RE: Jalan Panjang Membuat Buku Itsbat Nikah
Assalam... Tanpa mengurangi rasa hormat saya atas segala jerih payah tim pembuat buku, saya hanya ingin memberikan komentar sedikit saja terkait postingan abang.
Itsbat Nikah menurut Pasal 7 ayat 3 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam berbunyi :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Berdasarkan pasal 7 (a) s.d 7 (d) maka dapat kita pahami bahwa pernikahan yang tidak tercatat dengan alasan konflik dan Tsunami tidak masuk kategori, dengan kata lain tidak ada Istbat Nikah lagi setelah lahirnya UU Perkawinan. Hanya pasal 7(e) sebagai satu-satunya pasal yang kerap kami gunakan saat para pencari keadilan yang ingin mengitsbatkan pernikahan terdahulu dengan catatan sudah dilaksanakan secara hukum Islam. Itupun jika terbukti
Perluasan ketentuan pasal tersebut diatas hanya jika ternyata pernikahan yang hendak diitsbatkan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perkawinan dalam Hukum Islam meskipun UUPerkawinan telah lama berlaku. Disamping itu MA dan Kemenag menjadikan Alasan utama yaitu alasan extra ordinary seperti bencana alam, Tsunami atau perang***
Pada dasarnya Program Itsbat Nikah ini adalah untuk menyelesaikan masalah namun tidak jarang justru menimbulkan masalah, seperti penyeludupan hukum, poligami liar dan seseorang merasa berhak menjadi wali hakim meski wali utama masih ada.
Terimakasih.
Bagus sekali komentarnya... Namun peraturan tentang Istbat Nikah bagi korban konflik dan tsunami didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang dikeluarkan pada tahun 2015. Jadi ia menjadi lex specialis untuk situasi terkini yang tidak diatur di masa lalu.
Terimkasih kanda. Terhadap perma sebagai lex specialis mungkin pendapat saya berbeda. Menurut saya perma tidak bisa jadi lex specialis UU No.1/74. Hanya saja ia mempunyai "Kekuatan Hukum" karena tunduk pada UU Mahkamah Agung. PERMA No.1/2015 hanya mengatur ttg teknis persidangan, materi perkara tetap kembali ke aturan asal.
Dalam situasi terkini aturan yang disebutkan dalam UUPerkawinan dan KHI tetap berlaku, satu2nya pasal yg bisa digunakan adalah pasal 7 huruf (e) KHI tsb yaitu tidak bertentangan dengan hukum Islam alias sudah terpenuhi rukun dan syarat perkawinan dalam fiqih.
Ada konteks yang berbeda antara menikah sirri, bawah tangan dengan pernikahan yang tidak bisa dicatatkan karena alasan konflik dan masa darurat pasca tsunami. Menikah sirri dan bawah secara empiris, prakteknya mereka menikah agar tdk diketahui oleh orang lain atau krn sesuatu kepentingan. Keinginan muncul dari kedua pasangan tersebut. Sedangkan menikah tdk tercatat krn konflik dan tsunami adalah krn mereka tidak bs mencatatkan perkawinannya meski ingin krn berada dalam ruang tdk bs memilih atau krn tidak ada sarana prasarana pernikahan.
Maaf diskusinya kepanjangan kanda.. Namun sesunguhnya saya ingin sekali bahwa nantinya bisa jadi masukan untuk "amal jariyah" buku yang sedang dibuat. Dalam konteks terkini, hanya para korban konflik dan tsunami yang masih dibri akses, sedangkan pelaku nikah siri jaman now tdk ada ruang, kecuali Hakim punya pertimbangan lain. Membuka ruang pelaku nikah sirri dalam konteks terkini untuk diisbatkan sama saja merunthkan UUPerkawinan dan Maqashid Syar'i.
Semoga buku tsb dimudahkan Allah dalam pembuatannya, penulis dan timnya diberi kesehatan selalu. Amin