My Diaries, Part #1: Sang Pemulung | The Scavenger

in #indonesia7 years ago (edited)


Source

by @ismadi

Lhokseumawe, Jumat 02 Februari 2018

Pagi ini sekitar pukul delapan saya duduk di teras rumah sambil menunggu mahasiswa yang datang ke rumah untuk konsultasi skripsi. Mereka akan melakukan penelitian tanaman durian dengan dana yang bersumber dari Kemenristekdikti 2018. Salah satu lokasi penelitin nantinya akan dilaksanakan di halaman belakang rumah saya. Jadi mereka ke rumah saya untuk konsultasi skripsi sekalian mempersiapan bahan-bahan penelitian. Ada enam mahasiswa yang sedang saya tunggu. Waktu telah menunjuk pukul delapan lewat sepuluh menit, namun belum satu pun mahasiswa yang hadir.

Tiba –tiba dari ujung jalan dari arah kanan muncul seorang pemulung berkulit gelap yang biasanya mengambil barang bekas di tong atau tempat pembuangan sampah. Sang pemulung mengendarai sepeda phonix yang sudah tua, catnya sudah pudar dan di sana sini sudah mulai berkarat dan menimbulkan suara nyit-nyit ketika dikayuh. Pemulung tersebut membawa seorang anak laki-laki kecil yang berumur lima tahun.

Bapak dan anaknya sama-sama menggunakan topi yang sudah kusam. Mungkin itu adalah alat yang membantu agar muka mereka dapat terhindar dari sengatan matahari langsung. Badannya kurus, kondisi badannya agak lemah dan sesekali terbatuk-batuk karena kurang sehat. Kaos kusam dan mulai koyak yang digunakan berasal dari salah satu partai peserta pemilu 2014. Celana panjang berwarna gelap yang dipakai juga sudah sangat jauh dari layak dan sudah mulai koyak.

Pemulung tersebut sering masuk ke perumahan tempat saya tinggal dan langsung menuju ke tempat saya membuang sampah. Hari ini hanya didapat dua jenis bahan, kaleng dan tali rapia. Kedua bahan tersebut langsung dimasukkan ke keranjang depan sepeda, sementara karung tempat sampah masih kosong yang menandakan hari ini belum mendapat apa-apa.

Setelah selesai di tempat pembuangan sampah, tiba-tiba dia dan anaknya berjalan kearah saya dan saya persilakan duduk dibangku panjang yang muat diisi oleh tiga orang tersebut. kami kemudian terlibat obrolan yang santai, ngalor ngidul. Saya menanyakan tentang dia, keluarga dan kegiatan sehari-hari karena saya belum mengenalnya dengan baik.

Dari ceritanya saya baru tahu kalau dia itu mempunyai istri dan dua orang anak. Anak pertama berkelamin perempuan dan sudah berumur tujuh tahun serta sudah sekolah. Anaknya dapat bersekolah karena mendapat bantuan dari donatur. Sang pemulung dan keluarga saat ini tinggal bersama ibu mertua di rumah yang tidak layak huni karena saangat dekat dengan kandang ayam. Saya sendiri belum melihat langsung, tetapi jika ditelisik dari penampilan fisiknya maka kemungkinan besar ceritanya itu benar adanya.

Pemulung saat ini berusia sekitar 35 tahun dan sudah sekitar 14 tahun sudah menjadi pemulung karena tidak ada pekerjaan lain yang dapat ia lakukan. Sebelumnya dia adalah buruh nelayan pada kapal atau perahu orang di sekitar Krueng Geukueh. Dia sudah kelaut sejak berumur lebih kurang 14 tahun dan berhenti karena tidak ada lagi pemilik perahu yang mau menggunakan jasanya lagi karena jumlah perahu semakin sedikit saat itu sementara jumlah orang yang terus mau menjadi buruh nelayan semakin bertambah. Dia akan kembali menjadi nelayan andai kata dia memiliki perahu dan akan segera berhenti dari memulung karena pendapatan yang sangat sedikit dan juga tidak mempunyai harga diri.

Menjadi pemulung terkesan sebuah pekerjaan yang gampang yang sangat mudah dan dapat dilakukan oleh siapapun. Namun dibalik itu mengadung resiko besar dan kejam. Tidak jarang seorang pemulung dituduh mencuri barang milik orang lain seperti yang dialami seminggu yang lalu di sebuah komplek perumahan. Dia dituduh mencuri sepatu pada salah rumah. Dia dimaki dan seluruh barang hasil pulungan ditendang hingga berhamburan. Lebih miris lagi, kejadian itu berlangsung dihadapan anak laki-lakinya yang masih berumur lima tahun. Tidak ada yang dapat dilakukan selain menangis dalam hati dan meminta maaf meskipun bukan dia yang melakukan.

Dia juga bercerita bahwa saat ini semakin berat menjadi seorang pemulung. Tidak banyak barang bekas yang dapat diambil untuk dijual karena banyak di komplek perumahan saya tinggal dan maupun di sekitar Krueng Geukueh bukan lagi ditinggali oleh karyawan PT AAF yang mempunyai gaji besar dan sering berbelanja banyak sehingga barang-barang yang dibuang juga sangat terbatas. Berhentinya beroperasi PT Arun, PT AAF dan PT KKA benar membawa dampak buruk bagi kehidupan kaum pemulung. Belum lagi PT PIM yang saat ini tidak jelas apa tetap beroperasi atau dipaksa tutup seperti PT AAF karena kekurangan pasokan gas.

Ini adalah sekelumit catatan harian dari penglihatan saya. Ternyata masih sangat banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari 600 ribu rupiah per bulan. Dengan pendapatan seperti ini, jangankan untuk pendidikan dan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk kebutuhan sehari-hari juga masih jauh dari cukup.

Saya tidak ingin menahan dia untuk bercerita lebih banyak karena akan mengurangi waktu dalam mencari bahan bekas di tempat lain. Seperti biasa, jika dia datang ke rumah maka saya tahu apa yang harus saya lakukan. Karena tidak setiap memulung di depan rumah dia datang menjumpai saya.

Setelah pemulung berlalu dari rumah maka saya melanjutkan diskusi dengan mahasiswa yang telah lama saya suruh menunggu di ruang tamu. Mahasiswa dengan sabar menunggu sambil memperhatikan saya dan pemulung dari tirai jendela. Saya tidak tahu apakah mereka curi-curi dengar apa yang kami obrolkan apa tidak.

Sekian…

KSI 2.jpg