Menggali Mutiara , Tulisan Pasca Training BLP Jantho 2009
“ Seorang musafir bertemu dengan seorang yang berpakaian putih yang tertunduk lesu. Ia mengatakan, “jika kamu ingin sukses, jalanlah ke depan dan seberangilah sungai. Ambillah batu-batu atau apa saja yang kau temui. Itu satu kesempatan saja. Kau tidak akan mendapatkannya jika menundanya untuk kedua kali. Jika kau melakukannya niscaya hidupmu sukses dan bahagia.”
Sang musafir menganggap itu tidak masuk akal. Ia hanya mengambil satu dan sedikit saja. Ia tak menyangka batu-batu tersebut adalah kumpulan mutiara sehingga akhirnya menyesalinya”
Sepenggal kisah tentang seorang musafir yang menyesal tidak mengambil banyak batu dan kemudian baru mengetahui tahu bahwa batu-batu tersebut merupakan kumpulan mutiara, menggambarkan sebuah penyesalan. Mutiara sangat identik dengan sesuatu yang berharga. Pemahaman mutiara di sini adalah ilmu, yang apabila kita sia-siakan dan tidak memanfaatkan kesempatan yang ada akan membuat kita menyesal dan tidak bisa kembali untuk mengambilnya.
Membentuk Karakter Pemimpin
Kota Jantho, sebuah tempat yang sejuk, damai. Terdiri dari bukit-bukit yang menghimpit perkotaan. Terletak di kaki bukit pengunungan yang indah. Tempat yang dijadikan untuk mengumpulkan “mutiara-mutiara” agar tidak sia-sia ketika kita pergi meninggalkannya. Tempat dilaksanakan pelatihan Bridging Leadership Program (BLP) gelombang tiga (3) kerjasama Yayasan Pembangunan Bangsa (YPB) dengan Lembaga LEAD. Kegiatan ini dilakukan di gedung UPTD BAPELKSE/ex UPTD BLTKK jantho selama sembilan hari (25 Juli s.d 02 Agustus 2009). Pelatihan bertujuan membentuk pemimpin muda yang dapat memahami konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Diikuti 29 peserta dari tiga kabupaten; Aceh Jaya, Pidie dan Aceh Besar. Kriteria peserta dari berbagai golongan, mahasiswa, ibu rumah tangga, pengangguran bahkan dari kalangan pendidik. Suatu hal yang membuat hati saya terkagum, seorang peserta ibu rumah tangga dari kabupaten Pidie membawa anaknya yang masih berumur 2 tahun ikut serta dan mengikuti pelatihan sambil mengendong sianak.
Fasilitator yang terdiri dari para pakar psikolog, pakar antropologi, dan ahli pengembangan usaha yang berasal dari pulau Jawa dan daerah Aceh, memberikan suatu peran untuk membentuk karakter menjadi pemimpin, paling tidak dimulai dari diri sendiri. Kak Intan Darmawati yang berperan setiap hari mencoba merubah para peserta agar berpikir kreatif.
Sesuai temanya “ Membentuk Pemimpin Muda Berkelanjutan”, pelatihan tahap pertama lebih difokuskan pada mengenal diri sendiri, pengembangan diri dan keseimbangan tubuh, jiwa dan pikiran. Aturan main dan penerapan nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh para peserta menjadi tantangan tersendiri selama pelatihan. Konsekuensi yang diterapkan apabila melanggar ketentuan main menjadi suatu tanggung jawab besar yang harus diemban. Satu kali pelanggaran harus ditebus atau dibayar oleh peserta. Satu contoh, ketika menerapkan disiplin waktu, satu menit terlambat masuk maka waktu istirahat akan dipotong satu menit, begitu seterusnya. Disamping dituntut tanggung jawab, keberanian mengemukakan pendapat di depan menjadi suatu tuntunan yang boleh dikatakan wajib kepada setiap peserta. Hal-hal aneh, lucu, unik akan nampak ketika setiap peserta mencoba tampil di depan orang banyak mempresentasikan dirinya. Ada yang senyum-senyum tanpa dapat bersuara, tidak berani melihat orang hanya menunduk kepala ke lantai, berbicara sambil memperagakan gaya tangan,”kayak orang silat…!”, bahkan ada juga yang saking pedenya bicara sampai tidak tahu bagaimana mengeremnya. Suatu pemandangan yang membuat kita tertawa tatkala menyaksikannya.
Kebiasaan membuang sampah sisa makanan yang biasa kita lakukan di rumah akan tampak lain ketika pelatihan. Pemanfaatan tong sampah yang dinamakan Takakura akan menjadi teman ketika selesai makan. Sistem pengolahan sampah Takakura yang dibuat dari keranjang yang berisi campuran tanah dan sekam yang ditutup dengan sehelai kain sebagai pelindung ditambah dengan tutup keranjang akan mengolah sampah menjadi pupuk buatan. Sisa makanan dibuang kedalamnya dengan cara menggali lubang dan memasukkan sisa makanan kemudian ditutup kembali, terakhir tutup keranjangnya. Suatu hal yang mudah dilihat tetapi sulit untuk dilaksanakan. Ada saja peserta yang cari-cari akal supaya tidak berhadapan dengan Takakura. Ada yang menumpahkan sisa makanan ke piring kawan, pura-pura ke kamar kecil atau yang bahkan sampah di masukkan kedalam kantong celana. Suatu hal yang membuat fasilitator sulit untuk menerapkannya kepada peserta. Bahkan sampai hari terakhir masih ada yang melanggarnya. Terbayang bagaimana susahnya?
Berbagai Disiplin Pengetahuan
Mind, Body dan Soul olahraga menjaga keseimbangan tubuh, jiwa dan pikiran yang dibimbing oleh Dien Fakhri Iqbal dan ibu Betty Sugihartati merupakan kegiatan rutinitas setiap pagi. Pendekatan dengan alam, mengatur pernapasan, merasakan hawa dingin meresap ke dalam tubuh sambil memejamkan mata dilakukan untuk menyatukan tubuh, jiwa dan pikiran, berinteraksi dan menyatu dengan alam.
Selain dari kegiatan tersebut juga diajarkan cara pembuatan tahu, susu kedelai, jamu, obat batuk OBH dan minyak urut yang diajarkan oleh Mas Djalil. Setiap peserta dibagi perkelompok untuk mempraktikkannya. Pendidikan menjadi penulis yang baik dan mengenal tata cara penulisan yang benar yang dibimbing oleh Teuku Kemal Fasya, Pakar Antropologi dan juga Dosen Unimal Lhokseumawe, memberikan suatu ilmu yang sangat berguna untuk menjadi seorang penulis yang hebat. Disamping juga materi tentang sejarah dan perdamaian Aceh serta bagaimana menjadi seorang sejarawan.
Permasalahan isu gender dalam membangun Aceh yang disampaikan oleh Kak Nana dari Lembaga Sri Ratu Safiatuddin Banda Aceh juga tidak terlepas dari kondisi Aceh sekarang yang meyampingkan kaum wanita. Padahal peran perempuan sangat menunjang dalam perdamaian daerah Aceh.
Sejumlah mutiara dapat langsung diambil dan memasukkan ke dalam kantong. Apakah kita akan menjadi musafir yang menyesal karena tidak banyak mengumpulkan “batu-batu” mulia itu, atau sebaliknya? Satu pesan fasilitator Intan
“Ambillah batu sebanyak-banyaknya selagi ada kesempatan agar tidak menyesal jika nanti batu-batu tersebut berubah menjadi mutiara. Kamu tidak memiliki kesempatan untuk balik mengambilnya kembali”
Kutancapkan keyakinan yang kuat di dalam hati “Aku pasti bisa dan terus memanjat lebih tinggi untuk meraih prestasi dan mengabdi bagi masyarakat”.
Aku ingin menjadi mutiara baru bagi daerahku yang sedang membangun pasca-konflik dan tsunami. Belajar untuk tulus memberi dan tak mengharap kembali. Seperti sungai yang mengalir dan menghijaukan lingkungan, pertanda memberi kehidupan dan kebahagiaan bagi alam.
Tulisan ini merupakan hasil akhir sebuah karya tulis pasca pelatihan BLP di Jantho tahun 2009.