Temanku Pulang Kampung Setelah Sekian Lama di Jakarta, Lantas Culture Shock!
KOTA TELAH mengubah persepsi seorang temanku tentang kampung. Bahkan untuk kampung tempat ia lahir dan menghabiskan masa-masa keber-ingus-an terakhirnya. Aku terhenyak dan merasa emosi sendiri ketika berjumpa dengannya, setelah sama-sama pulang dari perantauan. Ia pulang dari ibukota negara, aku pun sama. Dan di kampung, saat perjumpaan itu terjadi ia dengan agak berbisik berkata, "Culture shock aku. Harus adaptasi lagi selama beberapa hari sejak pertama tiba."
Aku sangat-sangat tak sepakat dengannya. Dua tiga tahun di Jakarta, ia pulang dengan membawa banyak penyekat. Menurutku menyekatkan diri dalam persepsi kampung-kota adalah perihal yang tak masuk akal. Terutama ketika yang dimaksud kampung itu adalah kampung lahirnya sendiri. Tapi temanku punya banyak alasan pembenaran. Ia tak hanya beralasan pada kurangnya fasilitas-fasilitas yang menegaskan kekotaannya selama di kampung. Tapi perihal yang membuatnya tambah tak betah adalah persoalan-persoalan keingintahuan orang-orang terhadapnya.
"Itu sangat mengganggu privasi, kukira," katanya. Lalu ia menjelaskan tentang kurangnya mendapat momen-momen untuk berprivasi ria atau dalam istilahnya ia menyebut frasa; me time. Aku mendengar semua omongannya sambil menerka-nerka di mana letak kesalahan kampung. Sehingga seseorang yang baru pulang dari kota harus beradaptasi ulang dengan keadaan kampungnya.
Aku tak menemukan kesalahan itu. Kecuali esensi kampung masih saja seperti dulu, tempat segala yang bersahaja bermula. Orang-orang masih saling bertukar salam di setiap simpang. Orang-orang masih bercengkerama atau bahkan untuk pertengkaran-pertengkaran kecil pun semua melakukannya dengan bersahaja. Ada banyak nostalgi yang memungkinkan seseorang yang baru pulang dari rantau tak membutuhkan kata adaptasi apalagi istilah maha celaka itu: culture shock.
Gegar budaya memang ada. Tapi itu hanya berlaku untuk kau yang terlahir sebagai pemakan darut kleng, tahu-tahu terdampar pada sebuah negeri yang memungkinkan kau harus menyantap kecoa setiap hari. Namun untuk seseorang yang terlahir sebagai pengunyah asam sunti, keluar daerah dan di sana terpaksa makan keju, lalu pulang lagi dengan mendapati asam sunti yang sama seperti dulu. Apakah itu harus dihadapi dengan istilah culture shock atau gegar budaya?
Temanku masih nyerocos. Di Jakarta ia mengajar di kampus negeri. Segala yang berlaku di kampung ia kait-kaitkan dengan banyak teori. Hampir semuanya teori sosial, apakah itu antropologi atau sosiologi. Ia memang magister ilmu sosial. Tak ayal ia menyebut nama-nama seperti Habermas dan di lain waktu ia bawa nama Benedict Anderson.
"Pap asee!" Umpatku dalam hati. "Untuk kampung sendiri, tempat kita lahir, besar, dan tahu nama-nama buah hingga hafal nama-nama menteri zaman Orba itu. Apakah cocok membawa-bawa istilah culture shock?" Aku lanjut bertanya pada diri sendiri.
Setelah teman sekampungku yang lagi gegar budaya itu menyebut nama-nama yang sama sekali tak pernah kutemui itu. Konon lagi mengenal ruman mukanya, aku jadi teringat Teungku Min dan Bu Guru Midah zaman sekolah dasar dulu. Dua-duanya telah meninggal belasan tahun lalu. Ketika ingat keduanya, aku tersadar satu hal. Sesuatu yang pernah dipertanyakan oleh seorang temanku yang lain ketika dulu kukatakan padanya aku hendak melanjutkan kuliah lagi.
"Ya. Kau harus melanjutkan kuliah setinggi mungkin. Aku juga pernah bercita-cita seperti itu. Tapi selalu mentok dengan biaya. Klise sebenarnya. Cuma memang begitulah kenyataannya," katanya waktu itu.
"Kesempatan akan selalu ada. Aku yakin kau juga akan mendapatkan kesempatan itu suatu saat nanti," kataku.
"Itu tak membuat aku berbesar hati. Aku punya cara berbesar hati sendiri atas ketidakmampuanku tentang itu."
"Apa?"
"Paling aku berpikir. Kenapa harus kuliah lagi kalau hanya untuk memperbanyak para begawan intelektual yang cuma bertahta di menara gading akademis. Yang ketika sudah banyak ilmu kerap merasa tak bisa berbaur lagi dengan orang di kampung-kampung."
"Aku tidak setuju," potongku saat itu. Tapi dengan cepat ia menimpali, "Mungkin suatu saat kau akan setuju."
Saat itu aku terdiam. Sama terdiamnya aku seperti sekarang ini. Ketika si teman sekampungku masih berbicara tentang teori-teori sosial, perbedaan kelas, dan lain sebagainya. Sampai di sini aku seperti hendak menemui teman lamaku satu itu, dan meralat apa yang dulu tak kusetujui. Aku seperti merasa miris sendiri.
Itu gejala apa yang dalam ilmu sosial disebut Habermas Shock, aku dapat istilah itu di emperan malioboro.
Ceritanya, bang. Aku dpt istilah itu, pas sekali ada kawan lama dtg ke kalibata sambil nenteng jengkol. Keperluannya dtg cuma buat minta asam sunti sama istriku. Terus pas peugah haba dua krek sahoe, dia bilang ke aku. Dia sudah agak malas pulang kampung, karena sudah harus adaptasi lagi. Culture shock, kawan itu dg kampungnya. Kee langsong teumeunak keudro. Haha
Hahaaa.... Tiga tahun ke Jakarta terus pulang kampung udah pengin me time, wate hana soe pakoe nteuk ka laen lom dipeugah.
Me Time! Hahahaha...
bentuk banyak tanya di kampung itu lebih sebagai bukti ramah, kepedulian juga sekedar sapa lama tak jumpa.
geutanyoe teu ingat-ingat teuh yang hana di kota.
menyoe treip2 ta meurantoe.
nyan kawan droneuh kurang maen bak meunasah wate malam puasa kadang 😂
Memang kurang maen kawanku satu itu bang. Hehe