Hutan Aceh di Mata ‘Donya’
SEBUAH artikel koran berjudul “Peulihara Uteun Aceh”, terpajang di dinding ruang kerja M Rizal Fahlevi Kirani, Staf Ahli Gubernur Aceh periode 2012-2017. Artikel tersebut merupakan ulasan dan pesan-pesan Wali Negara Aceh, Tgk H Muhammad Hasan di Tiro.
Rupanya, di Tiro, Pidie, tidak saja telah berhasil membangun satu gerakan politik etno-nationalisme serta kesadaran akan sejarah kedaulatan Aceh masa lalu, namun juga ada pesan tentang pentingnya menjaga kelestarian
hutan beserta seluruh habitat dan ekosistemnya.
Pada masa konflik, hutan merupakan rumah bagi gerilyawan, sekaligus sumber penghidupan bagi para penebang. Saat damai, para gerilyawan meninggalkan hutan , namun penebang terus berjalan. Dilaporkan, kerusakan
hutan Aceh mencapai 23.000 hektare atau sekitar 230 km2 per tahun. Jauh melibihi luasnya kota Banda Aceh yang hanya 61,36 km2 (Serambinews, 2014). Namun pada periode 2016-2017, jumlah pengrusakan terhadap hutan Aceh mengalami penurunan, yaitu mencapai 17.333 hektare (Gunawan, 2018).
Penebangan hutan umumnya dilakukan secara legal oleh perusahaan-perusahaan pemegang hak izin penebangan hutan , juga secara tidak sah (illegal logging) oleh para mafia
hutan. Selain itu juga perambahan
hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan, khususnya kelapa sawit yang sedang mewabah di Aceh. Tanaman komoditas bagi bahan makanan, biofuel dan kosmetik ini tidak saja mengganti demografi hutan, tapi juga sejumlah kawasan lahan gambut yang menjadi tempat cadangan sumber air serta kaya biodiversitas.
Moratorium logging
Kebijakan politik dan strategis dalam rangka melestarikan hutan Aceh pernah dilakukan oleh Irwandi Yusuf, saat ia mengeluarkan Instruksi Gubernur Aceh untuk menghentikan penebangan hutan (moratorium logging), baik bagi pemegang izin maupun yang ilegal sampai waktu yang tidak ditentukan. Tujuan dari program ini, menurut Irwandi, bertujuan untuk meletakkan fondasi pengelolaan hutan yang lestari dan adil bagi rakyat Aceh (Detiknews, 2007).
Namun demikian, perlu ada upaya sosialisasi kebijakan strategis tersebut, termasuk Qanun No.7 Tahun 2016 tentang Kehutanan kepada seluruh stakeholder agar terbentuk suatu kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga, melestarikan, memanfaatkan sumber alam dari hutan secara berkesinambungan. Termasuk pemahaman tentang kategorisasi hutan serta konsekuensi hukumnya, seperti
hutan negara, hutan hak (hak konversi, hak produksi, dan hak lindung), dan
hutan adat, yaitu hutan yang dikuasai dan dikelola oleh komunitas adat.
Selain itu, langkah progesif juga telah ditunjukkan oleh Gubernur dalam rangka law enforcement, seperti pencabutan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) terhadap perusahaan sawmill Hakim Meriah di Bener Meriah, karena terbukti menjadi penadah hasil
kayu-kayu yang ditebang secara ilegal (Mogabay, 2018). Apresiasi juga patut diberikan kepada pihak Polres Nagan Raya yang menangkap Kapolsek Beutong, karena diduga menjadi pelaku penebangan kayu secara ilegal di kawasan tersebut (Serambinews, 2017).
Pada November 2017 lalu, delegasi pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh mantan ketua Fraksi Partai Aceh, Kautsar Abu Yus menghadiri konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Climate Change di Bonn, Jerman. Selain anggota legislatif, juga ikut serta staf ahli Gubernur Aceh bidang Hutan dan Lingkungan , M Rizal Falevi Kirani, Ketua PNA Kota Banda Aceh Tarmizi, serta beberapa tokoh Aceh lainnya.
Pertemuan tingkat tinggi para pemimpin dunia ini merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan The Paris Climate Change Agreement. Sebelum itu, telah ada beberapa perjanjian internasional tentang pentingnya manjaga dan melestarikan lingkungan, antara lain konvensi Stockholm 1972, Rio Declaration 1992, Kyoto Protocol 1997, Bali Road Map 2007, Copenhagen Accord 2009, dan terakhir Paris Agreement 2015.
Indonesia merupakan satu negara yang turut menandatangani perjanjian tersebut serta telah diratifikasi oleh DPR RI dalam sistem legislasi nasional (Straitstimes.com, 2016). Adapun tujuan dari kesepakatan Paris ini adalah untuk mereduksi emisi gas Carbon dioxide dan green house gasses lainnya.
Perubahan iklim
Menariknya, Aceh menjadi satu “negara” yang menjadi delegasi dan menjadi bagian dari upaya mendukung rezim internasional yang sedang berjuang dalam menstabilkan kembali perubahan cuaca/iklim bumi, serta melestarikan kembali hutan dan lingkungan. Ini membuktikan bahwa fungsi dan keberadaan kawasan hutan di Aceh penting bagi donya dan masyarakat internasional.
Komitmen pemerintah Irwandi dalam melestarikan hutan Aceh memang telah ditunjukkan sejak ia berkuasa pada periode 2007-2012 lalu. Upaya ini, misalnya, dilakukan dengan ikut serta dalam pertemuan para gubernur se-dunia dalam forum Governor Climate and Forest Task Force yang dilaksanakan di California, Amerika Serikat, juga di Aceh pada 2010 silam.
Selain itu, program Aceh Green yang diperkenalkan pada periode lalu dan mengembangkan kawasan Ulu Masen sebagai kawasan yang berfungsi untuk meng-absord gas emisi di udara, melalui program penjualan Carbon atau REDD+initiative kepada dunia. Upaya menjual Carbon ke pasar dunia dikelola oleh Carbon Conservation, satu group pemangku kepentingan dan menandatangani kontrak dengan Merrill Lynch, satu perusahaan investasi dan Bank Amerika. Perusahaan ini setuju membiayai program REDD ini sebanyak 9 juta US dollar untuk empat tahun dalam rangka memverifikasi pengurangan perambahan dan pembakaran hutan di kawasan Ulu Masen (Cifor, 2010). Sayangnya, saat Irwandi tak terpilih pada Pilgub Aceh periode 2012-2017 lalu, kelanjutan program ini tidak diketahui nasibnya.
Kini, dengan kembalinya sang “Kapten” menjadi Gubernur Aceh periode 2017-2022, dan keterwakilan Aceh dalam Conference of Parties (CoP) di Bonn beberapa waktu lalu, ada satu harapan baru bahwa pesan Wali Negara Tgk Hasan Tiro untuk menjaga dan melestarikan hutan dapat diwujukan kembali.
Kesadaran kolektif akan pentingnya
hutan itu merupakan satu keniscayaan agar hutan tropis sebagai warisan leluhur, tidak berubah menjadi hutan palawija. Pohon-pohon besar tidak lagi roboh dan berubah tumbuh menjadi pohon pisang, sawit, kopi, karet, dan sebagian lainnya menjadi kawasan tandus akibat dikeruk untuk kepentingan pembangunan. Wallahu a’lam.