Ai
Pria berbadan mungil itu baru saja mengecek beberapa toko di Kota Lhokseumawe, Senin (10/9/2018). Dia memeriksa antusias masyarakt terhadap produk—Haliya—serbuk jahe yang diproduksi dari tangannya.
Nama produk Haliya merujuk ke bahasa Aceh yang artinya Jahe. Dua tahun lalu, Aidil merintis bisnisnya di Lhokseumawe. Setahun terakhir, dia pindah ke Banda Aceh, Provinsi Aceh.
Idel awal membangun industri rumah tangga itu datang ketika Aidil melihat begitu banyak jahe melimpah di sejumlah desa dalam Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe. Harga jahe, terbilang murah. Terkadang bahkan hanya Rp 7.000 per kilogram.
“Artinya, petani tetap tak merasakan hikmahnya. Jahe kita bagus, kualitasnya impor. Tapi, dijual begitu saja, belum setengah jadi atau produk jadi. Sehingga murah sekali,” kata pria lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir itu.
Sesekali Aidil menyeka keringat yang menetes dari balik peci putihnya. Dia pun mulai meniti bisnis. Tak mudah. Produk minuman kemasan itu harus bersaing dengan produk kemasan dengan merk ternama di tanah air.
Namun, Aidil optimis. Saat ini, dalam sebulan dia bisa memproduksi 600 bungkus dengan berat mulai 100 gram hingga 15 gram. Dia pun mempekerjakan dua karyawan. “Jadi ada empat, saya dan istri, plus dua karyawan. Ini usaha kecil-kecilan. Terpenting, niat baiknya memajukan petani jahe di Aceh,” terangnya.
Produk itu sambung jebolan program magister komunikasi Islam, IAIN Malikussaleh itu, juga mengantongi sertifikasi halal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di pulau Jawa dikenal dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh juga telah memberikan izin Produk Industri Rumah Tangga (PIRT).
Untuk bahan baku Jahe langsung dibeli dari petani dengan harga Rp 16.000 per kilogram. Harga dua tahun lalu saat Aidil membuka usaha hanya Rp 8.000 per kilogram. Dalam sebulan dia menghabiskan 50 kilogram.
“Pelan-pelan saya terus meningkatkan produksi seiring meningkatnya pesanan. Usaha rumahan begini perlu komitmen kita dan petani. Saya ambil jahe langsung dari kebun petani, agar harganya bagus. Saya sendiri belum mampu menambah nilai jual mereka, namun setidaknya saya sudah berusaha,” sebut Aidil.
Untuk pemasaran, produk kemasan itu dijual ke seluruh kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Segmen pasar Aceh mulai dipenuhi Aidil mulai dijangkau Aidil untuk menjual produknya di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe,
“Sektor permodalan menjadi kendala, saya modalnya kecil. Mau pinjam ke bank, prinsip bankable terkadang belum berhasil saya tembus. Semoga ke depan akan ada pemodal,” sebutnya.
Jika memiliki modal dia akan membeli mesin mengemas serbuk jahe dalam jumlah besar. Saat ini, mesin sederhana hanya bisa mengemas jahe ratusan bungkus per bulan. Apakah pernah rugi? Aidil tersenyum. Bisnisnya beberapa kali gagal.
“Tapi saya tetap semangat. Dulu di awal, bahkan toko pun tak mau memajang produk saya. Karena merk lokal, bukan merk ternama. Sekarang pelan-pelan mulai banyak toko dan kios memajang produk saya,” pungkasnya.
Aidil terus bergerak, skala rumahan dengan impian mampu meningkatkan kemakmuran petani jahe di Aceh. Dia terus berusaha semampunya, sepanjang usia bumi. “Saya tak akan menyerah, saya akan berusaha sekuatnya untuk mengembangkan produk ini dan untuk kemakmuran petani jahe,” pungkasnya.