Jepara Kota Bersahaja, dengan Karya Mengguncang Eropa
Tenang penuh kesederhanaan dalam aroma kayu jadi hasil olahan dari berbagai home industri mabel yang berjejer sepanjang jalan desa Tegal Sambi adalah kesan awal yang mendalam ketika kami baru menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota Jepara yang terkenal dengan kota ukir ini. Jauh dari jalur pantura kepesisir barat Profinsi Jawa Tengah secara giografis, menjadikan kota Jepara agak terisolir dan relatif jauh dari jalur bisnis pada umunya.
Mas Hidayat sudah menunggu tepat didepan usaha mebel mustika asri jepara milik keluarga besarnya, atau lebih tepat lagi disebutkan dengan milik keluarga istri dari pak hidayat, setelah singgah sebentar sambil menikmati aqua gelas yang disuguhkan kami pun diantar kerumah yang akan akami tempati nantinya, saya akan singgah disini selama beberapa waktu kedepan.
Rumah sederhana dengan tiga kamar milik pak Hidayat ini rupanya sudah dipersiapkan untuk kami tempati, saya diberikan kamar dengan tilam besar dan satu lemari dua pintu buatan olimpic yang kelihatan masih baru. Hal yang paling menarik dari rumah mungil ini adalah karena terletak persis didepan surau desa Tegal Sambi, ya hanya berselang dengan jalan desa, sehingga setiap tiba waktu shalat suara azan selalu terdengar nyaring masuk ke rumah kami, bahkan di waktu subuh seklipun, Barang kali ini lah yang menjadi hal yang paling menguntungkan dalam perjalanan ini, bisa sekaligus menjadi ajang wisata dan refleksi spiritual. Paling tidak dengan niat memperbaiki kualitas shalat fardu berjamaah yang selama di kampung sering ter lalaikan. Semoga saja sekembali dari Jepara ini aku bisa disiplin shalat fardu berjamaah nya. Insyaallah..
Setiap kesurau untuk shalat berjamaah aku selalu melihat antusiasme dari para penduduk desa untuk menunaikan shalat berjamaah dengan jumlah yang lumayan banyak walupun kalau dikalkulasikan tentu masih banyak juga yang masih memilih untuk tinggal atau shalat dirumah, tapi itu ya urusan mereka lah.. Namun ada hal yang mengganjal pikiran ku setiap berjamaah disurau itu, bukan karena imamnya yang terlalu cepat dalam memimpin shalat, kalo soal itu walaupun aku sering kelabakan dan tertinggal rakaat karena bacaan alfatihah yang belum habis, namun yang lebih merisaukan lagi karena barisan jamaah perempuan berdiri bersebelahan dengan jamaah laki-laki walaupun dibatasi dengan tirai kain, kareana setau aku dibilang oleh tengku dikampung saat membaca kitab bajuri dulu bahwa shaf jamaah perempuan itu tempatnya dibelakang shaf laki-laki, tidak boleh disampingnya. Tapi ya aku pun tidak cukup ilmu untuk meluruskan persoalan ini. Walaupun pernah kutanyakan kepakhidayat pada suatu malam, pak sejak kapan disini kalo jamaah perempuan shafnya disamping jamaah laki-laki, ya sudah dari dulu-dulu begitu jawab pak hidayat pelan dengan intonasi dan dialeg jawanya yang kental, Ooo dan diskusi pun berakhir.
Bumi Kartini
Melewati jalan diponogoro lalu berbelok kejalan wolter monginsidi disudut sebelah kanan alun-alun kota jepara, kita akan mejumpai bangunan dengan asitektur khas, arealnya tidak begitu luas karena terletak di pusat kota dalam kawasan perkantoran utama, berdiri nya bangunan dalam kawasan tersebut menenjukkan arti penting kekberadaannya tempo doelo, ya Masium Kartini, di bangun dengan bentuk sederhana namun apik, dengan gerbang yang dihiasi ornamen khas jepara.
Raden Ajeng Kartini adalah wanita yang berasal dari kalangan priyayi atau bangsawan jawa, wanita ini memiliki tempat yang istimewa dihati masyarakat Jepara, hal ini terlihat dengan banyaknya tempat-tempat penting di Jepara yang ditambalkan nama Kartini, seperti Jalan Kartini, Pantai Kartini dan juga Stadion Glora Bumi Kartini. konon kabarnya RA Kartini memiliki andil besar dalam membina dan mempromosikan para empu (pengrajin/pengukir kayu), kartinilah yang pada mulanya memperkenalkan kemampuan para ahli ukir Jepara kepada pembesar kerajaan Belanda waktu itu, peran ini tentu bisa dilakukan dengan baik oleh RA Kartini mengingat posisinya sebagai istri dari Bupati Rembang K.R.M Adipati Ari Singgih kala itu. nah berawal dari sanalah kemudian jepara terus berkembang dengan kerajinan kayunya dan mahsyur sampai keseantero nusantara bahkan sampai kemancanegara, sangking terkenalnya tidak jarang para orang tua di Lhokseumawe sekalipun menyebut setiap kursi berukir dengan sebutan kursi jepara hehehehe.
sunset dipantai kartini
Berburu kepadang datar dapat rusa belang kakinya, berguru kepalang ajar habis waktu gak dapat ilmunya hehehe,.. Jepara kotanya para empu ukir, berkunjung kesini tampa sempat mempelajari teknik mengukir dari para ahlinya adalah kerugian yang sangat besar para sahabat steemian sekalian..oleh sebab waktu dan kesempatan tersebut juga kita mamfaatkan untuk berguru langsung pada mabah Jumadi.
Sahabat Steemian semuanya, banyak sekali cerita menarik lainnya yang masih ingin dibagi pada traveling kali ini, namun untuk edisi ini kita cukupkan sampai disini aja dulu, pada edisi berikutnya nanti kita sambung kembali dengan kisah dari sudut negeri yang lain, semoga bermamfaat dan mohon bantuan di upvote ya.. hehehehe
Menarik sangat ceritanya, baru tau sekarang kenapa orang menyebutnya untuk tempat tidur, kursi dll dengan Jepara.
Terimakasih infonya!
Ya @rahmad.abubakar nanti isikamar pengantennya bisa pesan langsung di jepara ya hehehe