Abdoraman dan Prapto; Secuil Kisah Anjing
Yang kuingat tentang kampungku hanyalah letupan senjata yang bersambung-sambung, gemuruh laju tank yang mengguncang rumah dan tahlilan kematian yang digelar hampir saban malam. Dan setiap kali aku mengingat-ingat bentuk rumah kami yang dibakar, ingatanku akan memasuki jalan buntu, lalu terhenti pada meunasah kampungku yang telah reot dengan tiang benderanya menjulang di halaman.
Foto ilustrasi www.pixabay.com
Aku menyebutnya 'Meunasah Dua Bendera'. Tapi nenekku selalu meralat. Katanya sudah empat jenis bendera pernah berkibar di tiang kayu yang menjulang itu. Pada akhirnya nasib meunasah dan rumahku memang berakhir di tangan Pratu Prapto dan teman-temannya. Dia menyiramnya dengan bensin, lalu membakarnya.
Dan sejak itu, apapun tentang kampungku adalah kenangan menyakitkan. Syakubat, pahlawan yang melegenda dan kupuja yang tak pernah pulang, paman-pamanku yang hilang, dan semua lelaki di kampong ini yang berujung mati, pergi dan hilang.
Semua berawal ketika Abdoraman membawa pulang orang-orang Meurandeh. Mereka berlabuh di pantai kampung kami dan mendiami hutan di kaki bukit di ujung kampung ini. Berminggu-minggu berlalu hingga beribu-ribu serdadu dengan senjata panjang datang mengobrak-abrik desa. Seharusnya mereka hanya mencari Abdoraman dan orang-orang Meurandeh, tetapi mereka malah menyiksa pemuda kampung. Mereka mulai membunuh beberapa lelaki dan termasuk paman-pamanku. Mereka menebar ketakutan dan melahirkan kebencian di seluruh penjuru kampung. Saat itu aku belum lahir.
Kelahiranku persis saat Abdoraman ditangkap. Saat dia disekap berminggu-minggu di meunasah yang telah dialih fungsi menjadi markas serdadu. Kata nenekku itu adalah tahun kedelapan sejak Abdoraman dan orang-orang Meurandeh berlabuh di pantai. Dan kata nenekku itu adalah tahun kedua sejak seorang serdadu bernama Suprapto bertugas di kampungku. Dialah serdadu yang berhasil menangkap Abdoraman. Dia juga orang yang memenggal kepala Utoeh Karim dan menyuruh Geuchik Amin merayap di jalan tanpa pakaian.
Saat itu, di kampungku, Aku dan Abdoraman adalah dua orang yang selalu menangis, setidaknya begitu kata nenekku. Sepanjang malam, saat Abdoraman meraung sejadinya di Meunasah, aku pun meraung sejadiku di rumah. Serdadu menyiksanya. Tangisnya menggangguku, hingga aku menangis sejadinya, kata nenekku.
Aku tumbuh besar di rumah panggung kami yang tinggi. Setiap hari, gemuruh laju tank selalu menguncang-guncang tanah. Menimbulakn bunyi gemeretak, seakan rumahku akan roboh perlahan.
Saat aku mulai mengerti apa yang terjadi, aku tahu bahwa itu adalah perang; bahwa orang-orang yang kulihat diseret masuk ke Meunasah tak ada yang pernah keluar. Setiap waktu, di sepanjang kisah yang bisa kuingat, suara-suara tangis selalu terdengar dari Meunasah, dan Pratu Prapto adalah serdadu paling menakutkan di mata semua orang.
Suatu hari saat aku pulang sekolah, melaju dengan sepedaku di depan meunasah, mereka memanggilku, menyuruhku memberi minum untuk Chik Lah. Padahal orang sekampung tidak pernah tahu di mana Chik Lah selama berbulan-bulan ini. Mereka menganggapnya sudah lari ke luar negeri atau mati kelaparan di hutan. Ternyata dia di meunasah. Dia masih hidup, walau lebih terlihat seperti mati.
Aku mulai berpikir hal-hal aneh tentang kehidupan. Saat orang-orang yang disekap di meunasah menangis dengan jeritan yang cukup menyayat hati, aku berusaha menyibukkan diri dengan hayalan sepanjang malam. Dalam dekap nenek yang hangat aku kerap menangis ketakutan.
Hayalan-hayalanku selalu berujung bermimpi bahwa Syakubat pulang. Ia pulang melawan Prapto.
Tapi itu memang tak pernah terjadi sampai aku curiga cerita nenek tentang Syakubat hanya bohong belaka. Perlahan aku juga mulai sadar bahwa aku tak pernah punya teman. Tak ada yang mau bermain denganku. Aku hanya punya nenekku dan hanya berteman dengan cerita-cerita yang keluar dari mulutnya yang bau, dan perlahan aku mulai mengerti bahwa orang sekampung memang tak pernah suka melihatku.
Dari jendela rumahku, aku selalu dapat melihat Suprapto. Dia menghidupkan mesin tank setiap pagi. Dia juga minum kopi bersama Abdoraman, satu-satunya orang yang entah kenapa dibiarkan hidup di saat semua orang yang pernah diseret ke meunasah berakhir dengan mati. Aku semakin tak mengerti dengan semua itu.
Suatu hari, saat pulang sekolah, kulihat beratus-ratus serdadu berbaris di sepanjang jalan Meunasah. Mereka bersiap menaiki berpuluh-puluh truck yang telah menunggu. Perang kian membesar. Mereka bersiap untuk pergi dari kampong kami. Kulihat Abdoraman di antara serdadu. Dia berseragam serdadu. Ia memegang senjata panjang dan berjalan bersama Suprapto keluar dari meunasah. Saat itulah Suprapto mulai menyiram bensin ke lantai meunasah. Mereka membakarnya. Api seketika kian membesar, menjalar hingga ikut membakar rumahku.
Setahun kemudian, saat aku mulai sekolah SMP, barulah nenek menceritakan segalanya. Ibuku, Hafizah ternyata adalah perempuan paling cantik yang pernah dilahirkannya. Kata nenek, ibuku sangat baik dan pemberani. Suatu hari ia memasuki meunasah sambil berteriak memaki-maki serdadu demi berusaha menolong adik lelakinya, pamanku, yang disekap di sana. Tapi keberanian itu tak cukup untuk menyelamatkan pamanku. Ibuku malah ikut disekap berminggu-minggu, dan itulah mengapa akhirnya aku terlahir ke dunia. Mungkin Suprapto, mungkin juga Khoidir, atau seluruh serdadu di Meunasah. Mungkin merekalah yang menyebabkan aku ada. Dasar anjing!!!
Dan sepuluh tahun kemudian, saat akhirnya kutemukan kembali ibuku di Kutaraja, aku merasakan kembali kepedihan bertahun-tahun silam.
Aku teringat lagi kisah Syakubat, pahlawan yang melegenda dan kupuja yang tak pernah pulang. Aku teringat tentang paman-pamanku yang hilang dan semua lelaki di kampung ini yang berujung mati, pergi dan hilang. Aku seperti mendengar lagi letup senjata yang bersambung-sambung, gemuruh laju tank yang mengguncang tanah dan jerit kematian yang terdengar hampir saban malam.
Kini di tanganku, sepucuk surat kabar kupegang. Di satu halamannya terpampang Muka Abdoraman. Ia berdiri dengan raut muka yang sangat bersahaja dan dengan senyum yang lebar menganga. Dia akan menjadi raja. []
Allahuakbar, kisah yang sangat mengharukan, setiap baitnya membuat ku seakan berada dalam cerita, aq seperti melihat langsung kejadian penyiksaan di rumah panggung itu (menasah) dan aq membayangkan bagaimana tragedi rumoh geudong yang sangat seram berdasarkan cerita para alumninya.
Allahuakbar, darah ku mendidih dan ingin masuk dalam cerita ini untuk sekedar menghilangkan serdadu suprapto dari gaya kejamnya.
Trims @burong7 cerita ini sangat menyentuh jiwa ku.
Inilah gambar masa lalu kita bang @bahtiarlangsa. Terima kasih sudah berkunjung 😀🙏
brat gron pak nu. cerita konflik aju2
sang kayem keunong tapak sipatu awai watee konflik
hahahaha
Hahaha. Wate konflik lon mantong smp, sama.. Hana keunong poh, keunong gertak sagai 😈
Meu asoe that. Ngoen matasilet london aseuli, tajam nyoe lom. Maken meusyein long keu tulesan tulesan gata. 🙏
Makasih aduen @musyawirwaspada. Semangat belajar lon terinspirasi dari ureung2 droenneuh chit bang.
(laen pih han lon tupue tuleh le, kakeuh long meuhayal2 ju bang 😂
Kajeut peugot buku cerpen saboh sidroe, hana roh gob. Meu bh'ak2 atee kuh watee ku baca. Memang nah,..
Judul konflik
Pajan man tapeugot 😊 *long kupike sedih keuh leuh kabaca, rupajih mubhak2 atee 😂😂
galak that lon baca,, kata kata nya ringan tapi sangat tajam. teruslah menulis dan tetap semangat @burong7
Makasih @syareefa10, semoga bermanfaat 😀
Kekejaman perang saudara yang sungguh menyakitkan walau ditulis dalam sebuah fiksi namun fiksi yang dituliskan ini pun membuat hati tersayat.
Iya kak @mariskalubis. Perang memang selalu meninggalkan cerita yg menyayat hati. Tapi sekarang alhamdulillah gak ada lagi perang 😊
Sakit hati sama sedadu
Sudah damai, han jeut le saket2 ate
I am ur new steemit friend so check my post
upvote back follow back dong
Chit meukeunong laju naah. Han ta tu oh peugah bhah menyo ka meunan kisah. Nyang pah ceulak tapleeu ngat bek di taok lam meunasah.
@burong7
Yaya. Nyan keuh meunan kejadian jameun wate gata golom lahe @safrizalsulaiman 😜