Memahami "Pengalihan Isu"

in #indonesia6 years ago

image

Dalam postingan ini, saya tertarik untuk mengupas isu yang paling santer dibicarakan saat ini di Indonesia, yaitu pengalihan isu. Beberapa duka negara juga seakan-akan dianggap sebagai pengalihan isu. Tentu perlu penjelasan semestinya, supaya antara peristiwa dan pengalihan isu tidak disatukan dalam satu paket pemahaman. Dalam operasi pengalihan sesuatu untuk sesuatu yang lain adalah hal yang lazim dilakukan. Bahkan, bagi negara yang bermusuhan secara “diplomatik” operasi intelijen harus mampu membuat kepala negara mereka bermartabat ketika harus berjumpa dengan “musuh” secara diplomatik.
Seorang kepala negara akan diatur oleh protokoler, supaya tidak bertemu dalam forum terbuka dengan negara yang menjadi “musuh secara diplomatik.”

image

Karena itu, pengalihan demi pengalihan selalu dilakukan untuk supaya kedua negara tetap “bersahabat” dalam situasi “ musuh diplomatik.” Di sini, kepala negara harus benar-benar siap jika para “pengatur di belakang” layar harus menentukan gerak dan langkah sang kepala negara tersebut. Briefing adalah persiapan untuk melakukan berbagai pengalihan demi pengalihan yang akan dilakoni, mulai dari istrinya berbelanja hingga sang kepala negara harus membuat kunjungan dadakan.

Menurut hemat kami, sebenarnya yang terjadi bukanlah pengalihan isu, melainkan isu-isu yang teralihkan, akibat dari suatu peristiwa. Misalnya, kalau ada banjir melanda suatu daerah, maka isu-isu lingkungan akan ikut bersama dengan musibah tersebut. Karena itu, orang akan berlomba-lomba mempertanyakan izin pengelolaan hutan. Siapa yang terlibat? Perusahaan mana saja yang telah merusak hutan. Kemudian rakyat biasa akan berceloteh bahwa banjir datang, karena hutan ditebang oleh para pengusaha. Akibat celoteh atau protes, maka beberapa perusahaan akan diuber untuk diminta pertanggungjawaban. Namun, setelah beberapa bulan banjir reda, rakyat sudah seperti biasa, hutan mulai lagi dirambah. Isu lingkungan pun redup. Tidak ada isu lingkungan, karena tidak ada banjir.

image

Adapun contoh lain adalah ketika negara tetangga mengklaim beberapa aset budaya bangsa dicaplok dan diklaim miliki negara sebelah. Ramai-ramai orang ingin menyelamatkan aset kebudayaan bangsa. Rakyat dibiarkan meluapkan rasa nasionalisme mereka untuk mempertahankan jangan ambil milik bangsa kami. Saat itu, karena isu klaim aset budaya ini, isu nasionalisme mencuat. Hujatan dan cibiran terhadap bangsa lain, tidak menjadi masalah. Untung ada masalah klaim aset, dengan begitu isu nasionalisme mencuat. Negara yang melakukan “keteledoran” ini pun dilakukan seolah-olah tanpa sengaja, walaupun kelihatannya ada kesengajaan. Tidak ada urusan hukum bagi yang berceloteh dan protes.

Hal serupa juga terjadi dalam sepak bola. Pernah ketika Indonesia hampir masuk final. Sepak boleh digiring pada isu politik. Mereka diundang oleh tokoh politik dalam jamuan makan. Sepak bola hendak dikaitkan dengan isu nasionalisme melalui langgam politik. Namun, ketika klub sepak bola tidak berhasil memenangi pertandingan final, isu ini pun meredam dengan sendirinya. Tidak ada lagi riuh gempita untuk menuai rasa nasionalisme dari sepak bola. Tokoh politik pun tidak melirik lagi sepak bola.

image

Sekali lagi, hal-hal di atas bukanlah pengalihan isu, melainkan isu yang teralihkan. Dalam rekayasa isu, memang diperlukan agenda setting, yang dimainkan oleh media. Secara garis besar, di negara ini ada beberapa isu yang sering terjadi dalam 52 minggu. Pertama, isu politik yang selalu dikaitkan seolah-olah bangsa ini hendak bubar. Konflik antar lembaga pemerintahan menjadi begitu hangat. Drama politik semua menjadi orang penting untuk berkomentar di media. Semua bebas berkomentar, asalkan masih dalam koridor etika di dalam menyampaikan pendapat di media publik.

image

Kedua, isu ekonomi, dimana persoalan ekonomi selalu menjadi isu hangat yang dibicarakan. Pengangguran, kekuatan ekonomi asing, dan nilai tawar rupiah menjadi isu yang sering muncul. Di sini, terkadang isu tempe, bawang, mie instant, BBM, garam, buah-buahan selalu menanti momentum untuk masuk agenda setting. Ketiga, isu aib individu yang dipertontonkan ke seluruh pelosok. Jika tidak ada isu yang menarik atau sedang kosong, dari masalah layak diperlihatkan kepada rakyat, maka isu aib atau kesalahan masa lalu seorang figur akan muncul ke pentas publik. Rakyat lantas lelah sekaligus menikmati isu ini. Isu korupsi, kriminal, kejahatan pada anak dibawah umur merupakan beberapa isu yang muncul.

Keempat, isu keamanan dan pertahanan. Biasanya isu ini selalu hadir di awal tahun. Secara acak pula, isu ini sering juga terjadi hingga pertengahan tahun. Misalnya, persoalan tapal batas, separatis, hingga teroris. Setiap isu tersebut memang selalu menanti momentum yang tepat dari suatu peristiwa. Jika berhubungan dengan isu tapal batas, maka akan mengingatkan memori rakyat pada persoalan Sipada-Ligitan dan Timor Leste. Jika separatis akan mengingatkan pada provinsi-provinsi yang ingin pisah dari negara ini. Adapun terkait dengan teroris selalu berdiskusi pada siapa yang paling layak menanganinya, karena itu harus dimulai peraturan yang akan mampu mengarahkan pada siapa yang paling layak menjadi eksekutor di lapangan, ketika berhadapan dengan teroris. Debat ini belum habis, walaupun isu teroris selalu muncul di negeri ini.

Kelima, isu SARA yang paling banyak menyita perhatian anak bangsa. Isu ini sebenarnya sudah terpelihara di dalam imajinasi sosial. Hanya saja, terkadang momentum nya saja yang ditunggu. Konflik SARA dan kerukunan umat beragama menjadi isu yang paling sering terjadi di negara ini. Sensitifitas rakyat terkadang diusik oleh oleh isu-isu yang sensitif pula. Energi ini benar-benar dikelola untuk persoalan tidak hanya kerukunan umat beragama, tetapi sikap terhadap etnis tertentu yang menguasai perekonomian di negara ini. Persoalan SARA ini akan mengingatkan pada konflik yang terjadi di beberapa daerah, hingga penculikan terhadap tokoh-tokoh agama.

image

Isu-isu di atas akan “ternantikan” setiap ada peristiwa penting di negara ini. Setiap peristiwa akan selalu ada isu yang mencuat. Bahkan di era digital, tafsir netizen terlalu cepat melampaui dari ujung masalah yang sedang terjadi. Nalar seperti ini terkadang dibumbui oleh teori konspirasi. Analisa di media masa seolah-olah menjadi kata akhir dari suatu peristiwa. Setiap ada isu yang mencuat, dipastikan tokoh-tokoh yang sama yang akan memberikan penjelasan kepada publik. Pengetahuan mereka dijadikan konsumsi rakyat. Siraman informasi di media sosial pun mengalir ibarat air bah. Tidak sanggup kita melakukan proses cek dan ricek, karena data dan informasi yang disebarkan sangat terkait pula dengan propaganda dan kontra propaganda.

Perang kewenangan terhadap suatu isu sangat sering muncul dalam propaganda dan kontra propaganda. Siapa yang berhak atas pengelolaan suatu isu sering disebarkan melalui berita di media sosial. Siapa yang paling berhak disalahkan jika suatu peristiwa terjadi. Peristiwa tidak dapat direkayasa, namun penyebab peristiwa selalu dapat direkayasa. Dalam teori rekayasa, yang amat penting adalah adanya ilmuwan (master mind), konsep yang dijalankan, kelompok yang menjalankan konsep, dan rencana rekayasa yang sesuai dengan konsep. Aktor yang melaksanakan konsep boleh siapapun, asalkan sesuai dengan konsep yang dihasilkan. Aktor boleh jadi sadar atau sama sekali tidak sadar, manakala dia sedang menjalankan suatu konsep. Inilah yang kemudian dipersiapkan sebagai penyebab dari suatu peristiwa. Karena itu, sekali lagi, suatu peristiwa tidak dapat direkayasa, namun secara teoritik, penyebab suatu peristiwa dapat direkayasa.

image

Karena itu, ketika peristiwa itu terjadi orang selalu mengaitkan dengan penyebab dari peristiwa tersebut. Namun, seorang master mind akan selalu memiliki strategi untuk menghilangkan semua penyebab peristiwa. Sehingga, tafsir dari penyebab peristiwa menjadi liar dan tidak dapat dikendalikan. Orang boleh berpendapat melalui data dan informasi yang disiram pada rasa keingintahuannya. Namun tidak sedikit pula, suatu peristiwa terjadi karena memang harus terjadi. Inilah yang terjadi menyebabkan saling lempar isu dan isi bahwa penyebab peristiwa itu dilekatkan pada kelompok tertentu. Padahal, peristiwa itu terjadi bukan diinginkan oleh cipta kondisi yang diinginkan, tetapi ada pemicu lainnya dari aktor-aktor utama dalam peristiwa tersebut. Sekali lagi, tidak ada “pengalihan isu,” yang ada adalah “isu yang teralihkan,” karena ada peristiwa yang “dinginkan” atau “tidak diinginkan.”

K. Bustamam-Ahmad

Sort:  

Terimakasih. Sangat mencerahkan prof.

Makasih Bang. Semoga ada manfaatnya.

Analisa prof kba tingkat tinggi, tak ada yang naik potong.. Kami tunggu analisa selanjutnya prof..

Nyoe cuma kajian kamoe sebagai peneliti Antropologi dalam Memahami gejala dalam masyarakat. Kamoe hanya menjelaskan dari perspektif keilmuan. Tanxs.

Stiap paragraf le that aso..
Suwah taulang2 nak meunyum.

Nyoe kajian ureung Gampong. Bak Duk Duk di yup bak Mamplam.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63878.47
ETH 2625.83
USDT 1.00
SBD 2.79