Paradoks Aceh dalam ‘Cacat Bawaan’ Demokrasi Kita

in #nesw7 years ago

SECARA universal, sistem demokrasi yang merupakan antitesa dari sistem monarkhi dan otokrasi, menempatkan rakyat sebagai pemilik dan pemegang kedaulatan tertinggi secara sah dan absolut.

image

Maka, di mana pun demokrasi itu berlangsung, rakyat niscaya harus menjadi pemilik absolut kekuasaan dan kedaulatan tertingginya, yang kemudian harus berlaku dengan nyata dalam sistem tata kelola sebuah Negara dan pemerintahannya.
Jadi, meskipun penafsiran dan penjabaran operasional sistem demokrasi ini, memiliki rentangan model representasi rakyat yang cukup luas dan berbeda-beda antar negara-negara, namun kedaulatan niscaya harus terjaga untuk tetap berada di tangan rakyat.
Negara Indonesia dengan falsafah ideologi Pancasila, juga telah memilih demokrasi menjadi sistem bernegara dan tata kelola pemerintahannya. Namun dalam jabaran operasional prosedural menyangkut tata kehidupan bernegara, yang lahir dari rahim logika pemikiran demokrasi bangsa Indonesia yang kini berlaku dan barlangsung, di Indonesia, termasuk Aceh, tampaknya gagal menjaga kedaulatan, untuk niscaya tetap berada di tangan rakyat.
Sebagai bukti kegagalan itu, cermatilah kehidupan bernegara kita selama ini seperti dalam kasus berikut ini. Ketika penetapan orang-orang terpilih pada Pilkada dan Pileg telah usai, maka sosok-sosok kandidat yang terpilih sebagai kepala daerah dan anggota parlemen itu, status sosialnya segera berubah menjadi orang-orang terhormat dengan segala privilege dan fasilitasnya, hasil rumusan bikinan mereka sendiri. Namun, privilege, protokoler atau keistimewaan itu justru membuat jarak yang memisah kepala daerah dan para anggota legislatif dari konstituennya. Seperti apa yang mereka rumuskan dalam Protap, Protokoler bagi Kepala Daerah, UU MD3 bagi anggota DPR-RI dan Peraturan Tatib di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sementara rakyat yang sebelum Pileg, Pilkada dan Pilpres yang berperan sebagai para pemilik suara yang berdaulat, tetapi pascapilpres, pileg dan
pilkada , tak lagi memiliki legal standing yang kuat untuk mengontrol dan mengendalikan mereka yang terpilih, menjadi penguasa, baik di legislatif maupun di eksekutif.
Itulah “cacat bawaan” demokrasi bersama segala konsekuensi dan derivasi akibatnya, yang berlangsung dalam kehidupan demokrasi kita, dari dulu hingga sekarang. Namun ketiadaan ruang “kuasa dan daulat rakyat” paska pemilu itu, sepertinya semua warga bangsa ini tidak memahami dan menyadarinya, kalau itu adalah “cacat bawaan” yang dilahirkan dari rahim logika pemikiran demokrasi kita.
Implikasi tragisnya, dalam demokrasi bercacat bawaan itu, rakyat Aceh tidak memiliki kekuasaan dan kedaulatan apapun lagi, untuk secara proaktif dapat melakukan sesuatu dengan tegas, pasti dan bersifat determinan dalam konteks mengantisipasi RAPBA 2018 yang tak kunjung disahkan oleh legislatif dan eksekutif. Di sinilah terlihat kedua belah pihak sepertinya sedang sama-sama bersandiwara di atas nasib buruk rakyat Aceh.
Pascapemilu itu, rakyat tidak lagi memiliki kuasa dan daulat, untuk fungsi-fungsi mengontrol, menilai dan mengkritisi apa pun yang dilakukan dan berlangsung dalam dialektika interaktif antara legislatif dan eksekutif. Di samping itu, rakyat juga tidak lagi dapat berperan sebagai saksi, untuk menilai siapa yang sesungguhnya yang menyimpang, tidak menjalankan amanah dan tidak berpihak pada kemaslahatan nyata dan kepentingan luas masyarakat.
Ketiadaan forum kuasa dan daulat rakyat semacam itulah, yang menurut saya merupakan “cacat bawaan” demokrasi kita, di mana rakyat secara legal-formal tak lagi memiliki kekuasaan apa-apa, dan hanya menjadi penonton yang sekaligus korban belaka. Kecuali kalau rakyat mau berdemonstrasi, walau legislatif maupun eksekutif, bisa sama-sama bersikap tak peduli, atau bahkan mengelak untuk bertemu, tanpa rakyat memiliki legal standing yang memberi hak dan kuasa bagi rakyat untuk menghukum atau bahkan memecat (impeach) mereka.

Dalam situasi demokrasi yang “cacat bawaan” inilah, saya tertarik untuk coba menelusuri karakteristik wujud eksistensial masyarakat Aceh, khususnya mereka yang telah terpilih, yang oleh banyak orang luar (outsiders) dinilai unik, aneh dan banyak anomalinya. Dan penilaian keunik-anehan ini, tampak diterima dengan baik dan senang hati oleh umumnya masyarakat Aceh sendiri. Pesona keunikan masyarakat Aceh ini saya namakan The Absurd Mysticism Society. Uraian substansial keunikannya dapat lebih lanjut dibaca dalam sebuah artikel panjang, yang menjadi isi sebuah buku kumpulan tulisan, yang diterbitkan oleh Koalisi NGO HAM pada 1999.
Pada kesempatan ini, fenomena belum disahkannya RAPBA menarik untuk coba disorot, dicermati dan dipetakan letak sejumlah karakter aneh, unik dan anomalik yang terdapat dan berlangsung dalam ruang interaksi dinamis dan dialektis antara legislatif dan eksekutif.
Untuk itu, pertanyaan-pertanyaannya adalah: Mengapa legislatif dan eksekutif hingga saat ini tak kunjung mengesahkan RAPBA 2018, walau perencanaan alokasi anggaran yang mereka bahas sama-sama bertujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat, mengapa malah terancam dipergubkan? Kalau benar sama-sama mengaku berjuang untuk kepentingan rakyat, mengapa juga tidak bisa bersepakat? Apakah rakyat yang diperjuangkan berbeda-beda, atau masing-masing hanya memperjuangkan rakyat di dapilnya sendiri-sendiri?
Dengan fakta objektif fenomenal itu, terlihat aneh dan uniknya para elite eksekutif dan legislatif Aceh. Maka benarkah ketidaksepakatan mereka saat sama-sama berjuang untuk kepentingan rakyat? Anomalinya, jika legislatif dan eksekutif sama-sama mengakui membela kepentingan rakyat, tetapi mengapa bisa gagal bersepakat untuk memperjuangkan rakyat yang mereka bela? Inilah anomali utama dan sekaligus keanehannya.
Selain itu, legislatif dan eksekutif adalah dua pilar demokrasi yang sejajar yang merupakan mitra kerja, mengapa tampak satu sama lain seperti saling berantam dalam membahas RAPBA, setelah mereka terpilih dan mengklaim diri terhormat, seiring lenyapnya kuasa dan daulat rakyat? Di manakah letak kehormatan itu, saat mereka menelantarkan rakyat yang mereka wakili dan perjuangkan itu?
Di pihak rakyat, yang juga termasuk aneh, mengapa umumnya masyarakat justru lebih banyak diam, cuek dan bahkan tahu pun tidak, tentang isi dan alokasi anggaran yang telah direncanakan dalam RAPBA 2018 yang tak kunjung disahkan itu? Anehnya lagi, walau ada segelintir warga yang berbincang mencurigai dan menduga-duga, soal adanya perseteruan ekstrem antar dua kepentingan, eksekutif dan legislatif, tetapi rakyat tak pernah mau dan berdaya untuk membuktikannya.
Selain itu, rakyat yang telah dicabut daulat dan kuasanya pun, sekedar menjadi penonton yang menertawai sesuatu yang mereka tau bahwa mereka sedang menonton parodi kepalsuan yang sedang ditarikan oleh “orang-orang terhormat” yang sudah mereka pilih. Dan rakyat pun menikmati sekali, tarian dan permainan politik nonsense yang sepertinya omong kosong itu.
Dan, jika rencana RAPBA dipergubkan, akhirnya benar terjadi, maka pertanyaan-pertanyaan anomalik selanjutnya adalah: Apakah ini menjadi sebuah bukti tentang ketegaran eksekutif dalam membela kepentingan rakyat? Akan tetapi, bukankah dengan mempergubkan itu, sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam sistem demokrasi bercacat bawaan ini, berarti segala isi, program dan anggarannya harus kembali secara tekstual, tanpa perubahan apa pun, ke APBA tahun sebelumnya (2017)? Dan dengan kembali ke isi, program dan anggaran masa lalu itu, maka bukankah APBA justru berarti sama sekali tidak menyesuaikan postur anggarannya secara programtik dan resolutif dengan dinamika persoalan dan tantangan kontekstual yang dihadapi rakyat saat ini?
Itulah semua gambaran paradoksal keacehan yang saling menelikung, bertentangan, bertabrakan dan saling berebutan dalam wadah demokrasi bercacat bawaan, yang kemudian menjadi panggung parodi dari orang-orang terpilih. Bagi rakyat yang warasnya masih tersisa, akhirnya sekadar bisa memelas sedih sambil bergumam tak berdaya: sungguh
pilkada dan pileg hanya menghasilkan sejumlah orang terpilih dan terhormat, yang bekerja keras membangun panggung parodi dan simulacranya, bagi menghadirkan citra-citra kemuliaan dan kesalehan, sebagai para pejuang tulus dan heroik, yang seolah sedang berpikir dan berjuang keras untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Wallahu a’lamu bish-shawaab.