Jejak Budaya Aceh
Review saya kali ini mengenai Jejak Budaya Aceh buku Acehnologi Volume 3 bab 24 karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Ph.D. Dalam membahas kebudayaan Aceh yang telah mengalami Arabisasi, maka harus ditelaah bagaimana keberadaan Islam itu sebagai produk kebudayaan bukan sebagai teologi (aqidah).
Maka kita harus dapat membedakan pengalaman keagamaan dan pengalaman kebudayaan, karena budaya yang kita alami sehari-hari telah bercampur dengan agama yang kita anut. Nah, untuk mengkaji peradaban di Aceh yang dipengaruhi Islam, faktor yang sangat penting adalah pemahaman terhadap bahasa, budaya, agama, dan sejarah. Sejarah Aceh mengatakan bahwa endatu orang Aceh berasal dari Parsia yang datang ke Pulau Ruja yang kemudian diberi nama Aceh. Bukan seperti apa yang selama ini telah terkenal bahwa Aceh merupakan singkatan dari Arab, China, Eropa, dan Hindia.
Dasar-dasar kehidupan rakyat Aceh pada masa kerajaan Aceh, mereka mampu bertahan selama ratusan tahun, karena pada peringkat tertinggi diduduki oleh raja/sultan. Di bawah sultan terdapat ule balang, dan di bawah ule balang ada mukim/kampung.
Tentang aturan kehidupan di dalam bermasyarakat rakyat Aceh, untuk urusan hukum yang berdasarkan pada keputusan agama Islam, disimbolkan dengan istilah “Syiah Kuala“, ulama yang cukup terkenal pada masa kerajaan Islam. Ulama memegang posisi yang penting di dalam kerajaan Islam di Aceh yang dapat mempengaruhi alam pikiran sultan dan rakyat Aceh secara keseluruhan.
Untuk urusan tata laksana keluarga di dasarkan pada simbol “Po Teumeureuhom”, raja atau yang memiliki kekuasaan. Untuk persoalan cara berfikir dan cara kemajuan masyarakat disimbolkan dengan “reusam bak bentara”. Jika adat istiadat di kendalikan di bawah sultan mengikat seluruh penduduk, maka reusam lebih kepada gaya hidup masyarakat Aceh.
Untuk persoalan upacara bersifat kerakyatan tetapi terdapat simbol budaya di dalamnya, maka di kenal dengan istilah “qanun bak Putroe Phang”. Putri Pahang disimbolkan sebagai tokoh wanita yang mengurusi persoalan wanita. Seperti itulah reusam atau qanun yang berlaku di Aceh.
Masyarakat Aceh juga sangat yakin akan adanya makhluk gaib yang sering di istilah kan dengan burong (hantu), teumeugu (dimasuki roh jahat saat berada di tempat tertentu), teumamong (kesurupan), peukenong (santet), dan meutapa (bertapa/bersemedi). Tetapi, semua aktifitas di atas selalu dibingkai dengan ritual keislaman yaitu meudoa (doa bersama), kecuali yang berbau sihir.
Mengenai konteks kebudayaan Aceh, untuk memahami budaya Aceh, maka harus di lakukan upaya irfani tentang apa yang dipikirkan oleh orang Aceh mengenai cara hidup mereka. Kemudian untuk mengetahui pengaruh Islam terhadap Aceh, maka harus dilihat titik terakhir dari aspek Islam yang terhenti di Aceh. Yang ketiga, untuk melihat dunia Aceh, maka yang harus dilakukan adalah bagaimana orang Aceh mempersiapkan di ri mereka dari bagian kosmologi. Dan terakhir bagaimana proses pergeseran makna dan perilaku budaya di kalangan orang Aceh, maka harus dilihat proses yang terjadi saat ini, apakah ingin menjadikan orang Aceh dari budaya atau malah sebaliknya mendekatkan kepada budaya.