Terima Kasih Cinta
Menikah bukan saja menyatukan dua insan manusia yang berbeda jenis kelamin. Tapi juga menyatukan dua "kebudayaan" besar yang memiliki banyak perbedaan dan minim persamaan. Apalagi di Aceh yang menganut hukum Islam tapi suami harus pulang ke rumah orang tua istri dan "wajib menetap" minimal setahun. Coba bayangkan, dengan kewenangan suami yang luar biasa besar, tapi masih harus hidup di bawah atap "Pondok Mertua Indah" (PMI), betapa sulit itu dipadukan.
Sebagai seorang lelaki sekaligus suami, saya adalah orang yang beruntung. Betapa tidak, selain mendapatkan istri yang cantik, baik, cerdas, paham agama dan alumni salah satu dayah, pintar bahasa Inggris, jago masak, sekaligus patuh pada suami. Saja juga mendapatkan ibu mertua yang luar biasa baik, sabar, tidak ikut campur dalam hubungan kami, serta selalu memperlakukan saya layaknya anaknya sendiri. Bahkan tiga bulan setelah menikah, saya justru menjadi anak emas bagi mertua saya. Namun, kehangatan itu harus berakhir terlalu cepat. Di usia pernikahan kami ketiga tahun, sang ibu mertua pun berpulang keharibaan Ilahi Rabbi, menyusul suaminya yang telah terlebih dahulu meninggal dunia.
Ketika saya menikah, modal dasarnya hanyalah nekat saja. Mertua saya tahu itu. Tapi ketika lamaran dilakukan, tidak ada penolakan. Saya diberikan tempo setahun untuk mengumpulkan mahar. Semenjak itu saya pun mendapat rezeki yang tiada terputus hingga hari ini. Alhamdulillah, tidak ada rintangan apapun selama itu hingga kini.
Saya mengenal istri saya yang bernama Mutia Dewi, di kampus Universitas Almuslim, Peusangan, Bireuen. Ia seorang organisatoris yang handal, pemikir sekaligus cendekiawan di tingkat mahasiswa. Pernah menjadi Ketua Kohati HMI Bireuen. Alumnus Sekolah Perdamaian dan Demokrasi (SPD) sekaligus trainer di Liga Inong Aceh (LiNA).
Mutia adalah perempuan yang cepat beradaptasi dengan lingkungan baru, tanpa harus kehilangan identitas dirinya sebagai seorang anak dari ibu dan ayahnya. Begitu ia menikah dengan saya, Mutia segera memposisikan diri sebagai istri yang takzim dan taat kepada orang tua saya. Dalam berbagai hal di kemudian hari, ia selalu bisa berbagi dengan keluarga besar saya di Teupin Mane, tanpa harus saya veto. Bahkan kerapkali, setengah dari pendapatannya dihabiskan untuk berbelok keperluan rumah di Teupin Mane.
Sebagai suami, saya seringkali harus meninggalkan dirinya dan anak-anak di rumah. Pekerjaan saya sebagai wartawan --kini pemimpin redaksi-- yang menyita banyak waktu, tidak pernah membuat dia mengeluh. Ketika bekerja kami terpaut ratusan kilometer dengan jarak tempuh mencapai lima jam perjalanan dengan bus umum.
Dengan seringnya saya absen di rumah, ia juga harus membesarkan dua anak kami yang sedang aktif-aktifnya bergerak. Saya sering membayangkan betapa reportnya dia di rumah sendirian. Apalagi kedua anak kami terkenal suka bertanya dan aktif berimprovisasi.
Luar biasanya lagi, walau saya jarang di rumah, biasanya seminggu atau dua minggu sekali pulang, dan di rumah hanya dua atau tiga hari saja, anak-anak tetap merindukan saya. Mereka tetap akrab dengan saya. Bila jauh, video call adalah jalan keluar. Karena keseringan video call, terkadang bocah-bocah itupun sudah bisa melakukannya sendiri.
Setiap pulang ke rumah dalam waktu singkat itu, saya selalu pulang ke rumah ibu di Teupin Mane. Itu sudah menjadi agenda rutin. Walau terkadang saya lelah juga, tapi istri selalu mengingatkan. "Waktu yang terbatas itu harus mampu Abi bagi dengan baik untuk mamak, saya dan anak-anak dan teman-teman Abi serta tanggung jawab Abi sebagai Tuha Peut," kata istri kala melihat saya menunjukkan gelagat lelah. Kalimat itu serta merta memantik semangat baru bagi saya agar bisa memainkan segala peranan.
Adakalanya ia akan merengek agar saya menyediakan waktu lebih untuk dia dan anak-anak serta untuk ibu. Untuk menyiasati permintaan yang demikian, saya harus pulang ke Teupin Mane. Di sana, anak-anak, Mutia dan ibu serta saya bisa satu atap sembari bercanda ria. Ia pun bisa berbaur dengan akal dan adik saya. Apalagi kalau kami pulang ke sana, anggota keluarga yang lain akan berkumpul. Ya, sekedar cerita-cerita sembari memasak sayur pliek.
Ya, walau dalam hidup, Mutia bukan satu-satunya perempuan yang pernah saya cintai, tapi pada akhirnya waktu menjawab, bahwa dia adalah satu-satunya perempuan yang harus saya pertahankan sebagai pendamping hidup. Semakin jauh ke sini, semakin saya paham bahwa ketulusan tidak pernah bisa dibeli. Cinta yang menerima apa adanya, tidak dijual di minimarket. Ia lahir dari pribadi yang jujur, setia dan tulus.
Banyak orang yang mengaku semakin lama berumah tangga, maka semakin kurang rasa cinta kepada istri. Saya justru sebaliknya, semakin lama kami membina mahligai cinta dalam ikatan suci, semakin cinta itu bertumbuh setiap hari. Itu seiring dengan bertumbuhnya badan kami yang semakin mekar. Sehingga anak-anak kami pun tahu bila kami berdua gendut.
Persoalan gendut pun tak pernah menjadi hal yang kami perbincangan. Hidup ini hanya sekali. Mendapatkan pasangan yang luar biasa pun bisa saja sekali seumur hidup. Lebih indah membicarakan tentang masa depan anak-anak dan hubungan kami, ketimbang mengurus soal bentuk tubuh. Biarlah cinta ini kami peluk untuk berdua. Yang penting kami bahagia dan kedua kebudayaan tetap saling bisa mengisi.
Amazing.
Keluarga yg luar biasa, panutan utk kaum Steemian👌👌
Untuk panutan, hehehe. Belum cocoklah. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk saya dan kita semua.
Luar biasa,. Sepenggal kisah nyata dari seorang @muhajir.juli dan Juga saudari Meutia..yang mana saya juga mengenalnya...
Hidup dalam Cinta Dan ketulusan... Luar biasa Hikmah dan Hidayah yang diberikan Oleh sang Khaliq,. Allah S.W.T..
Aminnn semoga selalu diberikan Kesehatan, Rezeki yang Banyak dan Juga Langgeng sampai Kakek Nenek...Aminn....
Wow, saya pikir siapa. Rupanya Pak tentara mahasiswa. Apa kabar Bung? Terima kasih sudah membaca tulisan ini.
sebuah kisah hidup menjadi menarik bagi orang lain saat dibahasakan dengan cinta. Sambil saya follow, saya tunggu tulisan selanjutnya :)
Hehehe. Hanya berbagi pengalaman. Siapa tahu berguna dalam rangka membangun dan menjalankan sebuah hubungan. Sudah saya follow back.
Hi @muhajir.juli! Postingan yang berkualitas ini berhasil ditemukan oleh Team Kurator OCD untuk Bahasa Indonesia!
Balas komentar ini jika Anda bersedia postingan ini untuk dibagikan.Dengan menyutujui hal ini,anda mendapatkan kesempatan untuk menerima reward tambahan dan salah satu gambar dari postingan ini akan kami gunakan dalam kompilasi harian kami.
Ikuti @ocd- untuk mengatahui project kami lebih lanjut dan membaca postingan berkualitas yang lainnya.
Terimakasih mbak @mariska.lubis. Saya bersedia tulisan ini dibagikan. Serta dipergunakan gambar di postingan ini untuk kepentingan keluarga besar Steemit. Siap, saya akan ikuti @ocd.
Banyak yang sibuk mengejar harta hingga melupakan keluarga. Padahal tanpa kita sadari, keluarga ialah harta yang tak ternilai,indahnya kebersamaan.
Asai Kana @bangjuh yang komen cit ka mantap. Seungam meunan. Bereh.
Bahagia itu sederhana, selalu mensyukuri apa yang didapatkan
Tepat sekali. Karena hidup sejatinya mudah.
Mantap kali broe... Nyan that bereh postingan. Cah le sigeu! Haha