SYARI'AH ISLAM SEBAGAI LIVING TRADITION

in #indonesia6 years ago

IMG-20180722-WA0013.jpg

Gejala masyarakat yang mempelajari kitab jawi tersebut cederung tidak memmunculkan didalam studi pelaksanaan Syari’ah Islam (S1). Biasa tentang pelaksanaan S1 lebih kerap melihat dari aspek formalitas dan simbolik. Dengan kata lain, implementasi S1 terkadang dipandang bagaimana “ ureung kuta” mengatur “ureung gampong”. Karena itu terkadang S1 itu hanya muncul dikawasan urban (perkotaan) saja. Sedangkan dikampung cenderung melihat tradisi pembelajaran Islam secara komunal sebagai langakah yang lebih kongkrit di dalam pemahaman dan pelaksanaan S1. Hal tersebut ditopang oleh keberadaan dayah, teungku, dan kemudahan masyarakat di dalam memahami S1 dari apa yang dijelaskan oleh pemegang otoritas keagamaan. Sehingga, mereka tidak mau “melankahi” pemahaman mereka sebelum mendapatkan “pengesahan” dari pemegang otoritas tersebut.

Adapun dikawasan urban pelaksanaan S1 mirip dengan hasil kontestasi politik dan isu-isu simbolik. Dengan kata lain, lebih dahulukan berpikir tentang kekuasaan, baru kemudian dimunculkan produk pemahaman S1 yang berwujud Qanun. Turunan peraturan ini pun lebih sering muncul karena keinginan untuk melaksanakan S1 secara kaffah di Aceh. Walaupun secara hakikat dan subtatif, masyarakat Aceh, sejak kecil hingga masuk ke dalam liang kubur, tidak pernah menukar Syari’at mereka dengan Syi’ah agama lain. Hal ini disebabkan ketika orang menyebut Aceh, dia sudah pasti beragama dan bersyari’ah Islam. Karena itu, ketika formalisasi S1 muncul dari produk kontestasi politik, masyarakat cenderung dipaksakan untuk lebih takut pada pelaksanaan Qanun, ketimbang tahapan pemahaman keagamaan yaitu sayari’ah, hakikat, dan ma’rifat. Kerangka ini juga dapat ditemukan di dalam agama lain seperti agama Kristen.

Tentu saja persoalan pasca-Syari’ah merupakan wilayah mistis agama, yang tentu saja tidak ada Qanun yang mengaturnya. Dalam sejarah Aceh, kekuatan politik telah mencoba mengubah tradisi ini, sejak era Hamzah Fansuri. Namun tradisi beragama seperti ini di kalangan masyarakat Aceh telah masuk pada wilaya privat, bukan publik. Walaupun secara sosio-historis, ketiga kekuatan ini telah menjadi penopang kehidupan kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam. Karena itu, beberapa individu ingin merasakan dua hal pasca-Syari’ah adalah melakukan ritual-ritual yang sudah mentradisi di dalam masyarakat seperti suluk, khalud, atau mengikuti tarekat tertentu dibawah bimbingan seorang musyid atau khalifah. Kehidupan seperti ini yang awalnya tidak lazim dikawasan urban, dewasa ini telah menjadi trend bagi pola keberagaman masyarakat Muslim, khususnya ketika pengaruh seorang mursyid atau guru spiritual yang memainkan peran penting di dalam kehidupan beragama seseorng.(halaman 1212 vol 4)

Dari beberapa uraian di atas, ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi. Pertama , mendiskusi persoalan S1 di Aceh tidak dapat dipisahkan dari kesimnabungan reproduksi kebudayaan yang dilakukan oleh orang Aceh, khususnya mereka yang menjadi para penggerak dunia ilmu pengetahuan di negeri ini. Dalam konteks ini, ditemukan bahwa pemahaman S1 orang Aceh memiliki akar sejara dari tradisi pemahamannya terhadap beberapa kitab standar yang masih menjadi pedoman masyarakat sampai hari ini. Kedua, faktor hubungan ulama dan masyarakat telah menghasilkan satu pelaksanaan S1 sebagai tradisi yang hidup dan selalu menjadi satu fenomena kebudayaan dalam kehidupan beragama di Aceh.masyarakat Aceh memiliki pola tersendiri dalam pelaksanaan S1, sebagaimana terlihat di dalam kajian ini, mendapatkan pengetahuan S1 dari beberapa cara yaitu melalui pengajian, tanyak jawab, dan informasi-informasi yang beredar dari dampak kemajuan ICT. Karena itu, persoalan ini merupakan alasan mengapa tradisi-tradisi yang hidum didalam masyarakat Aceh seolah-olah tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan S1 di negeri ini.( halaman 1221 vol 4).

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63608.16
ETH 2621.61
USDT 1.00
SBD 2.77