Kisah Dua Teman Wanitaku yang Ingin Meliput Perang
sumber foto: jumala.jamal
Setelah lelah pulang dari kampus sore tadi. Aku beristirahat di rumah, golek-golek sambil main Instragram (IG). Biasanya, sore hari, Follower di IG-ku banyak membuat story cerah dan aneh, ada yang di pantai dengan kekasihnya, ada yang sambil mengendarai sepeda motor atau mobil, ada yang memposting lampu kamarnya, lalu ditulis; Alone in Home. Dengan makna yang biasa membuat seperti itu sedang dilanda jomblo.
Tiba-tiba aku berhenti dan mesentak ibu jariku ke layar hp, agar lebih lama bisa melihat story ini. Ibu jariku terhenti saat melihat story temanku di Sumberpost, Jumala; dalam story tersebut juga ada Riska yang juga temanku di Sumberpost. Mereka berpose dengan latar belakang laut. Mereka tidak menulis lokasinya di story IG tersebut. Tapi aku sudah tau kalau itu di Ule Lhelhe, Banda Aceh. Tempat di mana biasa aku mengadu rindu.
Jumala menuliskan sebuah kalimat di story tersebut.” Habis terang terbitlah belang”. Ketika aku membaca kalimat belang, imajinasiku berlarian ke kata perang. Aku teringat tentang mereka berdua yang selalu ingin meliput perang. Mereka menjadi gila seperti itu, setelah membaca habis buku Mata Lensa karya Adek Bery. Buku itu menceritakan kisah Adek Bery fotografer asal Indonesia yang bekerja di AFP dan sudah pernah meliput perang di Afganistan.
Betapa tingkah mereka berubah setelah membaca buku itu. Pagi itu, Jumala mengajakku ngopi. Dia sudah duduk di sana, tampaknya agak lama. “Kok sendiri, si Kleng mana?,” tanyaku. (Kleng adalah nama lain untuk Riska yang tersebar dan sah digunakan). “Gak tau, aku chat gak dibalas”. Aku pun memesan kopi terpahit bersama kenangan termanisku.
Tak lama kemudian Kleng membalas pesan Om Ju (Om Ju juga nama lain dari Jumala yang tersebar dan sah digunakan), “Ok om, aku otw”. Sembari menunggu Kleng aku dan Om Ju sedikit berdiskusi kecil tentang harapan, masa depan dan cinta. Namun, Om Ju memulainya dengan masa depan. Mengapa masa depan? Karena harapan membusuk dihatinya sedangkan cinta dibungkus dalam harapan. Berarti juga membusuk dalam hatinya.
“Aku pengen meliput perang dli?” ujarnya. “Ah..aku yakin, itu hanya kekuatan dari buku Mata Lensa tersebut”. Tak lama kemudian Kleng datang. Dan dia memesan teh hangat dengan kenangan terpahitnya. Dia pun mengatakan padaku hal yang sama; ingin meliput perang. Dan ku jawab sama; hanya kekuatan dari buku Mata Lensa tersebut.
Seiring berjalan waktu dan entah berapa jam berlalu. Waktu dan hari sudah mendekati liburan semester. Om Ju, lebih duluan pulang ke kampung unutk menikmati liburan. Aku memilih untuk menetap beberapa hari di Banda Aceh. Tiba-tiba pesan masuk dari Kleng. “Dli kawanin aku motret ke Gampong jawa yok!,” ajaknya. Demi menghilangkan rasa bosan aku pun mengiyakan.
Tiba di Gampong Jawa . Di sebuah tempat kumuh, tempat mayoritasnya pemulung dan nelayan tinggal. Kleng langsung mengeluarkan kameranya. Ia siap membidik. Sedangkan aku, memilih untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat dulu. Kleng lalai dengan kameranya. Saat aku ingin megeluarkan kameraku. Ia berkata, “Dli, suasana di sini terlihat seperti di Kabul, Afganistan”. Aku hanya tersenyum sambil membatin; bagai kah nueng. Kleng terlalu dalam memasuki diksi Adek Bery.
Karena tidak tahan dengan sikap Kleng yang semakin hari semakin menjadi-jadi, aku pun memustukan pulang ke kampung halaman .
Di kampung halaman. aku pun merasa sepi megurung diri di kamar sambil mengisi postingan di Steemit atau membaca beberapa buku. Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Om Ju. “Dli besok motret aksi menutup aurat yok,” ajaknya.
Kamipun memotret dengan tenang aksi itu. Sampai akhirnya Om Ju menawarkan minum untukku. “Dli, suasananya seperti aksi di Palestina”. Ukhukk..aku pun terokh ketika miunm lalu membatin; ya, sebentar lagi kamu di tembak tentara Israel. Om Ju terlau dalam memasuki diksi Adek Bery.
Setelah liputan aksi menutup aurat itu. Aku tak pernah bertemu Kleng dan Om Ju hingga akhirnya masa masuk kuliah sudah mendekati. Kulihat dari story IGnya, Om Ju balik lebih awal ke Banda Aceh. Lama tak berkabar, tiba-tiba aku melihat postingan Kleng dan Om Ju dengan chek in di Kabul. Langsung aku menelpon mereka untuk membawa pulang oleh-oleh untukku. Karena aku mengenali mereka; DUA PEREMPUAN JOMBLO YANG BARU SAJA LIBURAN KE RUMAH SAKIT JIWA. Tidak ada yang tak mungkin bagi mereka, jika itu bisa dilakukan hati, pikiran, kaki, dan tangan. Mereka akan bergerak dengan nekat.
“Ee..Om Ju bawa pulang oleh-oleh untukku ya?”.
“Hah..?”.
“Ke sama Kleng lagi di Kabul kan?”.
“Mana ada di Pasar Aceh ni”.
“Eeklah”. Segera ku tutup telpon. Dan aku yakin pasti mereka tertawa lepas untukku.
Dengan rasa penasaran. Aku pun meminjam buku Mata Lensa pada Kleng. Dan aku menghabiskan bacaanku hanya tiga hari. Ternyata benar, kekuatan ingin meliput perang tumbuh setelah aku membaca buku itu. Dan aku pun memasuki diksi Adek Bery terlalu dalam.
Sekian tentan Kleng dan Om Ju. Di lain waktu, aku akan menulis tentang kenapa mereka diberi nama Kleng dan Om Ju.
Nama itu tidak sah. Emak ku tidak pernah memotong kambing untuk panggilan haram itu 😒
Namun, sah dikalangan dunia permainan.
bagiku, namamu, adalah keharuman bak bunga mawar.
eek keuntottt @riskamunawarah
If you want to be a good jurnalis.. go somewhere crazy.. (jay bahadur)
hahahah...Thank you for support brother @riodejaksiuroe
fans nulis tentang kita @riskamunawarah
bukan fans tapi sekedar bahan pengingat. bahwa kalian pernah pantas masuk rumah sakit jiwa.
Hahahha ka betoi nyan 😂 dua uro teuk cit ilake tanda tangan tanyo jum