Maulid dan Solidaritas Tionghoa
"Dalam keceriaan dan canda tawa memupuskan jurang pemisah intoleransi di kota ini"
Para undangan terlihat sumringah. Sebagian yang lain larut dalam obrolan santai bersahaja. Dalam sudut pekarangan halaman belakang, ditemani beberapa orang sahabat, kami pun terbawa suasana ceria.
Obrolan politik hingga permainan ludo tak luput dari pembicaraan. Semua senang, gembira lalu tertawa. Tanpa memandang pangkat, suku, posisi dan kelas sosial.
Hari itu Minggu, 18 Februari 2018. Sebuah kenduri Maulid dilaksanakan di rumah pengusaha sukses asal Pidie, dalam rangka memperingati hari lahirnya baginda Rasul Muhammad SAW.
Di kediaman Asnawi Abdullah (Bos Nawi Kurnia), beragam orang memenuhi undangan, dari berbagai latar belakang dan kelas sosial. Tentu, kedatangan mereka untuk memenuhi undangan dan memberikan penghargaan.
Di sudut gazebo belakang rumah, sambil menikmati aneka menu makanan, saya dengan seksama melihat satu per satu tamu yang datang. Bersahaja dan ramah.
Dalam deretan yang datang, sejumlah pengusaha dengan ramah melemparkan senyum. Lalu beberapa politisi juga menyambut dengan ramah. Berbaur!
Kemudian ada pengurus partai A yang menyambut kedatangan pengurus partai B. Ada juga mahasiswa yang terlihat merangkul politisi partai C dengan rangkulan hangat.
Pak polisi dan tentara dengan berbagai macam pangkat juga terlihat, menemani undangan yang lain dalam setiap obrolan sambil menikmati menu yang telah disediakan.
Lalu setelah menikmati kenduri dengan berbagai menu, mereka meninggalkan kediaman dengan ceria, senang dan penuh kebersamaan. Kebersamaan seperti tercipta dalam lingkup 'rumah putih' yang bersahaja.
Silih berganti, ada yang baru datang dan sebagian meninggalkan lokasi. Beberapa orang terlihat masih menikmati menu, terlihat ada anggota dewan, pengurus organisasi pemuda dan juga mahasiswa.
Belakangan jam di tangan saya menunjukkan arah sekitar pukul 14.00 Wib. Beberapa orang undangan kembali datang. Pemilik rumah, Bos Nawi, menyambut mereka dengan senyum.
Mereka adalah atlet Batminton, teman sepermainan olahraga Bos Nawi setiap Senin, Rabu dan Jumat. Obrolan seputar olahraga pun memecah keheningan dengan ragam tawa.
Nanak, etnis tionghoa yang berbaur bersama dengan yang lain. Selain atlet batminton, Nanak juga pedagang di Kota Sigli. Tidak ada sekat perbedaan dalam suasana kebersamaan.
Kehadiran nanak mengajarkan saya, bahwa toleransi ini menjadi kekuatan utama membangun kedewasaan berpikir. Ini pula yang mengajarkan kita bahwa, Islam benar-benar rahmat bagi sekalian alam.
Dalam suasana yang ceria, maulid memang menyatukan banyak orang dengan beragam pemikiran, bahkan berbeda keyakinan sekali pun perlu dihargai pada kontek kemanusiaan dan hubungan antar manusia.
Masih di sudut yang sama, saya menerawang ke dalam alam pikiran yang sama, betapa maulid telah mempersatukan banyak pemikiran dan perbedaan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat.
Saya kemudian tetiba teringat, lakum dinukum waliyadin (bagi kamu agamamu, bagiku agamaku). Pada perspektif keyakinan tidak ada batasan toleransi, tapi dalam sudut pandang sosial dan kemanusiaan, kita boleh bersama serta saling membantu.
Sekali lagi, maulid selain kenduri memperingati lahirnya Rasul Muhammad SAW, juga memberikan pesan yang kuat sebagai substansi ukhwah. Sehingga solidaritas tanpa batas menjadi penting. Semoga!