Metode Istimbath Hukum Lughawi

in #interpretation6 years ago

Makalah ini saya sampaikan pada tanggal 7 Oktober 2018 di perkuliahan pada mata kuliah Ushul Fiqh. Semoga bermanfaat.

Nash-nash Al-quran dan Sunnah semuanya berbahasa Arab. Untuk memahami hukum-hukumnya yang terkandung didalam kedua nash tersebut secara baik maka haruslah memperhatikan pemakaian struktur dan gaya bahasa Arab dan cara penunjukan lafaz nash sehingga dapat dikeluarkan arti daripadanya. Oleh karena itu para ulama ahli ushul fiqh mengarahkan perhatian mereka kepada penelitian terhadap struktur dan gaya bahasa bahasa Arab yang lazim dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan bangsa Arab dalam mengubah syair dan menyusun prosa. Dari penelitian tersebut mereka menyusun kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipergunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab sendiri yang nash-nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.
Kebanyakan ulama ushuliyyun membicarakan makna-makna dari suatu lafaz yang justru lafaz-lafaz itu dalam suatu bahasa adalah di ciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu. Para ushuliyyun menetapkan bahwa perhubungan lafaz dengan makna mempunyai beberapa segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafaz dalam hubungan nya dengan makna kepada beberapa bagian, diantaranya sebagai berikut:
Lafaz dari segi tingkat kejelasan teks nash
Dalam hal ini dibagi kepada 2 segi yaitu:

Teks nash yang sudah jelas
Zhahir
Menurut Abdul Wahab Khallaf, Lafaz zhahir adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafaz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan (dipahami dengan maksud lain).
Contohnya:

Artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Qs; al-Baqarah: 275).
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang lebih mudah dan cepat ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qarinah yang menjelaskannya. Meskipun demikian, ungkapan ayat tersebut bukanlah sekedar untuk menyatakan halal dan haram tetapi untuk membantah anggapan orang munafik waktu itu yang menyatakan riba itu sama hukumnya dengan jual beli. Karena maksud sebenarnya dari ayat itu dapat diketahui dari asbabun nuzul ayat tersebut. Oleh karena itu, lafaz itu wajib diamalkan sesuai dengan maksudnya yang dikehendaki, selama tidak ada dalil yang menafsirkannya, menakwilkannya atau menasakhnya.
Nash
Menurut ushuliyyun, nash adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan ditakwilkan.
Contohnya:

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat; (Qs. an-Nisa: 3)
Keizinan menikahi perempuan, dua, tiga atau empat dianggap nash karena arti itu langsung diperoleh pada pemahaman pertama dan setelah dibaca secara teliti arti itu pulalah yang didapat karena memang arti itu yang dimaksudkan oleh konteks kalimat.
Mufassar
Lafaz mufassar adalah lafaz yang dengan sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada makna yang terperinci, begitu terperincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafaz tersebut.
Contohnya:

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera; (Qs: an-Nur:4).
Mengenai jumlah pukulan delapan puluh kali sebagai hukuman bagi yang menuduh orang lain berzina adalah lafaz mufassar, karena jumlah delapan puluh itu dianggap cukup jelas. Memang memukul itulah yang dimaksud dalam ayat dan rasanya juga tidak mungkin diartikan lain, sebagaimana tidak mungkin ditambah atau dikurang. Namun sekiranya mujtahid menemukan nash yang dianggap menjelaskan ayat itu maka dia boleh saja mengubahnya, sesuai dengan nash yang dianggap menjadi penjelasnya. Jadi, lafaz mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafaz itu sendiri kecuali ada dalil yang yang sharih yang menasakhnya.
Muhkam
Lafaz muhkam adalah suatu lafaz yang dari sighatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang sesuai dengan pembentukan lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian maupun takwil.

Artinya: Dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat.; (Qs. al-Ahzab:53)
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa umat Islam sepeninggal Rasulullah tidak boleh mengawini istri-istri Rasul selama-lamanya. Tambahan lafaz abadan dalam ayat ini menjadikan larangan menikahi tersebut menjadi muhkam sehingga tidak dapat diartikan lain. jadi lafaz ini wajib diamalkan secara qath’i. Karena makna lafaz muhkam itu tidak dapat ditakwilkan kepada arti lain di luar lafaznya dan tidak pula di nasakh baik pada zaman Rasul maupun sesudahnya.

Teks nash yang tidak jelas
Khafi
Lafaz khafi adalah lafaz yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalahnya) yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaznya.
Contohnya:

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya; (Qs. al-Maidah:38)
Lafaz sariq menurut ayat tersebut diterapkan untuk orang yang mengambil harta milik orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang wajar. Jadi pada awalnya relatif tidak ada kesulitan mengidentifikasi siapa yang dikatakan pencuri. Tetapi di zaman sekarang, timbul kesulitan karena kita dihadapkan pada perbuatan lain yang yang mempunyai nama khusus, misalnya koruptor yang merampas uang negara. Apakah koruptor dianggap berbeda dengan pencuri, atau karena mengandung beberapa kesamaan harus disamakan dengan pencuri sehingga pelakunya dapat diberlakukan hukuman yang sama dengan pencuri yaitu potong tangan.
Oleh karena itu, mengenai lafaz khafi ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tujuan umum dan tujuan khusu ditetapkannya hukum atasnya yaitu perluasan penunjukan lafaz atau penyempitan dalam penerapannya. Kemaslahatan umum harus diperhatikan dalam perluasan dan penyempitan tersebut, selama suatu lafaz tersebut dapat digunakan untuk kepentingan umum.
Musykil
Lafaz musykil adalah lafaz yang samar artinya disebabkan oleh lafaz itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki akan tetapi harus ada qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
Contohnya:

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’; (Qs: al-Baqarah:228)
Menurut bahasa, lafaz quru’ bisa diartikan suci dan bisa diartika haid. Tetapi karena arti ini tidak bisa digabung, maka para ulama memilih salah satunya. Ulama Hanafiah dan Hanabilah memilih arti haid dengan demikian masa iddahnya adalah tiga kali haid, sedangkan ulama Syafi’iyyah memilih arti suci maka masa iddahnya adalah tiga kali suci. Dan semua mereka mempunyai alasan untuk pilihannya ini, ada alasan berlandaskan al-Quran dan juga yang merujuk ke hadis.
Mujmal
Lafaz mujmal adalah lafaz yang tidak diketahui maknanya kecuali setelah mendapatkan penjelasan dari Allah atau Rasul itu sendiri.
Contohnya:

Artinya: Dan tunaikanlah zakat; (Qs: al-Baqarah:43)
Kandungan ayat ini dianggap mujmal dan karena itu perlu kepada mufassir, yakni ayat-ayat atau hadis yang menjelaskannya secara rinci. Salah satu ayat yang menjelaskan zakat adalah al-baqarah 267 yang berbunyi:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu; (Qs: al-Baqarah: 267)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan seorang beriman supaya menafkahkan sebagian hasil usahanya yang baik-baik dan sebagian hasil bumi yang diberikan Allah kepada mereka. Tetapi ayat ini pun masih dianggap mujmal karena batasan dan cara mengeluarkan zakat tadi belum seluruhnya diketahui. Karenanya perlu kepada nash lain untuk menjelaskannya, dalam hal ini hadis-hadis Rasulullah. Dalam hadis-hadis tersebut ditemukan uraian mengenai nisab, haul dan kadar termasuk juga jenis benda yang harus di zakati. Namun karena jumlah hadis tidak hanya satu, dan kualitasnya pun berbeda maka dalam hal ini para ulama masih mungkin melakukan ijtihad melalui perpaduan hadis-hadis tersebut.
Mutasyabih
Lafaz mutasyabih adalah lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya. Oleh karena Syari’ memandang, lafaz tersebut tidak perlu diketahui orang, maka tidak di jelaskanNya.
Contoh:

Artinya: Tangan Allah di atas tangan mereka; (Qs: al-Fath:10)
Meskipun dalam ayat ini dinyatakan bahwa tangan Allah di atas tangan mereka, akan tetapi arti denotasi ini tentu tidak bisa digunakan karena Allah tidak mempunyai tubuh. Jadi yang perlu kita ingat, bahwa dalam ayat hukum tidak ditemukan lafaz mutasyabih. Lafaz ini hanya ditemukan di dalam ayat-ayat kalam atau tauhid.
Lafaz dari segi penunjukan makna (al-dalalah)

Menurut Hanafi

Penunjukan secara langsung (Dalalah al-‘ibarah)
Dalalah al-‘ibarah adalah makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz baik dalam bentuk nash ataupun zhahir.
Contohnya:

: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja; (Qs: an-Nisa:3)
Dengan memperhatikan ‘ibarat nash (apa yang tersurat didalam nash) tersebut kita memperoleh 3 pengertian, yaitu:
Diperbolehkan mengawini wanita yang disenangi
Membatasi jumlah istri sampai 4 orang saja
Wajib hanya mengawini seorang saja jika khawatir berbuat khianat lantaran mengawini banyak wanita.
Semua pengertian tersebut di tunjuk oleh lafaz nash secara jelas akan tetapi pengertian yang pertama bukan merupakan maksud yang asli sedangkan pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud yang asli sebab ayat ini ditujukan kepada orang yang khawatir berbuat khianat terhadap wanita-wanita tersebut.
Penunjukan secara implisit (Dalalah al-isyarah)
Dalalah al-isyarah adalah penunjukan suatu lafaz kepada makna yang tidak segera dapat dipahamkan, akan tetapi makna itu tidak dapat dipisahkan dari makna yang dimaksudkan baik menurut rasio ataupun adat kebiasaan.
Contohnya:

Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya; (Qs: al-Baqarah: 236)
Maksudnya, kamu tidak tidak berdosa sekiranya menceraikan istrimu sebelum bercampur dengannnya dan sebelum menentukan mahar. Makna ‘ibarat nash dari ayat ini, boleh menceraikan istri sebelum bercampur atau sebelum ada kepastian mahar. Sedangkan makna isyarat al-nashnya adalah sahnya melakukan akad nikah walaupun tidak menyebutkan jumlah mahar terlebih dahulu.
Penunjukan secara analog (Dalalah al-dalalah)
Dalalah al-dalalah adalah penunjukan oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat di balik lafaz itu. Hukum yang terdapat dalam lafaz secara tersurat berlaku pula pada apa yang tersirat dibalik lafaz itu karena diantara keduanya terdapat hubungan.
Contohnya:
((((... ((((( (((((((( ((((( ...
Artinya: maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”; (Qs:al-Isra:23)
Hukum yang dapat dipahami dari penggalan ayat ini menurut dalalah al-dalalah ialah seseorang tidak boleh mengatakan “ah” kepada orang tuanya. Dari makna ini orang dengan mudah mengetahui bahwa illat dari perintah tersebut adalah tidak boleh menyakiti hati orang tua. Atas dasar makna di atas dapat diperluas kepada semua bentuk tindakan yang dapat menyakiti perasaan orang tua seperti tidak boleh memukul atau memaki. Bahkan perbuatan memaki dianggap lebih buruk dari sekedar menyatakan ah.
Penunjukan secara sisipan (Dalalah al-Iqtidha’)
Dalalah al-Iqtidha’ adalah penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebut oleh nash. Akan tetapi pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain, pemahaman terhadap nash baru tepat dengan cara menyelipkan kata lain.
Contohnya:

Artinya: Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya; (Qs: Yusuf:82)
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “kampung”. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayata itu menjadi benar. Kata yang perlu di munculkan adalah “penduduk” sehingga menjadi “penduduk kampung” selain itu juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah” sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah” yang memungkinkan memberi jawaban.
Menurut Syafi’i

Dalalah al-Manthuq
Dalalah al-Manthuq adalah penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu. Contohnya:

Artinya: Diharamkan atasmu mengawini anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu dan istri-istri yang telah kamu gauli; (Qs: an-Nisa:23).
Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah di gauli. Apa yang ditunjuk di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut.
Secara garis besar dalalah manthuq ini dibagi kepada 2 yaitu:
Manthuq Sharih
Adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafaz sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.
Manthuq Ghairu Sharih
Adalah lafaz yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafaz, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Contohnya:

Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf; (Qs: al-Baqarah:233)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada ditangan ayah.

Dalalah al-Mafhum
Adalah penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan. Dalalah ini dibagi kepada 2 yaitu:
Mafhum muwafaqah
Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz. Contohnya:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. (Qs: an-Nisa: 10)
Secara manthuq, ayat ini menjelaskan tentang haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukum. Alasan larangannya karena tindakan tersebut dapat merusak atau melenyapkan harta anak yatim. Sementara melalui mafhum muwafaqah dapat diketahui darai ayat ini dilarang setiap perbuatan yang dapat merusak dan menghabiskan harta anak yatim seperti membakar dan menipu.
Menurut para ahli ushul fiqh, apabila hukum tidak disebutkan (mafhum) lebih utama dari yang disebutkan maka dinamakan Fahwa al-Khitab. Sedangkan apabila hukum yang tidak disebutkan sama kuat dengan hukum yang disebutkan maka dinamakan dengan Lahn al-Khitab.
Mafhum Mukhalafah
Adalah mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Contohnya:

Artinya: Barangsiapa diantara kamu yang tidak mampu untuk mengawini perempuan merdeka yang mukmin, ia boleh mengawini wanita beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki; (Qs: an-Nisa: 25)
Manthuq (apa yang tersurat) dari ayat ini ialah bolehnya menikahi hamba sahaya yang mukmin bila tidak mampu menikahi perempuan merdeka yang mukmin, jadi mafhum mukhalafah dari ayat ini adalah tidak bolehnya mengawini hamba sahaya yang tidak mukmin.

Lafaz dari segi luas dan sempitnya cakupan makna
‘Am
Lafaz ‘am adalah suatu lafaz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih. Atau dengan kata lain suatu lafaz yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Contoh lafaz ‘am:
((((( ((( (((((((( ((( (((((((( (((( ((((( (((( ((((((((( ...
Artinya: Dan tidak ada suatu hewan melatapun di bumi melainkan Allah yang memberi rizkinya; (Qs: Hud: 6)
Yang dimaksud dengan hewan melata dalam ayat tersebut adalah ‘am karena mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi Allah yang memberi rizkinya.
Khas
Lafaz khas adalah suatu lafaz yang mengandung satu makna secara tunggal. Menurut Abu Zahrah, para ulama sepakat memahami lafaz khas menunjuk untuk pengertian khusus secara qath’i dan hukum nya bersifat qath’i selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain. contohnya:
((((((((((((((( ((((((((( (((((((( (((((((((( (((( (((((((( ((( ((((((((((( ((((((((((( (((( (((((((((((( (((( ((((((((( (((((((( (
Artinya: Maka kafarat sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak; (Qs: al-Maidah: 89)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin. Kata asyarah dalam ayat hanya di ciptakan untuk bilangan sepuluh sudah pasti dan tidak ada kemungkinan pengertian lain. demikianlah dipahami setiapa lafaz khas dalam al-quran selama tidak ada dalil yang memalingkannya.
Musytarak
Lafaz musytarak adalah lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Misalnya lafaz “quru” yang mempunyai arti “suci dan haid”. Ketiga macam lafaz yakni ‘am, khas dan musyatarak banyak kita dapati dalam nash-nash syariat. Oleh karena itu lafaz-lafaz tersebut memerlukan penjelasan yang seksama apa yang di maksud masing-masingnya.
Beda ketiga, kalau lafaz ‘am diciptakan untuk satu makna tetapi makna yang satu itu mencakup satuan-satuan yang tidak terbatas biarpun dalam kejadiannya terbatas, sedangkan lafaz khas ia diciptakan untuk satu makna bagi satuan tunggal, lain hal nya lagi dengan lafaz mufassar yang diciptakan untuk beberapa makna yang penunjukkannya kepada makna itu dengan jalan bergantian, tidak sekaligus.
Hakiki
Adalah suatu lafaz yang sengaja di ciptakan untuk memberi suatu arti yang sesuai dengan peristilahan bidang ilmu. Oleh karena kehaqiqatannya itu dapat dikhususkan dalam bidang-bidang ilmu tertentu, maka ia mempunyai nama-nama sesuai dengan ilmu tempat ia dipergunakan. Setiap lafaz hakiki harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya , baik bersifat ‘am ataupun khas.

Artinya: Hai orang-orang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu; (Qs: al-Hajj:77)
Arti yang dimaksud oleh lafaz “irak’u dan usjudu” dalam ayat tersebut adalah ruku’ dan sujud yang sejati, sebagaimana yang kita kenal. Kedua lafaz tersebut adalah khas dalam bentuk Amr sedangkan orang-orang yang diperintahkan melakukannya adalah umum.
Majaz
adalah suatu lafaz yang digunakan untuk suatu arti yang semula lafaz itu bukanlah diciptakan untuknya. Dan setiap lafaz majaz hendaklah diamalkan menurut arti yang dipinjamkan untuknya. Contoh:

Artinya: Sungguh aku bermimpi, bahwa aku memera anggur;(Qs; Yusuf: 36)
Arti hakiki lafaz a’shiru khamr dalam ayat tersebut adalah “aku memeras khamar”. Tetapi, arti yang demikian ini tidak dimaksudkan oleh ayat. Yang dimaksudkan ialah arti majazinya yakni a’shiru ‘inaban yaitu “aku memeras anggur untuk membuat khamr”. Jadi apabila suatu lafaz dapat diartikan dengan artinya yang hakiki dan dapat pula dengan majazi, maka hendaklah diartikan dengan arti yang hakiki. Karena arti hakiki itulah yang asli sedangkan arti majazi bukan yang asli. Akan tetapi kalau lafaz diartikan secara hakiki, hendaklah dialihkan kepada kepada arti majazi.
Mutlak
Adalah lafaz yang tidak diberi batasan yang berupa lafaz yang dapat mempersempit keluasan artinya. Contohnya:
((((((((((( (((((((( (((( (((((( ((( (((((((((((
Artinya: Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua istri itu bercampur; (Qs: al-Mujadilah:3)
Makna lafaz “raqabatin” dalam ayat tersebut adalah lafaz mutlak karena tidak diberi batasan dengan sifat tertentu sehingga dengan demikian lafaz raqabatin tersebut dapat mencakup seluruh macam budak, baik budak yang mukmin maupun yang kafir.
Muqayyad
Adalah lafaz yang diberi batasan yang berupa lafaz yang dapat mempersempit keluasan artinya. Contohnya:

Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena salah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya; (Qs: an-Nisa:92)
Pada ayat ini terdapat 3 buah lafaz yang muqayyad. Pertama lafaz “qatala”. Lafaz itu di qayyidkan dengan lafaz “khataan” (karena salah). Sehingga dengan demikian kewajiban membayar kaIfarat yang semacam itu dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan karena kelalaian, bukan pembunuhan karena yang lain. kedua lafaz “raqabatain” (hamba sahaya). Lafaz ini di qayyidkan dengan lafaz “mukminah” (yang beriman). Oleh karena itu, tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan orang beriman. Ketiga lafaz “diyatun” (denda). Lafaz ini diqayyidkan dengan lafaz “Sallamatu” (yang diserahkan). Dengan demikian, denda itu harus diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh.

Lafaz dari segi bentuk formula taklif

Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum syari itu adalah khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik dalam bentuk tuntutan, pilihan dan pengkondisian. Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang di tuntut; dalam hal ini adalah mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau amar, sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau nahi.
Amar
Lafaz amar adalah lafaz yang dikehendaki dengan dia supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan.contohnya:

Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat; (Qs: al-Baqarah: 43)
Kata “aqimu” (dirikanlah) dalam ayat diatas adalah bentuk amar. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz amar itu diciptakan untuk memberi pengertian wajib. Selama lafaz itu tetap dalam kemutlaqannya ia selalu menunjukkan kepada arti yang hakiki yakni wajib, yang memang diciptakan untuknya dan tidak dialihkan kepada arti lain.
Nahi
Nahi adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menuntut agar meninggalkan suatu perbuatan. Contohnya:

Artinya: Janganlah kamu merusak dimuka bumi ini; (Qs;al-Baqarah: 11)
Lafaz “la tufsidu” pada ayat di atas merupakan lafaz nahi yang berarti larangan untuk merusak. Dalam hal ini, para ulama ulama berlainan pendapat tentang arti yang ditunjuk oleh lafaz nahi, antara lain sebagai berikut:
Jumhur ulama
الاصل فى النهي للتحريم
Artinya: Menurut aslinya larangan itu berarti mengharamkan
Alasan yang mereka kemukakan ialah:
Akal yang sejahtera tentu dapat menerima secara pasti tentang keharusan meninggalkan suatu perbuatan yang terkandung lafaz nahi itu, bila tidak ada qarinah yang mengalihkan kepada arti lain
Para ulama salaf pada menggunakan lafaz nahi yang tidak mempunyai qarinah untuk mengharamkan sesuatu.
Sebagian ulama berpendapat bahwa:
الاصل فى النهي للكراهة
Artinya: menurut aslinya larangan itu memakruhkan
Sebab sesuatu yang dilarang itu adakalanya haram mengerjakannya adakalanya hanya makruh saja. Akan tetapi, diantara keduanya yang sudah diyakini ialah yang makruh. Karena orang yang melarang sesuatu perbuatan dilakukan, paling minim ia tidak menyukai perbuatan itu. Tidak menyukai bukan berarti mengharamkan.
Menurut jumhur dan pendapat yang rajih bahwa lafaz nahi itu menurut lughawi menunjukkan keharaman. Oleh karena itu haruslah difahami demikian, apabila lafaz nahi tersebut dituturkan secara mutlak tanpa ada qarinah. Akan tetapi, apabila didapatkan qarinah yang mengalihkannya dari arti yang asli maka hendaklah diartikan menurut petunjuk qarinah tersebut. Contohnya hadis nabi Saw yang artinya “Janganlah kamu bersembahyang di kandang unta”.
Larangan bersembahyang dikandang unta bukan haram tetatpi hanya makruh saja. Yang demikian itu diketahui dengan adanya qarinah bahwa hikmah dilarangnya bersembahyang ia akan ketakutan dan terus lari. Larinya unta dan dalam keadaan seseorang tengah melekukan sembahyanh menyebabkan ketidaktenangan bersembahyang, bahkan menyebabkan putusnya sembahyang karena mengejar unta yang sedang lari itu.

Kesimpulan

Teks al-Quran dan Sunnah merupakan sumber dari dalil pokok hukum Islam dan keduanya itu berbahasa Arab, karena Nabi yang menerima dan menjelaskan al-Quran itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena setiap usaha untuk memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber hukum tersebut sangat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arab, dan dalam hal ini memahami metode istimbath lughawi adalah salah satu ilmu yang sangat penting untuk bisa mengistimbathkan hukum dari kedua sumber hukum tersebut.
Metode istimbath hukum lughawi adalah sebuah metode istimbath yang pada dasarnya bertumpu pada kaedah-kaedah kebahasaan yang didalamnya dibahas antara lain Lafaz dari segi tingkat kejelasan teks nash, Lafaz dari segi penunjukan makna (al-dalalah), Lafaz dari segi luas dan sempitnya cakupan makna, dan Lafaz dari segi bentuk formula taklif.
Dalam metode istimbath hukum lughawi yang kental akan dominasi teks yang sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas alat pembenaran atas teks yang dipahami atau di interpretasikan, namun jika hanya menggunakan metode istimbath hukum lughawi ini tidak lah cukup untuk memecahkan problema-problema yang terjadi di masyarakat di zaman sekarang ini, karena terkadang tidak kita dapatkan teks al-Quran atau Sunnah yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi zaman sekarang ini, oleh karena itu diperlukan juga metode istimbath hukum yang lain untuk bisa menyelesaikan problematika umat agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam masyarakat.
Demikian lah makalah ini penulis sampaikan, tentunya masih banyak kekurangan sehingga menuntut penyempurnaan. Untuk itu penulis membuka diri untuk kritik dan saran perbaikan dari Dosen Pengasuh Mata Kuliah dan teman-teman seperjuangan. Akhirul kalam penulis haturkan terima kasih. Wassalam

Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenamedia Group, 2014.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr, 1958.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Firdaus, Ushul Fiqh, Jakarta: Zikrul, 2004.
Hasbi ash Shiddiqiy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Mukhsin Nyak Umar, Ushul Fiqh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008.
Mukhtar Yahya dan Facturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.

Sort:  

Congratulations @cutulfatun! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Do not miss the last post from @steemitboard:

3 years on Steem - The distribution of commemorative badges has begun!
Happy Birthday! The Steem blockchain is running for 3 years.
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!