahwan bisa menelaah lebih dalam.red). Ya aji mumpung melampiaskan iri hatinya pada saudara.
Di era reformasi, kita bisa lihat kultur iri hati semakin terbuka, di bidang ekonomi, budaya, agama, dan spiritual pun tak luput dari sifat Kueh. Semua itu diakibatkan karena sejarah yang serakah, sejarah yang dengki, dan sejarah yang iri hati. Maka jangan heran jika saat ini, Aceh dipenuhi oleh generasi yang tingkat Kueh, dan negative thingkingnya berlebihan, yang secara fakta pula menciptakan sistem geopolitik dengan kultur balas dendam.
Dan jujur saja, ini tidak sehat bro! Logikanya, bagaimana orang Aceh mau maju dan menjadi tuan di tanahnya sendiri, bila anak-anak bangsanya masih hidup dengan budaya curiga, budaya pamer, budaya feodal yang didasari rasa iri hati yang seakan tidak berkesudahan. Kita banyak mendengar, kasus adat, kasus perbedaan pandang atas keyakinan, ada warga yang dikucilkan, dan segunung argumentasi lainnya pasti sedikit tidaknya ada bumbu iri hatin yang berlebihan. Belum lagi rasa egoisme yang muncul di setiap komunitas dan kelompok yang dilatarbelakangi karena gengsi, status dan rasa iri hati yang meledak – ledak.
Adagium “meyoe kon ie leuhob” yang selama ini sering dipahami sebagai bentuk tanggungjawab personal, telah membias maknanya menjadi egoisme, yang tidak menghargai jeri dan andil orang lain. Mau bukti? Coba sesekali Anda ikut pertemuan – pertemuan yang diadakan di balai desa atau dusun, biasanya akan muncul gerutu, keluh – kesah dan kebiasaan membicarakan sesama. Jarang kita bisa mendengar berita positif tentang tetangga kita,tentang saudara kita yang kebetulan berprestasi atau memperoleh rezeki.
Watak Kueh ini, diakui atau tidak, dapat berimbas pada kondisi Aceh. Kemajuan yang hendak dicapai, akan terhambat bila ada orang yang berpikiran ku’eh terhadap saudaranya. Watak ini harus dibasmi dengan segera, memotong generasi dan jangan sampai anak – anak Aceh mewarisi sifat – sifat buruk dari orangtua mereka.
Manusia dikaruniai Tuhan dengan beraneka macam sifat dan karakter. Baik itu sifat baik atau sifat buruk. Itu adalah potensi insani yang mesti mampu kelola untuk menjadi maslahat bukan menjadi mudharat. Karena manusia sebagai mikrokosmos sekaligus makrokosmos, dia memiliki otoritas memilin dan menjatuhkan pilihannya lewat dua jalan, yaitu jalan taqwa dan jalan fujur (keburukan).
Pengetahuan dan akal sejati manusia menjadi filter untuk mencerna, memilih dan memilah potensi itu. Ketika akalnya hilang sifat buruk mendominasi, sehingga menganggap itu suatu kebiasaan dan kebenaran, bahkan seolah-olah telah membudaya dimasyarakat.
Kita mungkin kerap menemui atau bahkan pernah mengalami perasaan seperti ini: saat melihat orang lain memiliki sesuatu yang baru, bagus atau mewah maka kita juga harus memilikinya. Kalau perlu yang lebih bagus dari milik orang yang kita lihat. Di sinilah, pentingnya nilai moral dan agama, dengan meyakini bahwa Allah telah memberi bagian masing-masing manusia dalam kehidupan di dunia. Sehingga, sebagai manusia haruslah rela dengan bagian yang diberikan oleh Allah serta bertanggung jawab dengan apa yang telah diberikan-Nya.
Faktor teknologi, pergaulan global dan pendidikan yang semakin tinggi, sejatinya harus memberikan dampak lebih positive thingking, rasa fairness di kalangan generasi Aceh saat ini. Harus menjadi kesadaran kolektif bahwa selama mereka iri hati atau Ku’eh dengan sesama bangsanya, maka Aceh tidak akan pernah maju. Aceh akan kelelahan dengan konflik – konflik internal sebaqgaimana yang orang – orang tua mereka lakukan. Ini yang dinamakan Bung Karno sebagai revolusi pemikiran dancharacter building.
Pernyataan saya ini dalah otokritik untuk saya sebagai anak bangsa Aceh, yang hidup di satu negeri surga tapi namun sebagaian besar penghuninya masih suka iri hati dan berpikir negatif. Jadi Anda yang membaca tulisan ini, ada di kategorikan mana? Jika Anda membaca tulisan ini tersenyum, maka Anda adalah orang positive thinking, tapi jika Anda masih bermuka masam sambil cemberut dan mengerutkan dahi, mohon maaf, saya boleh klaim Anda adalah golongan negative thingking…Mari instropeksi dan selalu tersenyum untuk orang lain. Wallahu a’lam bish-shawab.

  • Disampaikan pada diskusi dengan komunitas Seuramoe Budaya
Sort:  

nice post of steemit,,
keep it up

saat mondok di pesantren dulu, kami juga memilah-milah kategori santri, termasuk santri yg ku`eh.

Jangan kendur bang. walau tak banyak lanjutkan.