Disebut Fiksi atau Puisi?
Prolog
Dari awal mula, manusia memang suka berpolemik. Makan atau tidak makan buah terlarang? Duluan mana: ayam atau telur? Profesi tertua: dukun atau pelacur?
Dan sampai kini polemik terus ditumbuhkembangkan, diberi pupuk organik. Ekstrem kiri lawan ekstrem kanan. Eksistensialis musuh nihilis. Kecobong kolam versus kampret gua. Kapitalis saling melotot dengan komunis. Bahkan yang kaum moderatpun ramai-ramai ikut berpolemik: ultra moderat vs. infra moderat. Yang sedang-sedang saja tak ada lagi dalam kosakata. Semuanya ingin menjadi yang ‘ter’: terbaik, terhebat, terkenal, terjebak, terkadang, terasi, terigu, terompah, terompet, terbalik atau terlanjur basah.
Monolog
Ini monolog tentang dialog yang lahir karena polemik. Harap fokus bahwa ini sebuah monolog. Kalaupun ada dialog disebut-sebut, itu karena yang menjadi tema monolog ini adalah polemik yang melahirkan dialog.
Albert Camus (yang tidak ada hubungannya dengan buku tebal berisi kata-kata yang menjelaskan tentang kata-kata) terlibat debat seru dengan Jean-Paul Sartre tentang eksistensialisme. Mereka berdua yang disebut bapak-bapak eksistensialisme. Ibunya Simone de Beauvoir. Mungkin karena dulu teknologi pengujian DNA belum ada, maka eksistensialisme bapaknya tak cuma satu. Makanya Camus dan Sartre bertengkar memperebutkan hak asuh, atau untuk menolak hak asuh. Dan aku tak kenal eksistensialisme.
Albert Eisntein (tidak ada hubungan saudara dengan Albert Camus) membantah teori kuantum Werner Heisenberg dengan kalimat “Tuhan tidak mungkin bermain dadu” yang dibalas oleh pendukung Heisenberg seperti Niels Bohr, Stephen Hawking dan Richard Feynmann bahwa “Tuhan bermain dadu, blackjack, domino dan mahjong kapanpun Dia mau”. Dan aku tidak tahu cara bermain dadu, blackjack, domino atau mahjong.
Kusno bilang bahwa najis berat cukup dicuci dengan sabun, tidak perlu dengan air enam kali dan satu kali tanah. Alasannya karena jaman dulu di Arab—dan juga dibanyak bagian dunia lainnya, sabun merupakan barang langka. Ahmad Hassan yang tahu bahwa Kusno suka berpolemik menjawab: “Najis berat harus disucikan dengan cara dicuci enam kali dengan air dan disamak satu kali dengan tanah. Kalau belum maka ia belum suci, meskipun sudah bersih.”
Argumentasi Ahmad Hassan jadi mengingatkanku pada haiku. Semua sudah paham bahwa haiku adalah puisi pendek Jepang. Sebagian besar tahu bahwa haiku adalah puisi tiga baris dengan pola 5-7-5 suku kata atau satuan bunyi. Sedikit yang berdisiplin bahwa haiku harus memiliki ‘kigo’ dan ‘kireji’. Apakah haiku boleh tidak memiliki ‘kigo’ sebagai penanda waktu? Boleh saja! Tapi namanya muki, bukan haiku! Dan aku kurang begitu suka menulis haiku. Atau sebenarnya tidak bisa.
Tak terbilang banyaknya polemik yang terjadi dalam sekat-sekat pola pikir dan akibat paradigma yang terpolarisasi bahkan untuk kedekatan yang kembar identik. Sering yang bicara adalah kekastaan, senioritas, atau ad hominem, yang seharusnya disingkirkan saat memulai dialog untuk mendekatkan persepsi abstrak untuk menemukan pemahaman, atau paham bahwa tidak mungkin sepaham karena Tuhan memberikan hanya setitik cahaya sementara galaksi tetap terkungkung misteri. Dan aku menulis ini mungkin dalam kondisi gairah birahi tanpa mengerti mengapa aksara dalam kata-kata tinggi seperti menari.
Epilog
Biasanya pada epilog akan ditemukan jawaban pertanyaan yang diajukan oleh judul.
Yang ini tidak, karena epilog sebagai kunci jawaban sudah terlalu mainstream.
Saat aku memulai tulisan dengan prolog, suatu kepatutan dianya ditutup dengan epilog. Jika tidak, maka orang-orang akan terus menanti layaknya tulisan berseri, meski tak tercantum kata ‘bersambung’. Dan aku tidak punya niatan untuk mencantumkan kata ‘bersambung’ itu. Namun jika hanya menulis ‘SEKIAN”, tak apalah. Aku takkan berpolemik untuknya.
TAMAT (Aku berubah pikiran)
Catatan kaki (tepatnya, pertanyaan kaki): apakah di era Romawi kuno vampire pernah eksis?