Burung yang malang
Hari itu, hari Minggu. Rizal dan Zia mengisi liburannya dengan bermain-main di kebun, dekat rumah Rizal. Mereka asyik sekali bermain, hingga tiba-tiba terdengar suara burung kecil sedang memanggil induknya.
”Cuit-cuit…” suara di atas pohon mangga.
“Sepertinya ada suara burung kecil?” ujar Rizal pada Zia. .
”Cuit-cuit…”
”Iya, aku juga mendengarnya” Zia mengiyakan.
Keduanya pun mencari suara burung kecil itu. Sampai akhirnya, Rizal melihat sebuah sarang berada di dahan pohon mangga.
”Lihat, Zia! Burung itu ada di atas pohon” teriak Rizal sambil menunjuk pada sebuah pohon.
”Dia sedang memanggil induknya… pasti dia kelaparan”
”Kasihan… kalau begitu, kita bawa ke rumahku saja… biar aku yang memberinya makan…”
”Jangan! Nanti induknya mencari…”
”Tapi, dia kan kelaparan, Zia. Kasihan kan kalau tidak kita beri makan. Dia bisa mati nanti…”
”Iya juga, ya… kalau begitu, yuk kita bawa pulang anak burung itu…”
”Ayo… kebetulan, aku punya banyak roti di rumah. Aku akan memberinya roti ah. Kan biar sehat!”
”Aku setuju!” timpal Zia.
Mereka pun pulang dengan membawa si anak burung.
**
Rizal dan Zia telah sampai di rumah. Lalu mereka pun memberi makan pada si anak burung.
”Cuit… cuit…”
”Ayo anak burung, kamu makan roti, ya…. enak, deh!” ujar Rizal.
”Iya anak burung… biar kamu sehat!” tambah Zia.
”Cuit …cuit…”
Si anak burung terus bersuara. Ia tak mau memakan roti yang diberikan Zia dan Rizal padanya.
”Cuit… cuit…”
Si anak burung terus bersuara…
”Mungkin, ia tak suka roti. Bagaimana kalau dikasih nasi aja… pasti dia mau”
**
Sementara di hutan… induk si burung sedang sedih. Ia kehilangan anak yang baru saja ia erami telurnya.
Si induk pun terbang mencari anaknya….
Terbang ke sana ke mari, tapi ia tak menemukannya.
Si induk burung terus bersedih. Ia pun terus mencari anak kesayangannya.
**
”Cuit… cuit…”
Si anak burung terus bersuara.
Lalu Rizal pun memberikan nasi yang diambilnya dari dapur.
”Cuit… cuit…”
”Makan ya, anak burung!” ujar Rizal.
”Cuit… cuit…” si anak burung tetap tak mau memakan nasi yang diberikan Rizal.
Ibu yang dari tadi memperhatikan tingkah laku anaknya, lalu menghampiri Rizal dan Zia. Ibu pun tersenyum dan membelai Rizal dengan penuh kelembutan…
”Rizal sayang… anak burung itu memang lapar. Tapi ia juga rindu pada induknya. Dan ia tak mau makan kalau induknya tak bersamanya” kata ibu.
”Maksud Ibu, si anak burung kangen ya sama induknya?”
”Iya sayang…!”
”Kok bisa ya, Bu?”
”Tentu bisa! Bukankah si anak burung juga makhluk hidup seperti kita? Ia juga punya perasaan sama seperti kita.
”Cuit… cuit…”
”Lihat! Si anak burung itu pasti sedang menangis, dan induknya pun pasti sedang bersedih karena anak yang dicintainya hilang”.
”Kok bisa sih, Bu?” tanya Rizal penasaran.
”Tentu bisa… sekarang ibu tanya, bagaimana jika suatu saat ada orang yang menculikmu, bagaimana perasaanmu?”
”Sedih, Bu… Rizal pasti menangis…”
”Kira-kira, kamu tahu tidak bagaimana perasaan ibu kalau kamu diculik”
”Pasti ibu juga sedih. Karena ibu sayang pada Rizal, iya kan, Bu?”
”Tentu sayang… setiap ibu pasti sayang pada anaknya,” kata ibu
”Kalau begitu, kita kembalikan anak burung ini ke hutan yuk, Zia! Kasihan induknya… pasti sekarang sedang kebingungan mencari anaknya.”
Rizal dan Zia pun kembali ke hutan. Dan mengembalikan si anak burung ke tempat asalnya. ***