Traveling as a Trauma Healing
Setiap orang punya traumanya masing-masing. Beranjak dari kalimat tersebut, saya ingin sedikit berbagi pada postingan kali ini, kenapa akhirnya saya memilih traveling sebagai trauma healing. Dulu waktu masih kecil saya pernah jatuh dari sebuah bukit di salah satu tempat wisata di Sumatera Utara. Dampak dari Jatuh tersebut menyisakan trauma yang ujungnya berimbas pada phobia. Ya.. Saya phobia ketinggian.
Setiap menaiki pesawat dan saat pesawat lepas landas, seluruh badan saya tanpa diberi komando langsung mendadak dingin, keringat muncul sebesar biji jagung. Apalagi kalau pesawat tiba-tiba masuk ke dalam awan yang menyebabkan turbulensi karena hampa udara. Saya sudah siap-siap memegang handphone dan berlogika. Langsung saja saya prediksikan seandainya pesawat lepas kendali dan jatuh, berapa menit yang saya punya untuk menghidupkan handphone dan mengabarkan hal tersebut pada keluarga dengan pesan text, sampai akhirnya pesawat betul-betul jatuh dan tak berbentuk lagi.
Atau ketika sedang berjalan dipinggiran jurang, dan ketika masuk ke dalam goa, kaki saya bisa tiba-tiba gemetar hebat dan nangis ketakutan, sampai harus ada satu orang yang bersedia saya pegang tangannya kuat-kuat agar bisa tenang kembali.
Seram ya... tapi memang dari dulu saya selalu memikirkan resiko terburuk, tujuannya agar lebih siap untuk menghadapi apapun yang terjadi, karena tidak ada kata-kata pasrah sebelum berusaha, setidaknya dengan berpikir, juga termasuk dari salah satu jenis usaha.
Saya akhirnya melakukan pemetaan pada diri sendiri, dan mendapatkan jawaban bahwa memiliki trauma ketika terjatuh dari bukit dan tidak pernah selesai dengan trauma tersebut. untuk menghilangkannya saya pun memilih traveling sebagai penyembuh. Dengan melakukan traveling, saya bisa berdamai dengan trauma dan phobia yang sudah lama bersarang pada diri.
Traveling sebagai penyembuh phobia
Saya phobia pada ketinggian, dengan seringnya traveling yang mengharuskan untuk naik pesawat, perlahan saya bisa mensugesti diri untuk lebih tenang, apalagi ketika terjadi turbulensi. Malah sekarang saya jadi menikmati turbulensi, ya saya sugestikan ke diri sendiri, ketika terjadi turbulensi, anggap saja sedang menaiki bus di jalanan berbatu. Awalnya memang tidak ada pengaruhnya, tetap saja takut, namun perintahkan saja otak untuk melakukan apa yang kita inginkan, pasti dia akan merespon sesuai perintah yang diberikan. Walaupun setiap orang akan memakan waktu berbeda-beda.
Pernah naik jembatan gantung? Yang pegangannya terbuat dari tali rami, pasti kalau kita jalan di atas jembatan tersebut akan goyang-goyang, dulu saya akan minta pulang seketika kalau harus melewati jembatan seperti ini, atau mendadak ngambek dan minta ditinggalkan saja sendiri. Tapi sekarang malah jadi biasa saja. Caranya dengan “meng-hack” tubuh bahwa jembatan yang saya lewati adalah jalanan yang tidak rata, jadi jalannya juga harus miring-miring. Namun sebelumnya saya akan melihat ke bawah, dan mengukur ketinggiannya. Awalnya pasti mual, namun teruslah melihat ke bawah sampai semua perlahan netral, setelahnya jalanlah perlahan melewati jembatan tersebut.
Photo by Marc-Antoine Dépelteau on Unsplash
Lebih mendekatkan diri dengan Sang Maestro Kehidupan
Kalau lagi berada di keadaan genting pasti siapapun akan mengingat Tuhan, terlepas dari baik buruknya orang tersebut. Saya pernah punya pengalaman ketika sedang naik kapal nelayan dari sebuah pulau menuju ke kota tempat tinggal saya, kita terjebak di badai, dengan tinggi ombak mungkin lebih dari 4 meter, goyangan kapal sudah tidak normal, kebayangkan bagaimana rasanya bila berada disana?
Saat itu yang saya lakukan adalah berdoa dan terus berdoa, sampai akhirnya saya mendapatkan ketenangan untuk berpikir di saat-saat kritis. Handphone sudah ditangan, permintaan maaf sudah saya ketik buat orang tua, dan bila kapal karam sewaktu-waktu saya tinggal mengirimkan pesan tersebut. Setidaknya, sudah terlepas beban untuk meminta maaf. Selebihnya biar Sang Maestro Kehidupan yang bekerja untuk ciptaannya.
Di keadaan genting tersebut pun saya masih bisa berpikir untuk mencari jerigen atau benda apa saja yang bisa terapung dan dijadikan sebagai pelampung. Sebenarnya disaat-saat seperti ini, ketenangan yang akan membuat kita jeli terhadap tindakan yang harus kita lakukan bila keadaan yang tak diinginkan benar-benar terjadi.
Sadar atau tidak, dengan melakukan traveling berulang kali, maka masalah yang kita hadapi juga akan berulang, tinggal kitanya saja, mau atau tidak untuk menghadapi dan mengelola masalah tersebut serta berdamai dengannya.
Semoga bermanfaat
Salam,
Posted from my blog with SteemPress : https://fararizky.com/2018/07/14/traveling-as-a-trauma-healing/
I do agree with you :)
Thanks ☺️
You are very welcome :)
11 12 kita, Mbak
Saya juga mengobati trauma dengan traveling
Sekarang udah ga terlalu trauma naik pesawat...
Waahh. Alhamdulillah kalau begitu.. Semoga trauma bisa di netralkan ya mba..
Kalau mau menuju suatu destinasi yang menempuh dengan jalan kaki masih trauma dengan keram kakinya gak mbak???
Aaahhh si mas... Gemesin deeehh
Hahahaha
Kpn balik ke aceh? Gak rindu sama kami?
Doakan aj secepatnya ya mbak. Blan 3 kemarin ad pulang tpi mbak sibuk x jdi gk jmpa kita.
Haha, kalo kakak malah paling suka traveling by plane, Far. Hehe.
Aduhh kaaakk.. Fara kalau udh naik pesawat jadi panas dingin sendiri bawaannya