#AKU BUKAN ANAK HARAM

in #indonesia6 years ago

3422711_L.jpg

Sumbet

Fatiya berlari masuk ke rumah dengan tergesa. Bocah umur delapan tahun itu mencari ibunya di dapur. Meskipun mengalami gangguan pendengaran dan kesulitan berbicara, Fatiya bisa memahami pembicaraan orang lain.

Gadis yang ingin sekolah itu menangis dan memeluk ibunya. Perempuan muda yang sedang mengendong adik Fatiya terkejut. Fatiya bukan anak yang cengeng.

“Kakak, kenapa?” Fatiya hanya menggelang, mengamati ibunya.

Sang ibu khawatir, ditariknya Fatiya duduk di kursi dan diberi minum.

“Sekarang Kakak bilang sama ibu. Kenapa?” dengan isyarat jari dan irama yang pelan ibunya meminta Fatiya cerita.

Napasnya masih terengah Fatiya mulai bercerita.

Ada ibu-ibu di warung yang bertanya tentang dirinya dan sang ibu. Ujung-ujung si ibu malah bilang.

“Pantas saja bisu, kena karma itu. Anak haram!”

Tes tes air mata Nuraini jatuh. Hatinya bagai tersayat. Perih! Fatiya harus menangung dosa-dosa masa lalunya. Dipeluknya Fatiya yang mulai tenang. Sesaat kemudian dia bercerita pada Fatiya.

“Kakak, semua adik bayi yang lahir dari rahim ibunya adalah anak yang suci. Tidak berdosa, begitu kata pak ustad. Tidak ada anak haram sayang.”

Ditahannya air mata yang hampir mengalir kembali. Memori kesalahan dan luka sembilan tahun terekam nyata. Rasa sesal yang terus memenuhi ruang hatinya seakan tidak bisa terhapus.

Seorang pemuda baik di mata seorang Nur, gadis kelas dua SMA memberinya mimpi indah. Riyanto yang masih menganggur membawanya terbang ke langit. Penuh peluh dan deru nafsu yang melenakan. Nur menjadi bidadari semalam tanpa tabir.

Nur baru menyadari telah berbadan dua setelah perutnya semakin besar. Dikiranya hanya satu kali melakukan tidak mungkin bisa hamil. Takdir berkata lain, sampai usia kehamilan tujuh bulan dan Nur yang polos hanya bisa menangisi kebodohannya.. Nasi telah menjadi bubur.

Ibaratnya Nur telah melempar kotoran di muka keluarganya, kebaikan dan pribadi Nur yang santun pupus! Tinggal celaan dan cibiran yang dia terima. Bukan hanya itu saja, bayi yang tidak berdosa menanggung kesalahan orang tuanya sampai hari ini.

Nur dan Riyanto sepakat pergi ke Kalimantan untuk memperbaiki hidup. Fatiya bersekolah di SLB di kota dan tinggal di asrama. Nur terasa berat berpisah dengan putri sulungnya. Apalagi di asrama itu muridnya dicampur dengan anak-anak yang bermacam-macam berkebutuhan khusus.

Fatiya tumbuh besar menjadi pribadi yang mandiri. Sensitif, dia cenderung menangis dalam diam bila rindu ibu dan bapaknya. Selama di asrama, Fatiya juga membantu mengurus anak-anak lain dengan telaten. Ada yang keterbelakang mental, ada pula yang buta. Fatiya menyayangi semuanya.

1086393_L.jpg

Sumber

Memandikan, menyuapi, bahkan sampai pup, Fatiya yang menangani. Sungguh mulia hatinya. Belum tentu orang lain yang normal mau melakukan tugas tersebut tanpa gaji!.

Pernah Fatiya cerita, ada siswa yang tidak pernah dijenguk keluarganya. Kondisi anak itu sangat terbelakang. Badannya bergerak tiada henti, mulutnya ‘ngeces’ terus. Ah, kasihan pokoknya.

Suatu hari Fatiya dipilih mewakili sekolahnya untuk lomba porseni di Jakarta. Kepandaiannya membordir membawa sekolahnya mendapat apresiasi. Fatiya yang jujur tidak minta sedikitpun uang pembinaan untuknya. Masya Allah.

Usut punya usut ternyata Fatiya bukan cacat dari lahir. Sewaktu umur satu tahunan dia jatuh dari tempat tidur, badannya panas sampai kejang. Karena panasnya reda sendiri, akhirnya tidak dipriksakan ke dokter. Selain karena kondisi ekonomi yang kurang juga. Lama-lama Fatiya tumbuh dengan pendengaran yang tidak sempurna. Akibat jatuh itu, syaraf pendengaran tidak berfungsi. Malang nasibmu, Fatiya.

Air mata Fatiya jatuh, ketika mengetahui penyebab bisu dan tulinya. Dia sempat marah kepada ibunya, kenapa dia dibiarkan tuli!

Fatiya yang rajin dan pintar membuat kerajinan bordir harus menangung masa lalu orang tua seumur hidupnya. Atas takdir yang dijalani, secara fisik dan mental. Penderitaannya sungguh membuat iba. Tetapi Fatiya bisa menjalani dengan menerima semua yang ada padanya. Hatinya tidak menyalahkan siapapun, kalimat 'aku bukan anak haram' cukup memberi rasa hangat. Bahwa dia punya hak yang sama di mata Tuhan.


Sahabat Stemenian.

Di dunia ini banyak Fatiya-Fatiya yang lahir tanpa diharapkan. Bahkan oleh orang tuanya sendiri. Bayi yang lahir tidak pernah meminta dilahirkan oleh siapa. Dia hanya meminta haknya diperlakukan sebagaimana layaknya. Harimau yang ganas saja tidak pernah memangsa anaknya.

Betapa hinanya hidup seorang makhluk bernama manusia yang terjebak dalam belenggu nafsu. Karena pada saat ini nalarnya hilang. Wajarlah jika dikatakan lebih rendah daripada hewan. Tetapi Allah Maha penerima taubat. Jika manusia itu menyadari salah dan mau bertaubat, memohon ampunan pada Allah Azza wa Jalla.

Fatiya adalah korban yang tidak berdosa, parahnya lagi masih banyak sebagian masyarakat memandang bocah suci itu sebagai aib, anak haram, pembawa sial, dan lainnya. Pemahaman salah kaprah ini memberi dampak psikis yang tidak adil pada si bocah.

Bukankah Pemilik Alam ini sudah memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada makhluknya?

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah hanyalah yang paling bertaqwa.”

Subhanallah. Sebuah berita membahagiakan bagi yang memiliki iman. Tidak perlu khawatir dia lahir dari siapa dan dalam keadaan apa. Selama dia bertaqwa Allah menjanjikan kemuliaan yang tidak bisa diberikan makhluk manapun!

Sudah jelas bahwa manusia tidak diperkenankan menghukumi orang lain. Dengan saling menasehati dalam iman dan kesabaran jauh lebih baik dan utama. Pribadi dengan alhlaq yang karimah.

Catatan: Cerita di atas adalah Kisah nyata. Hanya nama yang disamarkan. Sosok Fatiya sekarang sudah menikah dengan laki-laki normal dan memiliki seorang anak.


Kalasan, 9 Novembe 2018.