#TUKANGCUKUR NYENTRIK ITU MAS MEN
Assalamualaikum sahabat Stemeenians
Salam sehat dan bahagia, semoga dalam aktivitas yang bermanfaat.
Waktu saya kecil pernah main tebak-tebakan dengan teman tentang profesi ini.
“Pekerjaan ayahku hebat lho, beliau bisa memegang bahkan menggerakkan kepala seorang jendral sekalipun. Apa pekerjaan ayahku?”
Untuk seumuran saya waktu itu sungguh itu sebuah pertanyan yang tidak mudah. Coba bayangkan saja, pekerjaannya memegang kepala jenderal...wah pasti dia punya pangkat lebih tinggi dari jenderal. Itu yang ada di benak saya.
Akhirnya teman tadi menjawab sendiri tebakannya, karena saya menyerah! Jawabnya adalah tukang cukur. Wah, tidak terpikir kalau jawabannya tukang cukur. Berarti hebat ya profesi ini. Kalau secara etika memegang kepala adalah hal yang tidak sopan, ini justru harus dipegang si kepala. Keren bukan?
Di daerah saya tukang cukur banyak digeluti orang dari Madura. Selain profesi terkenal mereka berdagang sate. Rumah cukur dengan tulisan Asli Madura akan dijumpai di pinggir-pinggir jalan. Beberapa ada yang masih memiliki hubungan famili dengan tukang cukur madura lainnya.
Semula mas Farid, tukang cukur langganan kami yang asli Madura. Lama kiosnya pindah dan kehilangan jejak. Seorang tukang cukur dengan rambut panjang mengekor, kini menjadi langganan kami.
Tukang cukur nyentrik ini biasa dipanggil Mas Men. Kalau yang ini orang jawa asli, bahkan penduduk asli di kampung situ.
Dia tertawa sewaktu saya tanya apakah dia juga orang Madura. Kemudian saya bertanya lagi.
“Dulu kursus ya Mas, kok bisa cukur gini?”
“Enggak Bu, coba-coba saja. Ceritanya pernah ada teman sekolah minta tolong dipotong rambutnya. Eh, kok hasilnya enak dipandang. Lama-kelaman saya jadi ketagihan. Terus kalau ada yang mau potong rambut, saya tawari tanpa bayar. Alhamdulillah, banyak yang suka dengan cukuran saya.”
“Kalau pakai gunting yang kaya gini belajar dari mana?” saya tanya tentang gunting yang khusus untuk cukur gundul.
“Oh, ini saya ya belajar sendiri bu. Otodidak, beli sendiri alatnya terus berlatih sampai yakin bisa.”
“Wah, Mas Men ini hebat kalau gitu.”
“Alhamdulillah bu. Prinsip saya kerja apa saja yang bisa dan ada. Ditelateni saja yang ada. Dulu waktu SMA saya biasa nyambi jadi kuli bangunan, tukang parkir juga. Lumayan uangnya bisa buat jajan.”
Kembar mulai geli ketika rambut yang dicukur mengenai wajahnya. Mas Men dengan sabar merayu agar kembar tidak bergerak lebih banyak.
“Saya itu kalau banyak yang direncanakan malah bubrah bu. Bingung mana dulu yang dikerjakan. Ya sudahlah, jalani saja nanti, kan ada jalan yang lain juga.” Lanjutnya .
“Misalnya apa Mas?”
“Kalau bulan besar saya nyambi jualan kambing. Lumayan hasilnya bisa buat bayar kontrankan tempat cukur ini. Kambingnya saya taruh samping situ saja, Bu.”
Pembicaraan sore itu mas Men juga menyinggung putrinya yang seusia kembar, sekaligus anak keduanya yang masih bayi. Ada nada khawatir ketika cerita si kakak yang mulai bandel dan suka jajan.
“Besok kalau sudah besar bisa sembuh nggak ya bu bandelnya? Perempuan lho, Bu.”
“Bisa Mas, nggak usah khawatir. Itu anak ibu yang di pondok, masya Allah dulu usilnya minta ampun. Sepeda barusan diganti bannya malah ditusuk pakai jarum. Katanya pengen tahu bocor apa enggak kalau kena jarum.” Mas Men tertawa.
“Anakku nggak punya rasa takut, dibilangi pintar banget kasih jawaban Bu.”
“Belum sekolah juga to Mas. Nanti kalau sudah sekolah kan, ada kegiatan lain. Usia juga belum ada lima tahun. Apalagi baru saja punya adik bayi, terkadang merasa kurang diperhatikan. Akhirnya terus bikin ulah. Cemburu bisa jadi. Ya, jadi orang tua harus sabar. Mas.”
“Iya Bu, benar. Saya dulu masih kecil kadang-kadang ya nakal.” Kami tertawa bersama.
Alhamdulillah, tidak ada insiden berarti acara potong rambut si kembar. Rasanya senang bisa berbagi meskipun hanya seklumit saja. Mas Men memiliki pribadi yang tidak ngoyo. Dia mensyukuri semuanya yang ada pada dirinya. Prinsip halal tetap menjadi tujuan dari mencari nafkah untuk anak dan istrinya.
Biasanya kalau musim masuk sekolah tempat cukurnya ramai. Siap antri sampai lima atau enam orang. Pelanggannya mulai balita sampai kakek-kakek. Awal saya langganan cukur di sana dengan tarif Rp. 6000, kemudian naik Rp. 8000, sekarang Rp. 10.000. Semua ongkos sama baik anak-anak maupun dewasa.
Naiknya harga sewa tempat dan listrik menjadi alasan kenaikan tarif ongkos cukur. Ya, begitulah adanya, setiap ada kenaikan atau kebijkan selalu ada efek atau imbas bagi masyarakat.
Kerja keras seorang mas Men sebagai kepala keluarga sangat berharga untuk anak dan istrinya. Berapapun nominal yang di dapat itulah rezeki yang diyakininya. Dengan mensyukuri nikmat yang ada, keluarga kecil itu hidup berjalan mengalir seperti air.
Kalasan, 23 November 2018.