Sejarah Peunayong, Kota Cina di Banda Aceh
(sumber foto by google.com)
Perayaan Imlek seminggu lalu menyisakan banyak cerita. Terutama di Banda Aceh. Kota ini menjadi sorotan banyak media ketika perayaan Imlek berlangsung lancar dan damai. Bahkan atraksi Imlek, Barongsai, turut mewarnai jalan-jalan kota di Banda Aceh, terutama di Peunayong.
Berbicara tentang Imlek di Banda Aceh, Peunayong tak bisa diabaikan. Desa di pinggiran Krueng Aceh ini merupakan kota pecinan terbesar dan tertua di Aceh. Di sinilah, ratusan warga Tionghoa tinggal dan beraktifitas. Maka tak heran, Peunayong termasuk salah satu tempat bisnis teramai di Banda Aceh.
Sebenarnya, Peunayong telah ada sejak masa Kerajaan Aceh. Sejarah ini saya ketahui saat mengikuti city tour dari Dinas Pariwisata Aceh, beberapa tahun lalu. Menurut sejarah, kata Peunayong berasal dari kata pedayong yang berarti mendayung. Ini merujuk sebab desa ini berada tepat di bibir Krueng (Sungai) Aceh yang membentang membelah Kota Banda Aceh.
Namun, ada juga yang mengatakan Peunayong berarti dipayungi. Alasan ini bermula sebab di masa Kerajaan Aceh dulu, kawasan ini merupakan area yang dijaga ketat oleh pihak kerajaan. Sebab tempat ini berdiam beragam etnis luar, sehingga pihak kerajaan menjaga agar tradisi dan adat Aceh tidak dicemari.
(sumber by https://www.viva.co.id)
Konon, etnis Tionghoa pertama kali tiba di Peunayong sekitar abad sembilan. Bukan hanya etnis Tionghoa, beragam etnis juga singgah di Aceh, seperti India maupun Arab. Ini karena letak Aceh yang berada di jalur sibuk Selat Malaka, sehingga kerap menjadi persinggahan kapal-kapal besar. Dan Peunayong menjadi lokasi utama warga etnis Tionghoa menetap. Ini dikarenakan Peunayong berada tepat di tepi sungai. Sebab dalam kehidupan masyarakat China, hidup berdampingan dengan air dapat mendatangkan kebaikan.
(sumber by http://habadaily.com)
Saat datang ke Aceh, etnis China membawa beragam komoditas unggulan mereka, seperti sutera, kertas, hingga keramik. Kedatangan mereka ke Aceh bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga akibat pergolakan di daratan China. Kala itu, China mengalami beragam masalah, seperti penyerangan dari bangsa Mongol, bencana alam dan kelaparan, hingga pembangunan tembok besar China. Mereka umumnya berasal dari suku Hokkian, Kanton, Teo-Chiu, hingga suku Hakka.
Kedatangan etnis China ke Aceh kembali terulang saat penjajahan Belanda. Saat itu, W.P Groeneveld, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, membawa sekitar 4.000 masyarakat China ke Aceh untuk dipekerjakan karena upahnya cenderung lebih murah.
(sumber by www.arielogis.com)
Kedua sejarah panjang ini yang akhirnya membuat Peunayong menjadi daerah berbeda di Banda Aceh. Namun, sekarang ini, sedikit sekali bukti peninggalan migrasi etnis Tionghoa yang masih tersisa di Peunayong. Salah satu yang tersisa adalah deretan ruko di Jalan Ahmad Yani yang berdekatan dengan Pasar Ikan. Ruko ini masih menyisakan khas China di arsitektur bangunannya, seperti atap runcing dan jendela kayu bersisir. Sedangkan, ruko lainnya telah berubah bentuk mengikuti perkembangan zaman, sebagian lagi hancur akibat tsunami.
Walau minim peninggalan tersisa, kehidupan etnis Tionghoa sangat terasa di Peunayong. Adalah Gang Mabok, begitu orang-orang menyebutnya untuk lorong sempit di belakang Pasar Sayur. Gang sempit ini adalah pusat interaksi warga Tionghoa di Banda Aceh. Di sini, berderet puluhan ruko dan warung kopi yang menjadi ajang kumpul warga China dari beragam kelas sosial.
Saya pernah nongkrong di sini beberapa tahun lalu menjelang Imlek. Seru! Beragam interaksi terjalin di sini, bukan hanya dari warga China kelas atas atau bawah, tetapi warga Banda Aceh yang notabene muslim juga kerap nongkrong di sini. Interaksi pun terjalin layaknya komunitas lainnya. Gang sempit ini menjadi pusat mereka untuk berdagang. Bercampur baur dengan pedagang lokal. Bahkan, saya baru tahu, pernak pernik Imlek banyak dijual di sini. Hal sulit untuk ditemukan di pasar-pasar lainnya di Banda Aceh. Di gang sempit ini juga saya bisa melihat kue keranjang, kue bulan, jeruk Imlek, dan pernak-pernik Imlek lainnya.
(sumber by Kaskus)
Yah, Peunayong adalah perbedaan nyata di Banda Aceh. Namun, perbedaan ini bukanlah ancaman bagi kehidupan di negeri syariat ini. Hingga saat ini, tidak ada konflik atau ancaman yang pernah terjadi antara warga lokal dan warga keturunan. Semuanya hidup berdampingan dan saling menghargai.
Maka, untuk kamu yang masih underestimate dengan toleransi di negeri syariat ini, jalan-jalanlah ke Peunayong.
Sejuk hatiku membaca ttg kentalnya toleransi yang terjalin antara masyarakat Aceh pada umumnya dengan warga Tionghoa ini.
See? Negeri syariah ini pun memiliki tenggang rasa/toleransi yang patut dikagumi.
Thanks for share, Ferhat!
Yuppp kak.. Hal2 gni mungkin yg jarang diangkat sm media mainstream..
Peunayong menjadi bukti bahwa negeri syariat menjamin keberagaman.
Sepakat sekali..
Kaya pengetahuan sejarah..makasih ya, Fer.
Hhiihiii.. Efek dari ikut city tour kak
Hi... Aku bot....
:D
Halo juga dek.
Bangga. Bisa menyatu bagaikan aplikasi bhineka tunggal ika. Sungguh post yang berisi dan memiliki makna.
Semoga kita damai selalu dalam persaudaraan nusantara.
Amiinn.. Semoga damai selalu untuk kita.
Bosan ribut melulu.
Hihihi
Mungkin cina penayong bukti sejarah aceh yg maju. Namun kenapa mereka masih blum menyatu ini juga pertanyaan. Etnis lain arab. India. Bahakan portigis sdah menjadi bagian aceh. Kenapa belum. Bagi sya ini keggalan yag perlu diperbaiki
aku tiap hari ke peunayong hahahah
Cara terasyik promosi daerah dengan menyajikan ragam catatan yang penuh dengan informasi