Bitcoin Mania, Andakah Korban Berikutnya?
Oleh Furqan*)
Akhir-akhir ini bitcoin menjadi topik yang paling menarik diperbincangkan oleh sejumlah orang. Bitcoin mulai menyerang masyarakat dengan jurus mautnya serta mampu menggaet banyak minat masyarakat terutama pemuda untuk melakukan investasi pada mata uang kripto ini.
Fenomena ini tidak bisa diabaikan begitu saja karena menyangkut nasib perekonomian, politik keamanan dan keberlangsungan kehidupan nantinya. Apalagi bitcoin salah satu mata uang kripto digadang-gadangkan sebagai alat tukar yang sah yang sejajar dengan mata uang rupiah yang kita gunakan. Wajar saja Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) begitu resah dengan hadirnya sistem dan teknologi blockchain ini. Seperti yang dilansir Serambi Indonesia, 23 Januari 2018 ”Pemerintah: Bitcoin haram di Indonesia” dengan dalih mudahnya tindakan pencucian uang, pendanaan terorisme, minimnya regulator dan supervisi yang mengawasi transaksi bitcoin.
Banyak pakar ekonomi dunia turut memberikan pandangannya terkait maraknya investasi mata uang kripto tersebut. Robert Shiller, pemenang nobel dan penulis buku Irrational Exuberrance dan juga salah satu orang yang berhasil memprediksi housing bubble, yakni melonjaknya harga rumah karena eforia masyarakat akan keuntungan masa depan dan akhirnya malah menurun tajam pula.
Banyak pakar ekonomi dunia turut memberikan pandangannya terkait maraknya investasi mata uang kripto tersebut. Robert Shiller, pemenang nobel dan penulis buku Irrational Exuberrance dan juga salah satu orang yang berhasil memprediksi housing bubble, yakni melonjaknya harga rumah karena eforia masyarakat akan keuntungan masa depan dan akhirnya malah menurun tajam pula.
Oleh karena itu saya mengajak para pembaca untuk melihat lebih jauh fenomena bitcoin mania ini lebih dalam sehingga setiap keputusan yang akan kita ambil nantinya setidaknya telah mengalami beberapa proses pertimbangan yang matang.
Bitcoin sendiri merupakan salah satu mata uang kripto (mata uang virtual) yang diciptakan Satoshi Nakamoto, memiliki sifat terdesentralisasi, jumlahnya terbatas, tidak diatur oleh pemerintah sehingga nilainya murni dari permintaan dan penawaran di pasar uang kripto. Untuk membeli atau berinvestasi di bitcoin sangatlah mudah hanya hitungan menit saja mulai dari membuat akun atau dompet bitcoin lalu mengaitkan rekening untuk proses transfer uang ke dompet bitcoin. Kemudahan akses, keamanan data pribadi juga menggunakan sistem peer to peer tanpa pihak perantaran seperti bank, atau pengawas pemerintah lainnya dan kecepatan transaksi menjadi sisi positif lainya yang membuat bitcoin digemari oleh investor.
Cara lain yang paling terbaru melakukan transaksi di bitcon adalah dengan menginvestasikan uang ke perusahaan pengelolaan trading bitcoin, yakni dengan adanya jual-beli bitcoin untuk mendapat keuntungan dari selisih harga beli dan jual.
Sekarang banyak yang menggaet melalui cara kedua ini karena lebih mudah, setiap anggota yang bergabung cukup meyerahkan uang sesuai yang ditentukan dan setiap 10 hari sekali perusahaan akan menjajikan pendapatan tetap berupa transferan uang ke rekening, ini akan dilakukan sampai kontrak berakhir.
Pertanyaan berikutnya apakah benar ketertarikan kepada bitcoin dari faktor ini saja atau karena faktor lain seperti keinginan mendapat uang penghasilan tetap tanpa bekerja cukup menginvestasikan sejumlah uang?
Jika ditelisik lebih lanjut, nilai bitcoin identik dengan fluktuasi atau naik turunnya harga yang sangat tajam. Misalnya pada bulan Januari 2017 harga bitcoin US$1.175/BTC naik sampai US$ 4980/BTC. Penurunan drastis terjadi selama bulan September 2017 menjadi US$ 2.975/BTC. Seadainya digunakan sebagai alat pembayaran sejajar dengan rupiah bagaimana kita bisa menetukan harga barang? Pastinya akan banyak kekacauan terjadi karena tidak fluktuatifnya mata uang ini.
Celah Keamanan di Bitcoin
Keamanan berinvestasi dengan bitcoin juga banyak dipertanyakan setelah tragedi perusahaan Nicehash dan Youbit. Nicehash salah satu penyedia layanan untuk pembelian bitcoin pernah diretas dan mengalami kerugian sekitar US$ 4.700 BTC atau sekitar 60 juta dollar (mendekati harga 1.000 trilliun). Bayangkan jika kita termasuk salah satu pemilik bitcoin yang memakai jasa Nicehash mungkin Anda termasuk salah satu orang yang mengalami kerugian finansial.
Sementara Youbit perusahaaan yang bergerak di bidang yang sama malah bernasib lebih buruk, harus gulung tikar setelah diretas oleh hacker. Rentannya peretasan dan pencurian seharusnya membuat kita sedikit lebih waspada.
Korea Selatan merupakan negara ketiga transaksi bitcoin terbesar dunia, juga menggelar razia besar-besaran terhadap enam bank meliputi NHK Bank, Industrial Bank of Korea, Shinhan Bank, Kookmin Bank, Woori Bank dan Korea Development Bank untuk memastikan tidak ada yang melayani mata uang kripto (bitcoin dan jenis lainnya). Bahkan Ketua Komisi Pelayanan Keuangan (FSC) Choi Jong-Ku sangat takut dengan keberadaan uang kripto akan membawa efek buruk bagi negaranya seperti tindakan pencucian uang, dan spekulasi yang tidak masuk akal.
Bagaimana Harga Bitcoin Naik?
Setelah saya mengamati ada beberapa hal yang menyebabkan pergerakan harga bitcoin begitu menanjak. Pertama, tingginya harapan masyarakat mendapatkan pasif income, dengan kata lain kita cukup menginvestasikan sejumlah uang kepada perusahaan pengelola bitcoin lalu setiap 10 hari akan mendapat keuntungan yang ditransfer kerekening masing-masing anggota.
Kedua, bitcoin adalah uang masa depan, semua negara kedepannya akan menggunaan uang virtual sejenis bitcoin untuk melakukan transaksi, nah sebelum itu terjadi kita hatus memilikinya terlebih dahulu. Keuntungannya pasti kita bisa membeli dengan harga lebih murah dan bisa menjualnya dengan harga mahal.
Ketiga, cara kaya secara instan tanpa bekerja. Bayangkan dengan uang 100 juta cukup investasikan ke perusahaan penyedia layanan bitcoin dan dapatkan pasif income ini lebih mudah dibandingkan dengan membuka usaha jualan, misalnya harus mengeluarkan banyak energi untuk promosi dan menjual, belum lagi resiko tidak laku. Cara berpikir seperti ini yang dilakukan secara massif oleh banyak pihak peminat bitcoin untuk mempengaruhi masyarakat. Apalagi generasi muda yang cenderung malas, tetapi mempunyai dukungan finansial yang kuat dari orangtua, dengan cara ini mereka berharap bisa menjadi kaya semudah mungkin.
Keempat, prediksi para pakar seperti Tom Lee selaku pakar strategi Wall Street, berkeyakinan bitcoin pertengan 2018 menembus angka US$ 6.000/BTC dan pada tahun 2022 mencapai US$ 25.000/BTC. Kenyataanya sekarang harga bitcoin menembus angka US$ 11.000 /BTC. Artinya keyakinan para pakar pada tahun 2017 sangat mempengaruhi psikologis masyarakat tentang bitcoin. Di luar sana sangat banyak pakar ekonomi yang menentang pergerakan bitcoin seperti Robert Shiller, Jamie Dimon, Stephen Roach dan masih banyak lagi. Oleh karena itu kita perlu terus mengedukasi tentang efek buruk bitcoin dan mata uang kripto sejenisnya agar masyarakat sadar akan jebakan ini.
Kelima, agen bitcoin. Mereka inilah yang menyebarkan isu positif kepada masyarakat, diakui atau tidak perannya sangat besar dalam mempengaruhi agar calon investor mau bergabung menjadi anggota dan tentunya dengan iming-iming pasif income.
Nah, kelima faktor di atas menyebabkan harga bitcoin melonjak begitu tajam melebihi 1.000% selama tahun 2017. Apakah fonomena yang dikatakan speculative bubble ini baru terjadi atau pernah terjadi sebelumnya atau peristiwa semacam ini telah terjadi berulang kali dan menjadi perilaku manusia pada umumnya.
Bunga Tulip dan Batu Giok Aceh
Bunga tulip pernah menjadi lambang kekayaan dan kemegahan pada masanya. Pada tahun 1593 M Holland mengimpor bunga tulip dari Turkey. Dalam perkembangannya, perdagangan tulip merubah pandangan masyarakat tentang tulip (tulip bukan hanya bunga tetapi lambang kekayaan dan instrumen penyimpan kekayaan lebih menarik dari emas).
Tahun 1637 harga tulip melesat sampai 6.000 florin (uang logam inggris) sedangkan pendapatan per tahun masyarakat Holland sebesar 150 florin. Bisa kita asumsikan bahwa bunga tulip pada masa itu bernilai 40 kali lipat pendapatan masyarakat Holland. Bagaimana jika dikonversi dengan pendapatan minimun masyarakat Aceh, semisal Rp2.800.000/bulan = Rp33.600.000/tahun, maka harga tulip bisa menembus angka Rp1.344.000.000. Fantastis bukan?
Sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1646 bunga tulip mengalami penurunan harga yang cukup drastis dan investor kehilangan uangnya.
Rasional tidaknya keputusan membeli tulip dengan harga menembus angka milyaran bisa dibuktikan dengan harga pasaran bunga tulip sekarang berkisar antara 300 ribu sampai 700 ribu rupiah saja.
Dunia pernah digemparkan dengan perdagangan batu giok di salah satu ujung pulau sumatera yaitu Aceh. Memasuki tahun 2013, anggapan batu giok bukan sekedar batu hiasan tangan tetapi mulai menganggap bahwa giok sangat bagus dikoleksi dan dijual kembali. Ketertarikan psikologis masyarakat Aceh terhadap giok rupanya mampu mempengaruhi pasar nasional dan internasional. Sejak itu Aceh dikenal memiliki batu giok kualitas super bahkan banyak sekali giok Aceh di perdagangkan ke luar daerah setelah disulap ke pelbagai macam bentuk seperti cincin, gelang, kalung, gelas dan sebaginya.
Saya tidak ingin membahas lebih dalam tentang keunggulan giok Aceh dibanding giok daerah lain. Yang menjadi titik pengamatan saya, yaitu pergerakan harga giok di tahun 2013 hingga capai puncaknya pada tahun 2015, benar-benar membuat semua orang kagum bagaimana giok pada saat itu bernilai jutaan rupiah jika dibanding sekarang harganya mungkin ratusan ribu saja.
Fenomena ini bisa disamakan dengan fenomena tulip di Amsterdam, Belanda. Memiliki masa perkenalan, ekspektasi masyarakat tentang harga lebih tinggi di masa depan. Penyebaran informasi tentang bagusnya mengoleksinya karena bisa dijual lebih mahal dan pada akhirnya harga tulip dan giok kembali pada harga yang wajar.
Sebenarnya fenomena speculative bubble ini sangatlah banyak, kita bisa menambahkan seperti yang terjadi pada perusahaan South Sea, perusahaan MISSISIPI abad ke-17, Wall Street tahun 1921 ,German 1923, housing bubble 2013 di Amerika. Pertanyaan terbesar berikutnya akankah bitcoin bernasib sama?
Peristiwa tulip dan giok dan sederetan speculative bubble lainnya memang melibatkan pergolakan psikologis masyarakat, sehingga pertanyaan berapa harga yang layak diberikan kepada benda yang sedang diperdagangkan bukan berdasarkan pertimbangan satu faktor saja atau faktor penilaian intrinsic. Tetapi melibatkan faktor lain lebih kurang sama halnya yang terjadi pada bitcoin. Seperti yang telah saya paparkan di atas, kelima faktor yang menyebabkan harga bitcoin melonjak adalah faktor psikologi yang menompang harga bitcoin di pasar.
Dengan penompang yang begitu rapuh, yakinkah Anda bitcoin mania tidak akan berakhir sama seperti tulip dan giok Aceh? Setelah mencapai satu titik tertinggi eforia masyarakat terhadap bitcoin, otomatis setelah itu harga bitcoin akan turun.
Robert Shiller mengatakan ini merupakan salah satu gejala speculative bubble (dalam ilmu ekonomi didefinisikan dimana sutau benda diberi nilai/harga melebihi nilai intrinsiknya). Cara paling mudah melihat speculative bubble, yakni dengan melihat lonjakan harga yang sangat cepat seperti bitcoin di tahun 2017 melebihi 1.000% dan menurun dengan cepat pula. Menurut Shiller, setiap peristiwa bubble price (penggelembungan harga/kenaikan harga yang sangat tajam) akan berakhir burst (meledaknya gelembungan harga/harga turun drastic). Ini hanya masalah waktu.
Kepala Ekonom di Bank Investasi Morgan Stanley, Stephen Roach dalam salah satu wawancara yang dilakukan wartawan CNBC Dan Murphy, mengatakan bahwa, “Ini adalah konsep yang beracun bagi investor. Selama 30 tahun lebih bekerja di Morgan Stanley belum pernah melihat fenomena seperti ini dimana pergerakan chart begitu menanjak melebihi 1.000 persen dalam tahun ini. Banyak investor tidak memiliki pemahaman yang bagus tentang mata uang kripto mereka hanya berharap mendapat keuntungan dari naiknya harga di pasar. Sudah hal pasti orang terakhir yang memasuki rantai perdagangan bitcoin akan mengalami kerugian yang besarkarena saat itu tidak ada lagi yang berani membeli lebih tinggi dari Anda”.
Dan sekali lagi Roach sependapat dengan Robert Shiller, setiap bubble pasti burst.
Semuanya tergantung pada Anda, saya berharap dengan adanya tulisan ini setidaknya membantu Anda dalam mengambil keputusan berinvestasi pada mata uang kripto, baik bitcoin maupun jenis lainnya. Jika Anda atau perusahaan yang mengelola dana sampai terjebak pada harga yang tinggi saat membeli bitcoin, siapakah yang akan menyelamatkan Anda dari kerugian finansial? Sangat berbeda jika Anda membeli saham yang ditopang asset ril (berupa hak kepemilikan atas perusahaan) jika harganya turun selama Anda membeli perusahaan yang sehat itu tidak akan terlalu berpengaruh karena mendapatkan dividen/keuntungan yang dibagi oleh perusahaan kepada pemegang saham.
Ada satu hadih Madja Aceh , “tajak ube let tapak, taduek u bee let punggong” jangan sampai karena alasan ingin kaya dalam waktu cepat mengorbankan rasionalitas berfikir dan masa depan Anda.
*)Penulis adalah mahasiswa semester 5 Prodi Perbankan Syariah IAI Almuslim Aceh Paya Lipah, aktif di pasar modal sebagai tim sosialisasi Galeri Investasi Paya Lipah dan Penikmat Ekonomi dan Kajian Filsafat.
Komentar