Tradisi Kepenulisan di Aceh
Saya akan kembali melanjutkan mereview buku Acehnologi Volume 3 karya Kamaruzzaman Bustmam Ahmad bab 29 tentang Tradisi Kepenulisan di Aceh.
Buku menjadi salah satu faktor yang penting jika ingin mengukur tingkat intelektual suatu negara. Nah, bagi Aceh sendiri juga bisa diukur dari karya yang telah diterbitkan. Sebut saja seperti karya dari syaikh Nurdin Ar-Raniry yaitu Tibyan fi Ma’rifat Al-Adyan, Bustan Al-Salatin dan Shirat Al-Mustaqim. Tetapi sayangnya karya-karya dari orang Aceh sendiri tidak dimasukkan kedalam bacaan wajib bagi semua lini pendidikan di Aceh.
Jika dilihat dari perspektif perbukuan, Aceh telah memberikan satu kontribusi yang amat penting. Karya-karya di Aceh sealalu mejadi rujukan bagi kompas keagamaan umat Islam di Nusantara. Dalam hal ini nama seperti Syaikh Nurdin Ar-Raniry, Syaikh Abd Rauf Al-Singkili, Hamzah Fansuri, Hasbi Ash-Shiddieqy, Aboe Bakar Aceh, Ali Hasymi hingga T. Iskandar merupakan ulama dan penulis yang sangat produktif. Tetapi sejauh ini masih belum ada karya khusus yang membahas dunia perbukuan/perkitaban di Aceh. Maka dari itu, terlihat seolah-olah bahwa di Aceh kering akan produksi keilmuan.
Meskipun demikian, dunia perbukuan di Aceh tidak pernah berhenti. Ketika para penulis di Aceh melukiskan kerajaan, ilmu pengetahuan, ulama, perperangan, diplomasi, pengkhianatan oleh pemerintah pusat, gerakan, penguasa menaklukkan pemerintah pusat dan larangan budaya Aceh menjadi pola bagi orang Aceh ketika mereka melukiskan tinta mengenai bumi Serambi Mekkah ini.