Memahami Islam Nusantara

in #promo-steem7 years ago (edited)

Taipei Grand Mosque (TGM)-Masjid Raya Taipei. Bukti semaraknya kehidupan islami di taiwan. Walaupun Jumlah muslim di Taiwan relatif kecil, tetapi aktivitas keagamaan di masjid tersebut cukup meriah. Di tempat itu berkumpul muslim dari berbagai penjuru dunia dengan berbagai budayanya. Foto ini tidak ada hubungannya dengan judul tulisan.

Saat ini kata Islam Nusantara seolah-olah milik satu golongan. Dan celakanya hanya karena istilah itu sebagian menyalahkan yang lain melampaui kekuasaan Tuhan yang dia percayai. Kalau sudah seperti itu, siapa sebenarnya yang salah, emboh! Yang pasti yang ngotot nyalahin atau sebaliknya hanya dua golongan; wong ego atau orang yang berpolitik.


Pemandangan TGM dari sudut lain. Foto ini tidak ada hubungannya dengan judul tulisan.

Saya suka yang nyata-nyata saja. Kenyataan juga saya pernah tinggal di wilayah Yogya-bantul dan Sunda Kulon-pandeglang. Dulu, Bapak (Ya Allah ampunilah beliau, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma'afkanlah beliau) beberapa kali membawa ayam jago dari Pandeglang ke Bantul. Saya ingat betul kalo pagi itu ayam berbunyi membangunkan dengan teriakannya; kukuruyuukkk! Kapan tuh ayam belajar bahasa jawa? Saya tahu pasti di tempat menetas teriakannya berbunyi kongkorongookk! Mungkinkah ayam lebih cerdas dari manusia, belajar bahasa lebih cepat. Bertahun-tahun di Taipei saja saya hanya pede ngomong wo yau ce fan dan ni ai wo ma, itu pun tone-nya ga yakin. Tapi menurutku pengaruh alamlah yang membuat perbedaan kongkorongok dan kukuruyuk.

Pemandangan TGM yang diambil dari sudut lain. Terlihat di sekitar masjid terdapat kompleks pertokoan yang dapat dijumpai toko/rumah makan halal Indonesia

Begitu juga pada tahun 500-an masehi, pusat aktivitas kehidupan penduduk jazirah arab di sekitar mata air (oase). Oase ini tidak merata dijumpai dihamparan luasnya gurun pasir. Oleh karena itu, menguasai oase identic dengan kemakmuran. Oase menjadi sumber pertikaian antar kelompok. Yang menguasai akan selalu siap siaga waspada terhadap serangan kelompok lain. Bandingkan dengan nusantara pada zaman yang sama, air sebagai sumber hidup dapat dijumpai hampir di sembarang tempat. Bahkan kalo laper pun pun tinggal menelusup ke pinggir hutan banyak dijumpai aneka tumbuhan/buah/ikan yang mengenyangkan perut. Oleh karena itu, menguasai satu mata air bukanlah sesuatu yang menentukan hidup mati sebuah kelompok, berbeda dengan di jazirah arab pada zaman itu. Perbedaan tantangan alam yang dihadapi cenderung membentuk watak yang berbeda pula. Bukan hanya watak, budaya juga berbeda. Musik yang didominasi ketukan dan hentakan menyengat mungkin lebih terasa di jazirah arab seiring gersangnya gurun dengan perubahan cuaca yang ekstrim. Sementara music yang mengalun lembut bagaikan bisikan lebih bisa dinikmati di nusantara, seperti halnya gesekan ranting dan batang yang tertiup angin.

Persiapan menjelang pelaksanaan sholat jumah. Hari jumat adalah hari yang banyak ditunggu banyak umat Islam di Taiwan. Banyak para pekerja migran Indonesia mengkhususkan diri libur atau cuti pada hari jumat untuk janjian saling berkumpul di masjid sembari menunaikan ibadah bersama.

Badai pasir yan sering melanda tanpa diduga membuat penduduk local harus selalu siaga menghadapinya. Penutup mata dan kepala harus selalu siap sedia. Maka sorban dan pakaian terusan (jubbah) adalah pakaian yang sesuai untuk melindungi tubuh dari butiran2 pasir yang terbawa angin. Dalam periode yang sama, di nusantara curah hujan cukuplah lebat dengan terik matahari yang cukup. Air berlimpah dimana-mana sehingga resiko basah cukup tinggi. Baju model potongan akan lebih nyaman saat basah. Bagian atas tinggal dicopot dan diperas saat kebasahan tanpa memperlihatkan tubuh bagian bawah karena masih tertutup celana komprang. Kondisi alam yang berbeda memunculkan budaya yang berbeda.

Pelaksanaan Khutbah jum'at di TGM. Khutbah dilakukan dalam dua bahasa, bahasa arab dan bahasa china. Perhatikan, Imam TGM menggunakan jas model pakaian barat saat di mimbar.

Konsekuensi kehidupan yang keras di jazirah arab saat itu adalah perlunya sumberdaya manusia yang mampu menghadapi kekerasan-kekarasan. Dan pria ditafsirkan sebagai peran lebih penting dari wanita. Maka dapat dimengerti bahwa setiap keluarga lebih mendambakan anak lelaki dibandingkan anak wanita. Pada titik ekstrim karena mempertahankan kebutuhan, kelahiran anak wanita dianggap sebagai beban, dan sering dikubur hidup-hidup untuk mengurangi beban. Begitulah cerita yang sering saya dengar. Tetapi keberadaan wanita adalah kebutuhan dasar pria sehingga cara instan menjadi jalan kompromi. Oleh karena itu menculik wanita yang dibutuhkan dari kelompok lain menjadi salah satu cara favorit pada zamannya. Pada kondisi seperti itu wanita menjadi sangat berharga dan perlu perlindungan ketat. Menutupi total identitas kewanitaan menjadi salah satu cara perlindungan paling efektif di zamannya.

Selesai pelaksanaan Sholat jum'at, para jamaah menikmati saat senggangnya dengan saling menyapa kenalan. Mereka juga dapat menikmati hidangan halal yang dijual disekitar masjid dengan harga terjangkau. Momen tersebut juga menjadi ajang pelampiasan rasa kangen akan menu halal dengan banyak pilihan.

Di Nusantara pada era yang sama, kelahiran bayi wanita tidak terdengar sebagai beban—begitu pelajaran-pelajaran yang saya peroleh. Setidaknya tidak ada sejarah seorang bapak mengubur anak perempuannya karena malu atas keberadaannya. Karena wanita pada zaman itu juga dapat diberdayakan tanpa harus menghabiskan sumber makanan yang terlimpah dari alam. Kehidupan yang adem tentrem di wilayah nusantara membiasakan pendekatan-pendekatan musyawarah. Mengapa harus ngotot dengan sesama manusia sedangkan alam menyediakan semua kebutuhan pada zaman itu.

Pemandangan TGM menjelang sholat jumat, diambil dari sudut yang berbeda.

Dengan perbedaan kultur budaya sebagai konsekuensi menyelaraskan diri terhadap alam yang berbeda menyebabkan praktik beragama bisa jadi berbeda. Pertentangan yang terjadi karena sebagian mnyatakan bahwa budaya arab dan islam tidak dapat dipisahkan, sebagian yang lain meyakini bahwa nilai boleh sama tetapi budaya tidak bisa digantikan karena itu hasil interaksi dengan alamnya. Saya memilih yang kedua, perbedaan tidak menunjukkan mana yang baik dan yang tidak baik. Berkomunikasi dengan Tuhannya dengan berpakaian batik, sorjan, blangkon atau udeng tidak lebih jelek dibandingkan berpakaian jubbah. Bercadar tidak lebih baik dibandingkan dengan tanpa cadar, itu pendapat saya dan terserah yang berbeda. Tapi tentu saja, menutup aurat—dengan pengertian kecuali wajah dan dua telapak tangan-- itu harus. Melantunkan kitab suci dengan langgam asmarandana, menurut saya juga ga apa-apa sejauh kaidah bacaannya terpenuhi. Wallahu a’lam bishawab.

catatan.
wo yau ce fan = saya ingin makan
ni ai wo ma = kamu ga suka aku ya?

Taipei, 20 Aprl 2018, 8.00 pm

Sort:  

Waduhh maaf. Bagaimana men-delete tag yang pertama ya