Catatan Autokritik: Tafsir Toleransi

in #philosophy7 years ago


Entah mengapa hari ini aku tergerak ingin menulis—walau hanya bersifat masturbasi. Keinginan itu muncul karena teringat gemuruh suara-suara yang melintas di wall medsosku. Itu mempengaruhiku. Pengaruh itu tidak mengubah cara pandangku tetapi mendorongku untuk sekedar menginspirasi karena begitu banyak wajah-wajah sangar tetapi pandangan mata kosong. Begitulah batinku memandang.

Hal yang menarik, gemuruh di medsos selalu ditarik-tarik ke (1) keyakinan agama dan (2) cara beragamanya. Yang pertama menunjukkan adanya pengakuan keterbatasan diri masing-masing, minimal sebagai makhluk--ini hal positif. Yang kedua lebih disebabkan oleh tingkat pemahamannya--ini perlu dikritisi. Karena nilai yang ditanamkan oleh para pemimpin agama kepada umatnya adalah kebenaran mutlak, maka banyak umat terpeleset untuk menilai orang lain dengan kebenarannya yang mutlak itu. Artinya orang yang berbeda dengan pemahamannya dianggap sebagai salah. Saat orang tersebut dianggap sebagai salah, maka hak orang tersebut pun dianggap tidak layak. Situasi semakin rumit ketika kepentingan perebutan kekuasaan diikutsertakan. Apakah pemimpin agama itu salah? Tidak! Kebenaran Tuhan itu mutlak, masalahnya adalah siapa yang paling tahu kebenaran Tuhan yang mutlak itu. Itulah sebabnya para pendahulu sering melafadzkan kalimat terkenal pada setiap akhir ceramah; “wallahu a’lam bishaawab”, pengakuan diri atas kefakiran ilmu. Pada puncak perbedaan, kita juga diajarkan agama dengan “lakumdiinukum waliyyadiin”. Karena agama adalah kebenaran, maka kita bisa katakana; kebenaranmu jadikanlah kebenaranmu saja dan biarlah kuyakini kebenaranku sendiri. Dimana celah kita untuk memaksakan kebenaran kita pada orang lain? Saya tidak melihat celah.

Taipei, 17 April 2017, 6.22 PM
*********