KECEWA DAN SENANG BERSAMA YUNI
Biar kekinian, seperti orang-orang, maka saya juga berpose di depan poster film keren ini, YUNI. Tapi sebelum saya bercerita tentang yang bagus-bagus dari film ini, saya hendak mengungkapkan kekecewaan dulu.
Salah satu soundtrack dalam film ini adalah lagu "Imajinasi Senja" dari Alien Child. Setahu saya, Imajinasi Senja sendiri berasal dari puisi Putu Fajar Arcana.
(Silakan googling saja. Saya menemukan tautan ini: https://www.google.com/amp/s/www.enampagi.id/entertainment/amp/pr-1252130324/lirik-lagu-imajinasi-senja-dipopulerkan-alien-child-ost-yuni-sedang-tayang-di-bioskop)
Lagu bernuansa folk itu pas sekali mengiringi adegan ketika Yuni dan Teh Suci sedang bereksplorasi pose, berfoto-foto yang katanya untuk dipajang di instagram. Seperti biasa saya duduk sampai film berakhir dan menayangkan deretan nama-nama. Saya membaca credit title, dan "hanya" membaca nama Alien Child di sana. Tidak ada nama penulis puisi teks asli sebelum jadi lagu. Saya tidak mengerti tentang persoalan begini dalam industri film. Tapi sebagai seseorang yang juga menulis puisi dan puisi-puisi saya pernah dibuatkan lagu/musiknya oleh pemusik, saya merasa kecewa. Mengapa puisi Sapardi yang banyak dikutip dalam film ditulis namanya, sedangkan satu puisi yang sudah berubah jadi lagu itu tidak ada hak untuk nama penulisnya tertera di sana? Memang itu bukan puisi saya. Dan barangkali Alien Child sudah tanda tangan kontrak dengan produser film mengenai teknisnya. Tapi tetap saja, itu jadi ganjalan. Jangan-jangan penulis puisi dipandang sebelah mata untuk industri kreatif lain macam begini.
Baiklah, sekarang mari kita bicara yang baik dan menyenangkan.
Salah satu dorongan untuk menonton film ini karena Kang Toto St Radik yang gencar promosi, dan riwayat pemborongan nominasi dalam ajang Festival Film Indonesia. Juga tema cerita yang diangkat. Dan warna ungu. Lho? Kenapa? Saya dulu purple freak, pencinta warna ungu seperti Yuni. Koleksi benda-benda berwarna ungu itu sempat menjadi saat saya memiliki keleluasaan membeli dan mengoleksi. Sampai-sampai jaman punya friendster dulu, saya pernah membuat alter akun Purple Butterfly (di buku ketiga saya, nama ini masih melekat). Punya tas ungu, sepatu ungu, uttensils ungu, pokoknya saya melihat diri saya dalam kegandrungan ungu Yuni. Sekarang sih sudah dinetralisir, saya mencari warna yang sesuai dengan keselarasan. Walau ungu tetap tidak dihilangkan.
Rasa senang lain adalah ketika masih tersedia tiket promo Beli 1 Gratis 1 khusus Film Yuni, untuk 5000 penonton pertama. Syaratnya, tentu saja, tiket harus dibeli melalui MTix di aplikasi XXI. Nah, buat Anda yang berencana nonton Yuni bersama pasangan, teman, saudara, atau gebetan, sebaiknya manfaatkan promo ini, apalagi jika saldo MTix masih tersisa cukup banyak. Di foto ke tiga, tampak saya hanya membayar 45 ribu untuk tiket yang seharusnya 90 ribu untuk berdua, ditambah biaya admin 3ribu. Lumayan kan? (Maklum, insting emak-emak pemburu diskonan harus sigap urusan beginian😆).
Film Yuni sendiri sudah jelas perlu diberi jempol. Apalagi sepanjang film, puisi-puisi Sapardi menjadi benang merah yang menguatkan cerita. Semua pemain tampak sangat natural, tidak ada yang kaku. Satu sama lain saling melengkapi, pas porsinya. Jalan cerita yang disuguhkan pun membuat penonton hanyut terbawa suasana. Yuni yang pemberani, mengambil keputusan berdasarkan apa yang dia yakini benar usia remaja, usia pencarian jati diri yang mengombang-ambingkannya dalam beragam rasa. Pilihan untuk melanjutkan kuliah setelah lulus SMA pun masih gamang karena tidak tahu mau apa setelah lulus. Namun untuk mengikuti kebiasaan di lingkungannya untuk segera menikah saat sudah akil balig adalah sesuatu yang dengan berat hati dia tolak. Latar belakang orang tua yang hanya sekolah rendah, dan tinggal bersama Nenek, membuat posisi Yuni sebagai remaja perempuan terhimpit dan tidak bisa mendapatkan teman diskusi yang baik. Perempuan selalu dianggap tidak berhak menyuarakan keinginan dan cita-citanya. Tamat sekolah harus menikah. Perempuan harus jago di dapur, di kasur dan berpupur alias berdandan. Tiga hal yang berlawanan dengan modernisme kaum urban.
Saya tidak akan panjang-panjang menceritakan tentang filmnya, biar tidak jadi spoiler. Silakan tonton saja sendiri. Tapi serius, saya rekomendasikan film ini untuk ditonton jika ada luang. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Yuni, sebab di beberapa daerah, hal-hal semacam ini masih berlangsung: pernikahan anak.
Ada yang melompong di dalam dada saya setelah menonton. Apalagi akhir cerita dibuat menggantung, menyisakan tanya, apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka semua setelah Yuni memutuskan batal menikah dengan Pak Damar, guru yang selalu menjadi lelaki idamannya.
Proficiat untuk semua tim film ini. Kalian semua hebat.
#steemliteracy #filmYuni #yuni #fourcolursfilm #filmIndonesia