Kenangan di Puncak Candi Ijo
ANGIN berembus pelan, membawa aroma rumput dan tanah basah. Dari kejauhan, suara gamelan samar-samar terdengar dari desa di bawah sana — entah nyata atau hanya gema dari imajinasi yang terbuai suasana senja. Di tempat ini, waktu tak berjalan terburu-buru. Ia melambat, memberi ruang bagi jiwa untuk diam, merenung, dan mengingat bahwa manusia hanyalah sebutir debu di antara sejarah yang panjang.
LANGIT sore Yogyakarta membentang biru muda dengan guratan awan tipis yang menari lembut. Di puncak bukit, berdiri megah Candi Ijo, peninggalan masa silam yang seolah menyimpan rahasia dari ribuan tahun lalu. Batu-batu candi yang berwarna keabu-abuan itu terasa hangat disentuh cahaya matahari yang mulai condong ke barat. Letaknya di atas kawasan perbukitan yang jauh dari pemukiman masyarakat. Tepatnya di di Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saya berdiri di tangga batu candi yang menurut catatan sejarah didirikan pada masa Kerajaan Mataram Kuno, di bawah pemerintahan Raja Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi. Pembangunan diperkirakan berlangsung antara abad ke-9 hingga ke-11 Masehi.
Saya seakan menyapa waktu yang terhenti di antara masa lalu dan masa kini. Dengan latar dinding-dinding batu kokoh yang bercerita tentang peradaban yang penuh kearifan. Ukiran-ukiran halus di pintu masuk menggambarkan kisah spiritual yang telah melewati generasi demi generasi.


