PEREMPUAN ACEH DALAM KONTEKS KEKINIAN

in #indonesia6 years ago

IMG-20180722-WA0003.jpg
Sumber : google.com

ini berupaya memotret kehidupan perempuan aceh dalam era kontemporer. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, dari beberapa perjalanan diprovinsi aceh, kecuali simeulue, tampak bahwa perempuan di aceh telah mendominasi wilayah publik. Perempuan di aceh telah melakukan perannya, mulai dari pinggir jalan (Gadis pertamina, Gadis bakar jagung, Gadis Cafe, dan Gadi Laundry), hingga sampai pinggir kekuasan ( Anggota Dewan, Ketua DPRK, Walikota, dan kontraktor ). Demikian pula dengan dunia pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan Tinggi, perempuan mendominasi tidak hanya dalam bidang kuantitas, tetapi juga kualitas. Bahkan, juara kelas atau murid berprestasi cenderung didominasi oleh perempuan. Dalam beberapa baliho promosi penerimaan hadiah olimpiade sains, cenderung yang menjadi juara adalah perempuan.

Bahkan di perguruan tinggi, jumlah staf pengajar perempuan mulai menyaingi jumlah staf lelaki. Kedua, permasalahan sosial yang paling banyak menyita perhatian publik di Aceh juga di alami oleh perempuan. Mereka “bermasalah” mulai dari “ memakai hijab “ hingga “ membuka jilbab”. Terkait masalah jilbab ada peneliti yang mengatakan: “Wearing jilbab, however, sometimes brings women more directly into conflict with the state.” Ada beberapa persoalan yang menyitah perhatian kita seperti penjualan manusia, PSK, dan remaja putri yang ikut dalam berbagai aliran atau pemikiran yang tidak sejalan dengan keyakinan orang Aceh. Ketiga, ada juga yang beberapa perempuan Aceh yang menjadi ikot gerakan perempuan, tidak hanya pada level lokal, tetepi juga level internasional. Berbagai penghargaan mereka sandang, sebagai bukti bahwa perempuan Aceh dapat berkiprah di level internasional.

Terlebih lagi, jika dirujuk pada konteks sosio-historis peran perempuan dalam lintasan sejarah. Hampir semua kalangan sepakat bahwa keberadaan empat ratu yang memimpin Aceh, serta kemunculan beberapa pemimpin perang dari kalangan perempuan, membuktikan bahwa tidak ada diskusi mengenai peran perempuan dalam wilayah publik, yang cenderung diskriminatif. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan berpikir di Aceh telah dimulai jauh sebelum kajian keperempuanan dimulai, yaitu sejak abad ke-19 M. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah pola rekayasa sosial di Aceh cenderung memberikan peluang kepada perempuan untuk tampil di wilayah publik. Ketika wilayah publik semakin terbuka, maka yang mendominasi saat ini di Aceh, tidak terkecuali di provinsi lainnya di Indonesia, adalah perempuan. Kondisi ini memang mengundang sejumlah studi lanjutan, tidak hanya penjelasan mengenai apa dan bagaimana seharusnya perempuan tampil diwilayah publik, tetapi standar etika dan moral apa untuk menilai patut atau pantas tentang tampilan perempuan Aceh hari ini. ( halaman 1117-1118 vol 4)

Hal ini memperlihatkan bahwa dari sisi kebudayaan, gerak gerik perempuan Aceh, tidak lagi hanya seperti pengalaman perempuan dikampung. Mereka bergerak secara dinamis untuk mengisi ruang kebudayaan baru, yang sebelumnya didominasi oleh lelaki. Akibatnya, karena beberapa ruang pekerjaan dikuasai oleh perempuan, lelaki Aceh banyak yang menjadi pengangguran. Tidak ada ruang bagi mereka untuk mengalami pengalaman seperti perempuan di kota Banda Aceh. Tidak ada lelaki yang berprofesi sebagai guru TK, sehingga tidak ada mahasiswa di PGTK. Karena banyak guru perempuan di sekolah SD/MIN, di PGSD/PGMIN juga lebih banyak mahasiswi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, banyak ibu guru SD/MIN yang mengambil jejeng S2. Akhirnya, akan ada proses self determination bahwa pekerjaan yang sebelumnya dapat dikerjakan oleh lelaki, mulai dari pinggir jalan hingga pinggir kekuasaan, diubah menjadi paradigma nyan but ureung inong ( itu perkerjaan perempuan ). Jika paradigma ini berlaku, maka yang terjadi ada proses male meu ron ron sajan ureung inong.( halaman 1130 vol 4 )

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63608.16
ETH 2621.61
USDT 1.00
SBD 2.77