Keteguhan Belajar dan Mengajar
.
Kita umat yang hidup di akhir zaman, para Nabi, Sahabat, dan Tabi'in mereka semua sudah tidak ada, sudah mendahulu kita . Maka Nabi berpesan :
- Berpegang teguh lah kamu pada al- quran dan sunnah ku
- Ikutilah ulama sebagai warisanku
Ulama termasuk dalam katagori pilihan Nabi yang diperintah kan ummat untuk mengikutinya.
Maka dalam hal tersebut mari kita simak sedikit bagaimana kecerdasan, keteguhan dan kesabaran seorang ulama yaitu Imam Al Buwaithi yang menjadi panutan bagi kita ummat.
Imam Al Buwaithi adalah salah seorang murid kesayangan Imam Syafi'i yang sangat memuncak ilmunya sehingga banyak pendapat- pendapat termasyhur yang imam Syafi'i sendiri menyutujui nya.
Nama asli Nya adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al Buwaithi. Lahir di mesir dan wafat di penjara Baghdad pada tahun 231 H.
Imam Syafi’i pernah berkata tentang Al Buwaithi, “Tidak ada seorangpun diantara muridku yang lebih berilmu dari Al Buwaithi”. Bahkan beliau mempercayakan fatwa kepada Al Buwaithi. Dia selalu mempersilahkan Al Buwaithi menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan di dalam majelis beliau.
Di dalam Al-Intiqoo Ibnu Abdil Baar meriwayatkan dari Muhammad bin Fazaarah Ar-Raazi bahwa dia berkata: “Aku pernah mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya aku telah banyak menulis hadits, maka sudah seharusnya aku menulis pandangan-pandangan ulama. Imam Ahmad menjawab, “Jangan lakukan itu. Aku lalu menimpali, “Aku harus menulis pandangan Al Auza’i, As Tsaury atau Malik. Imam Ahmad menjawab, “Bila memang harus maka tulislah pendapat As syafi’i. Temuilah Al Buwaithi, dengarkan darinya, bila engkau tidak mendapatinya maka temuilah Abul Walid bin Abil Jaruud di Makkah. Meski beliau Imam Ahmad bin Hambal telah mencapai derajat mujtahid muthlak, beliau tetap menyuruh Ibnu Abdil Baar menulis pendapat Imam Syafi'i yang difatwakan Imam Al Buwaithi dan juga beliau selalu tetap menjadikan ushul Imam Syafi’i sebagai acuan dalam melakukan istimbath.
Seperti ulama pada umumnya, Al-Buwaithy juga mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, jalanan yang menyambungkan antara mesir dan baghdad menjadi saksi keteguhannya.
Tepat pada tahun 218 H terjadi fitnah besar sebagai akibat doktrin mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah Makhluk.
Para ulama dan hakim dimasa itu dipaksa mengakui doktrin tersebut. Siapa yang menolak akan dicopot dari jabatannya dan wajib menerima hukuman. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah memilih teguh diatas pendirian mereka, sehingganya tak sedikit yang mati tersiksa dalam penjara. Salah satu diantaranya adalah Al-Buwaithi.
Kisah itu bermula saat orang-orang yang sebelumnya telah menaruh kebencian kepadanya mengirimkan surat kepada Ibnu Abi Du’ad al Mu’tazily mentri Al Watsiq Billah yang isinya berupa pengaduan bahwa Al-Buwaithi tidak mau mengakui kalau Al-Quran adalah Makhluk Allah. Al Watsiq kemudian mengirimkan surat perintah kepada gubernur Mesir agar memaksanya mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Tetepi dengan tegas Al-Buwaithi menolak. Sang gubernur yang khawatir akan keselamatan Al-Buwaithi menawarkan opsi, “Katakan antara aku dan engkau saja, perlihatkan dihadapanku sesuatu yang mengesankan bahwa Al-Quran adalah makhluk Allah, adapun didepan khalayak engkau bebas mengatakan apa saja semaumu.
Namun sekali lagi Al-Buwaithi menolak, dengan tegas ia mengatakan:
“Di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku. Tidak demi Allah, azab dunia jauh lebih ringan ketimbang azab diakhirat. Dan ridho Allah merupakan sesuatu yang harus dicari.
Tidak demi Allah… Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam.
Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah..)
Al-Quran adalah Kalamullah (firman Allah…).”
Akhirnya Al-Buwaithi dipaksa pergi meninggalkan Mesir menuju Baghdad. Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Muradi mengatakan, “Al-Buwaithi terus menerus menggerakkan kedua bibirnya untuk mengingat Allah. Aku tidak pernah melihat orang yang kuat dalam berhujjah dengan kitabullah seperti Al-Buwaithi. Aku melihatnya diatas keledai digantungi besi seberat 40 ritel. Lehernya dikalungi rantai besi, kakinya diikat. Antara kalung besi di leher dan rantai besi di kaki dihubungkan dengan rantai besi yang berat. Dalam kondisi itu dia berkata, “Allah telah mencipkan makhluknya dengan kata “Kun”. Apabila (firman Allah ”kun”) itu adalah makhluk, itu berarti mahkluk diciptakan dengan makhluk”. Bila aku masuk menemuinya (Al-Watsiq) aku pasti akan mengatakan kebenaran padanya. Aku lebih memilih mati dalam kondisi terikat dengan rantai-rantai besi ini, agar suatu hari nanti, orang-orang itu mengerti bahwa telah mati dalam mempertahankan keyakinan ini seseorang yang terbelenggu dalam ikatan-ikatan besi.”
Al-Buwaithi mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, maka dia telah kafir.”
Memang doktrin Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk merupakan doktrin yang sangat jelas menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Ahlus Sunnah meyakini bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, darinya bermula dan kepada-Nya berakhir.
Hal ini sebagaimana yang Allah kabarkan sendiri dalam Al-Quran.
Alkalam merupakan salah satu diantara sifat-sifat Allah. Bila kita mengatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk, maka berarti dia akan sirna, sebab makhluk memiliki sifat fana atau tidak kekal. Sementara sifat Allah abadi sebagaimana Dzat-Nya yang abadi untuk selama-lamanya.
Kisah Imam Al Buwaithi di atas mengandung pelajaran penting tentang arti keteguhan dalam mempertahankan prinsip.
Imam Al Buwaithi seolah mengajari kita bahwa seorang da’i atau ulama tidak boleh dibeli apalagi mau diajak untuk kompromi dalam kebatilan. Dia mengajari kita untuk tetap teguh diatas kebenaran sekalipun dihadapkan pada kenyataan pahit.
Kisah ini juga mengingatkan kita akan keteguhan Imam Ahmad. Keduanya, baik Imam Ahmad maupun Imam Al Buwaithi memahami betapa mereka harus berjuang melawan rasa sakit, dan mungkin saja kematian dalam kondisi seperti itu.
Di jalan dakwah ini, banyak yang mundur ketika pertaruhannya adalah hidup atau mati. Tapi orang-orang besar memilih untuk terus berkarya, memberi dan berbagi untuk orang banyak baik dengan ilmu, arahan, atau bahkan dengan kematian itu sendiri. Semua demi balasan yang lebih terhormat di akhirat kelak.
Itulah arti keteguhan yang dapat kita terjemahkan dari rantai besi yang membelenggu Al-Buwaithi dalam proses mengajar dan belajar kita.
Dan ada juga diantara karya Imam Al Buwaithi adalah buku Mukhtashar Al Buwaithi (1 jilid), diterbitkan Darr Al Minhaj. Untuk pertama kalinya buku ini dicetak dengan mengacu pada tiga manuskrip langka. Pentahkikan buku ini dimulai sejak tahun 1980 oleh Prof. Dr. Ali Muhyiddin Al Qardhaghi dan baru bisa diterbitkan tahun ini.
Buku ini merupakan ringkasan “Kitab Al Umm” karya imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Al Buwaithi tidak hanya sekedar meringkas, beliau menambahkan beberapa hasil ijtihadnya terhadap sejumlah masaalah yang terkadang menyelisihi ijtihad Imam Syafi’i.
Buku ini menjadi salah satu rujukan utama para imam baik dari kalangan Syafi’iyah seperti Al Juwainy, As Syairazy, Al Ghazaly, Al Mawardy, Ar Rofi’i, An Nawawi dan ulama lainnya dari madzhab yang berbeda.
Demikian lah pembahasan singkat semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca, kita sebagai umat akhir zaman yang meyakini bahwa ulama warisan Nabi wajib menirunya dan mengikutinya. Mudah- Mudahan ALLAH memberkati kita semua. Amin..!!
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://abulfayruz.blogspot.com/2015/01/belajar-dari-al-buwaithy.html
😄
😀😍😍
😇😇😇😇😇
😍😍😘