PEMANFAATAN HARTA WAKAF MENURUT SYAFI’IYAH

in #life6 years ago


source image

Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Perwakafan adalah salah satu lembaga keagamaan yang telah berakar lama dalam tradisi masyarakat umat Islam. Di Indonesia perwakafan telah menjadi penunjang utama dalam pembangunan masyarakat, khususnya Umat Islam. Hampir setiap rumah ibadah, sarana pendidikan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.
Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf). Hal pokok yang menjadi permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan harta wakaf adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak dilanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila kemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf, penyelesaiannya mengalami kesulitan, khususnya tentang hal kepemilikan.
Maka untuk itu penulis dalam makalah kecil ini ingin membahas tentang ilmu pemanfaatan harta wakaf menurut Syafi’iyah. Hal ini penting dilakukan demi untuk memberikan suatu informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas, karena mereka mesti memahami ilmu ini selanjutnya mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

B. PEMBAHASAN

  1. Wakaf dan Problematika
    1.1. Pengertian dan Hukum Wakaf
    Wakaf adalah mendayagunakan harta untuk diambil manfaatnya dengan mempertahankan dzatnya benda tersebut dan memutus hak wakif untuk mendayagunakan harta tersebut. Menurut Muhammad Khatib Syarbaini memberikan pengertian wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya berserta kekal zatnya dan dipergunakan pada bukan untuk tujuan maksiat.
    Jumhur ulama Syafi’iyah mengemukakan definisi tentang wakaf dengan takrif:

حبس المال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره على مصرف مباح موجود

Artinya:”menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tanpa menghilangkan zatnya, baik dijaga oleh siwakif atau orang lain, dan dipergunakan bagi tempat yang dibolehkan oleh syara’”.

Berdasarkan definisi ini, terlihat bahwa ulama Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wakaf itu harus memenuhi tiga unsur, yaitu benda yang diwakafkan mendatangkan manfaat, modalnya harus tetap ada serta penggunaannya harus jelas atau tidak digunakan terhadap hal-hal yang dilarang oleh agama.
Menurut Imam al-Syafi’i, harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya seperti yang dibolehkan Imam Maliki. Maka disyaratkan pula benda yang diwakafkan itu tahan lama, tidak cepat habisnya, seperti makanan.
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang wakaf. Salah satunya adalah :
عن ابي هريرة إذا مات ابن أدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية ، أَو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له(رواه مسلم)
Artinya:”dari Abi Hurairah r.a. sesunggunya Rasulullah Saw berkata: jika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal dari dirinya kecuali tiga, yaitu sadakah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kepadanya (kepada orang tuanya)”.( H.R. Muslim). زززز

Hadits di atas secara umum menjelaskan tentang dorongan untuk menafkahkan harta demi kemashlahatan umat. Secara agak spesifik, hadits tersebut menjelaskan pentingnya menafkahkan harta itu dan kaitannya dengan imbalan pahala yang secara terus menerus akan diterima oleh orang yang menafkahkannya, sekalipun dia telah meninggal dunia. ززز
Selain dasar dari al-Quran dan Hadist di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariyah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
1.2. Rukun-rukun Wakaf
Secara etimologi syarat diartikan sebagai ‘Alamah (tanda). Sedangkan menurut terminologi adalah sesuatu yang dikaitkan (dinisbahkan) hukum kepadanya, untuk terwujudnya hukum itu terlebih dahulu harus memenuhi sesuatu (syarat) tersebut dan tidak pasti dengan terwujudnya sesuatu (syarat) itu menyebabkan terwujud atau tidaknya suatu hukum. Dengan kata lain syarat adalah menyangkutkan sesuatu dengan yang lain artinya apabila terwujud yang pertama baru diperdapatkan yang kedua, dan tidak musti dengan terwujud yang pertama harus terwujud yang kedua. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat dalam bab wakaf ini adalah segala sesuatu hal yang wajib (tidak boleh tidak) dalam wakaf. Sehingga termasuk dalam pengertian syarat adalah rukun-rukun wakaf juga. Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf menurut fiqh ada 4 (empat) macam, yaitu (1) waqif (orang yang mewakafkan), (2) Mauquf‘alaih (pihak yang diserahi wakaf), (3) Mauquf (harta yang diwakafkan), (4) Shighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan).

  1. Waqif (orang yang mewakafkan)
    Wakif adalah pihak yang mewakafkan. Wakif harus mempunyai kecakapan hukum atau kamalul ahliyah dalam membelanjakan hartanya (tasharruf al-mal). Kecakapan tersebut meliputi 4 kriteria,yaitu: Merdeka, Berakal sehat, Dewasa (baligh), tidak dibawah pengampuan (mahjur ‘alaihi). Al-Nawawi mengungkapkan bahwa syarat orang yang berwakaf itu adalah orang yang perkataannya dapat dipertanggungjawabkan dan mempunyai kecakapan memberikan tabarru’ (sumbangan).
  2. Mauquf‘alaih (orang yang diberi amanat wakaf) Mauquf‘alaih dalam literatur fiqh kadang diartikan orang yang diserahi mengelola harta wakaf, yang sering disebut nadzir, kadang juga diartikan peruntukan harta wakaf. Bila diartikan mauquf‘alaih sebagai nadzir, dalam literatur fiqh kurang mendapat porsi pembahasan yang detail oleh para ahli fiqh yang terpenting adalah keberadaan mauquf‘alaih mampu mewujudkan peruntukan benda wakaf (makna lain dari mauquf‘alaih). Bagi orang yang menerima wakaf ini disyaratkan hal-hal berikut ini:
    a. Hendaknya orang yang diwakafi tersebut ada ketika wakaf terjadi.
    b. Hendaknya orang yang menerima wakaf itu mempunyai kelayakan untuk memiliki.
    c. Hendaknya tidak merupakan maksiat kepada Allah, seperti tempat pelacuran, perjudian, tempat-tempat minuman keras, dan para perampok,dan lain-lain.
    d. Hendaknya jelas orangnya dan bukan tidak diketahui. Jadi, kalau seseorang mewakafkan kepada seorang laki-laki tau perempuan (tanpa disebutkan secara jelas siapa orangnya) , batallah wakafnya.
  3. Mauquf (Harta Benda Wakaf)
    Perbincangan fiqh mengenai benda wakaf, bertolak pada, pertama, jenis harta, apakah benda bergerak atau tidak bergerak, atau bisa keduanya. Madzhab Syafi’iyah tergolong konservatif dengan hanya membolehkan harta tak bergerak sebagai objek wakaf.
    Keterkaitan antara status kepemilikan wakif terhadap benda wakaf setelah diwakafkan berimplikasi pada kewenangan atas perlakuan wakif terhadap benda wakaf tersebut yang oleh hadits riwayat umar memuat tiga tindakan yaitu dijual, dihibahkan dan diwariskan. Terhadap hal tersebut Syafi’iyah menyatakan putusnya kepemilikan harta wakaf dengan wakif sehingga wakif terputus haknya terhadap harta wakaf.
  4. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif)

Shighat adalah pernyataan penyerahan harta benda wakaf oleh wakif.

  1. Macam-macam Wakaf

         Mengenai hal wakaf di dalam Islam dikenal ada dua macam pelaksanaan wakaf, kedua macam tersebut sering dilakukan dalam praktek pelaksanaan kegiatan perwakafan di kalangan masyarakat Islam, baik pada masa Rasulullah maupun pada masa sesudahnya hingga sampai saat ini. 
    

2.1. Wakaf Ahli
Wakaf ahli yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga si wakif atau bukan. Wakaf ahli juga sering disebut wakaf dzurri atau wakaf ‘alal aulad yakni wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga atau lingkungan kerabat sendiri. Wakaf ahli dalam kebanyakan kitab fiqh syafi’iyah disebutkan dengan wakaf yang dikhususkan untuk keluarganya, misalnya “aku wakafkan harta ini untuk anak-anakku”.

2.2. Wakaf Khoiri
Wakaf khoiri yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan keagamaan atau kemasyarakatan (kepentingan umum). Wakaf ini ditujukan untuk kepentingan umum dengan tidak terbatas pada aspek penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk keagamaan, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain, yang dapat berwujud seperti pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan sarana sosial lainnya.

  1. Tujuan Wakaf

    Dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebajikan, kebaikan yang mengantarkan seorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya, baik tujuan umum maupun khusus.
    3.1. Tujuan.Umum
    Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa Allah telah mewajibkan para hamba-Nya untuk saling bekerja sama, bahu-membahu, saling kasih-sayang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menggambarkan keadaan sesama muslim dalam kecintaan dan kesayangan diantara mereka dengan gambaran satu tubuh, jika salah satu organ tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh lainnya akan menggigil dan kesakitan akibat panas dan meriang. (HR. Muslim). Abu Zahrah mengatakan wakaf, dimana dengannya menjadi lestari harta-benda berdasarkan hukum Allah dan tersalurkan hasil/manfaatnya untuk kemaslahatan umum, adalah satu jenis dari shadaqah jariyah setelah orang yang bershadaqah itu wafat, kebaikannya terasakan oleh semua orang, dan berlipat-gandalah pahalanya, serta terselesaikan berbagai kebutuhan fakir-miskin, pengembangan berbagai sarana sosial, semisal rumah sakit, sarana layanan kesehatan, menyantuni ibnu sabil, penanganan pengungsi, anak yatim, menanggulangi bencana kelaparan, gizi buruk. Maka, jadilah wakaf sebagai sebab bangkitnya masyarakat dan bukan kehancuran.
    3.2. Tujuan.Khusus
    Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu pengkaderan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain. Sebab, manusia menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor maksud-maksud syariat Islam.
    Atas dasar keinginan untuk menggapai tujuan-tujuan wakaf inilah, sekaligus mengikuti ketentuan dan hukum Allah ta’ala, maka tujuan-tujuan wakaf tersebut telah memotivasi kita untuk bergegas melakukan berbagai amal kebaikan, bershadaqah untuk berbagai sarana umum. Dan ini masuk dalam koridor tujuan-tujuan syariat secara global.
    Ketika berbicara tentang wakaf, kita harus mengarahkan segala kemampuan dan potensi kita untuk mengembangkan institusi pengelola wakaf dalam segala sisi kehidupan. Dan dunia Barat telah mengambil manfaat yang besar dalam model wakaf Islam secara kelembagaan, dalam berbagai sisi kehidupan mereka, khususnya aspek pendidikan dan penelitian. Maka, mayoritas lembaga ilmiah dan pendidikan tinggi mereka memiliki harta wakaf untuk menjamin kontinuitas lembaga tersebut dan karena besarnya dukungan pemerintah terhadap hal ini. Dalam kontek kekinian harta wakaf tidak hanya berbentuk benda, namun sudah istilah baru yang dinamakan dengan harta wakaf produktif dan wakaf tunai dalam bentuk uang. Namun hal ini menurut perspektif fiqh Syafi’iyah tidak dikenal, dan belum ada ditemukan pembahasan dalam literatur fiqh Syafi’iyah, sehingga oleh fuqaha Syafi’iyah lebih condrong memfatwakan bahwa zakat uang tidak diwajibkan.
    C. PENUTUP
    Berdasarkan dari uraian diatas, dapatlah diambil kesimpulan yang dipandang perlu sebagai berikut:

  2. Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah, dengan cara menyedekahkan secara ikhlas harta benda milik pewakif kepada seseorang atau nazhir untuk diambil dan dimanfaatkan dengan cara menahan zatnya (dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan).

  3. Pengantian dan penjualan harta benda wakaf pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali harta benda wakaf tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi. Namun hal ini masih terjadi khilafiyah dalam fiqh mazhab Syafi’iyah

  4. Bila dalam mengelola harta wakaf masih ditemukannya hambatan-hambatan, kurangnya sosiolisasi, Maka hal ini dapat menyebabkan sengketa tanah wakaf, misalnya penjualan, gugatan tanah wakaf oleh ahli waris si pewakif.

Sort:  

sangat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan bagi kami tentang harta wakaf 👍👍

Congratulations @yusfriadi: this post has been upvoted by @minnowhelpme!!
This is a free upvote bot, part of the project called @steemrepo , made for you by the witness @yanosh01.
Thanks for being here!!

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.12
JST 0.029
BTC 61657.19
ETH 3452.67
USDT 1.00
SBD 2.52