Secangkir Kopi Pahit dan Bapak

in #indonesia6 years ago

image
source

'Pak, ayam sudah berkokok, dan tungku mulai panas. Kemarilah, duduklah lalu nikmati hangat unggun pagi. Bersama aku, sebatang kretek juga secangkir kopi tanpa gula. Dan tanpa dia, wanita yang engkau cinta. Mari bernostalgia'

“Biasanya ibumu yang nyiapin kopi buatku, sekarang gantian kamu, Ci.” Belum pun bapak duduk di dingklik dia sudah bersuara. Hela nafasnya, berat. Dan sekilas matanya nanar. Entah arah mana yang dia pandangi, sebab sebentar saja tangannya telah mengambil alih cangkir kopi yang patah pegangannya.

Aku masih berdiam. Memperhatikan setiap detail gerakannya. Dari mulai menyendok kopi bubuk, dan menuangkan air panas yang baru saja mendidih. Dia lakukan dengan pelan. Sudah karakter beliau apa yang dikerjakan terlihat santai dan lambat. Tangan kurusnya mulai mengaduk kopinya meski tanpa gula. Dan kembali tatapannya menerawang.

Beliau memang berperawakan kecil. Meski makannya banyak tapi semua tidak menjadi daging. Dulu sampai sekarang aku selalu mengadu, mengapa genetikku tidak menurun dari bapak. Karena aku suka makan jadi berharap badan tetap kurus adanya. Namun takdir dan nikmat harus disyukuri sebab di luar sana banyak yang tidak beruntung.

Bapak menoleh padaku tanpa bersuara.
“Pisang gorengnya, Pak.” Aku sajikan jajanan yang aku beli tadi di pasar, masih menyisakan hangat. Bapak mengambil satu iris sama denganku. Sambil kembali tangannya mengutak-atik arang di dalam tungku.

Bapakku seorang pendiam. Dia tidak pandai berbicara atau mengutarakan maksud hati. Sering beliau bertengkar dengan ibu hanya karena kesalahpahaman. Dan aku belum pernah melihat keromantisan bapak dan ibu, sebab ketika dewasaku belum hadir, ibu telah berpulang pada Allah. Ketika itu setelah dua tahun tak berjumpa, aku mendapati bapak dalam keadaan kurus tak terurus. Wajahnya cekung dan kusam. Matanya merah, rambutnya kumal bahkan giginya menguning. Beliau terus berjaga ketika ibu dirawat di rumah sakit.

“Aku kangen bukmu, Ci. Pagi begini aku sama ibumu saja yang menikmatinya. Tanpa kamu sama mbakmu, sekarang, kamu ada tapi ibumu ndak ada.” Beliau meluahkan perasaannya.

Dia bukan seorang yang bisa diajak ngobrol dalam jangka waktu yang lama. Tak juga seorang yang terlihat menyeramkan sehingga ditakuti banyak orang khususnya lelaki yang ingin dekat denganku. Bapak lebih banyak diam dengan secangkir kopi dan rokok. Dan dia lebih suka membuat rokok sendiri dari campuran cengkeh dan mbako. Bapak tidak sepandai bapak-bapak lain dalam mencari uang. Dan kerana inilah ibu sering marah. Tapi bapak,

“Ibu sudah tenang di syurga, Pak.” Jemari kurusnya membelai kepalaku yang berbalut kerudung ungu. Bibirnya memasang senyum kecil.

Dia adalah orang tuaku satu-satunya saat ini. Syurgaku. Dia memang bukan orang berpendidikan. Jauh dari pengetahuan apalagi gejolak sosial media dan sejenisnya.

Bapak punya kebiasaan sebelum tidur mendengar tembang jawa, atau sejenis campursari. Dan beliau sangat suka mendengar di radio atau melihat langsung pertunjukkan wayang kulit. Tapi bapak ada kebiasaan yang susah berubah, yaitu sulit bangun pagi dan itu menurun padaku.

Kopinya tandas menyisakan ampas kental di dasar cingkir. Bapak menyalakan rokok kedua, seolah dia enggan beranjak dari depan tungku. Mungkin udara dingin sisa hujan semalam membuatnya betah berhangat ria di perapian. Dia terlihat khusyuk menghisap rokoknya.

“Bapakmu udah tua, ibumu udah nggak ada. Mbakmu udah berumah tangga. Kamu kapan menikah, Nduk ?” Tanpa basa-basi bapak langsung menanyakan hal yang beberapa waktu ini aku hindari membahasnya. Seperti tertimbun beban hela nafasku pun memberat.

“Bapak nggak maksa, aku ya nggak tahu kenapa aku tidak mendengar dirimu cerita soal lelaki yang akan jadi calon suami. Tapi aku ingin melihat kamu nikah sebelum orang tua ini mati. Lihat ibumu, ia ndak sempat melihatnya, masa iya bapak juga ndak, Nduk?!”

Kelu. Sebelum sempat aku tawarkan alasan-alasan yang masuk akal, bapak sudah membungkamku dengan alasannya. Ya, aku tahu kematian tiada beri peringatan. Waktunya pulang ya pulang tiada negoisasi soal kapan dan dimana.

“Pak. InsyaAllah setelah kontrak Cici yang ini habis, aku akan memenuhi keinginan Bapak.” Aku tahu nadaku tidak meyakinkan, jawabanku seolah hanya pemanis buatan. Buktinya bapak hanya menoleh sekilas dan kembali sibuk dengan arangnya. Aku pulang ini hanya ambil cuti.

Siapa yang tidak ingin menikah, berkeluarga laiknya wanita lain. Semua tetangga, teman bertanya kapan aku mengakhiri lajangku. Tapi mereka hanya melihat, bertanya dan menyimpulkan. Dan aku memaklumi. Umurku tidak muda lagi dan itu menjadi satu momok yang menghantui. Jika cinta mudah ditafsirkan, mudah diikat dengan kata-kata tiada penipuan dan pengkhianatan maka saat ini mungkin sudah ada menantu yang menemani ritual pagi bapak.

“Jangan lama-lama! Pikirkan entah siapa yang akan melamar dulu. Lelaki atau ajal.” Dengan kalimat ini bapak mengakhiri rutin paginya. Dia beranjak menyisakan bara yang tinggal sedikit dan meninggalkan putrinya pada keresahan dan tanya.

Tak mau berlama menemani tungku, aku pun beralih ke teras depan. Entah kebetulan atau kesengajaan dari permainan kehidupan dia yang menjadi ekor pemberat langkahku untuk mencari pasangan, berjalan pelan menggendong anaknya yang baru berusia satu tahun. Tawanya, suaranya tidak berubah.

Meski sekarang bergelar ayah, tapi tidak sedikit pun mengurangi kekhasannya. Aku tertegun. Membatu di tempat. Lidahku kelu untuk sekadar berbasa-basi agar dia tahu aku baik-baik saja. Nyatanya mataku harus merelakan kepergiannya untuk yang entah keberapa kali.

Pak, aku tidak ingin engkau tahu mengapa dan siapa. Karena aku takut dia yang engkau puji dan senangi menodai percayamu. Biarlah anakmu menunggu waktu dari Tuhan, karena waktu-Nya adalah sebaik-baiknya takdir. Monolog hatiku membawa bulir bening luruh tanpa bisa dicegah.

Kenangan itu menari di benak seolah menertawakan kelemahanku sebagai wanita. Dan aku tidak ingin berbagi kisah ini dengan bapak. Cukup luka yang dia rasa karena kehilangan ibu, aku tidak ingin menambahinya. Dua minggu lagi waktuku kembali ke Taiwan. Semoga kataku adalah doa, setelahnya Allah hadirkan pengganti yang lehih baik. Aku pasti akan merindukan ritual pagi seperti ini bersamanya.

Perapian, kopi pahit, gorengan dan bapak.

Bapak, beliau tak banyak berdalih dan ceramah pada anak-anaknya. Tapi sekali bicara akan meninggalkan kesan yang mendalam. Dan bagaimana pun watak beliau, dengan segala kurang lebihnya. Dia adalah bapakku sayang, jannahku, waliku dan yang berharga dalam hidupku.

Rintik hujan mulai bertamu di fajar yang syahdu. Menghantarkan aroma kopi disiangi dan bau nasi goreng. Ia membelai indra penciuman makhluk Tuhan melenakan dengan rasa khasnya. Angin pun bersekongkol menjadi pengantar setia. Aku termangu di hadapan tungku bisu. Saksi betapa jiwaku rapuh serapuhnya. Antara cinta, rindu dan luka yang membauri.

'Apa kau mendengar rintihku, Nda?'

Selesai.


image
(doc.pribadi)

Cerpen di atas aku ikutkan pada lomba yang diadakan oleh @nunudanu (facebook) bekerja sama dengan kpkers-taiwan yang bertema tentang ayah. Menceritakan bagaimana sosok ayah dalam hidup kita. Dan alhamdulillah terpilih menjadi juara 2.

Bapak yang kurindu. Kupersembahkan kisah ini untukmu, Pak. Rerindu dan kasih ini utuh. Semoga Allah menjagamu. Tunggu anakmu pulang. Semoga ketika nanti akan ada yang menemani ritual pagimu dengan ketulusan hati yang hakiki.

Tertanda anakmu.


image

(doc.pribadi)

Salam Aksara Senja Formosa

Taiwan

Sort:  

Wah ..selamat ya, Mbak. Jalan ceritanya memang bagus, mengalir, dan enak dibaca. Kereen!

Terima kasih mbak.. 😊, masih perlu belajar saya

Posted using Partiko Android

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Thank you so much

Wah... Selamat buat penghargaannya ya kak

Terima kasih, Kak.. 😊

Posted using Partiko Android

Selamat ya

Posted using Partiko Android

Terima kasih mbak

Posted using Partiko Android

sosok ayah menjadi inspirasi dan pembawa rezeki 👍😊

Selamat atas prestasinya mbak @ucizahra

Iya Mbak, Alhamdulillah.. 😊

Posted using Partiko Android

Terharu membaca kisahnya, mba😐

Semua menyimpan kisah haru, Mbak. Kecewa luka seperti wajib ada.. 😣

Posted using Partiko Android

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by Ucizahra from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Alhamdulillah selamat ya mbak Uci..tetap semangat, ayah pasti selalu menanti anaknya kembali..