Saat Etika Berujung Kekalahan
Berharap pemimpin yang baik sangat lah sulit, sesulit mengharapkan keledai melahirkan domba. Kita tidak sedang berbicara "hakikat" karena Allah SWT bisa saja mengeluarkan unta dari dalam batu, menciptakan Nabi Isa. As hanya dengan ibu, menciptakan Nabi Adam. As tanpa melahirkan terlebih dahulu. Ya, Allah SWT dengan mudah melakukannya, tinggal kita berusaha dan berdoa saja.
"Politik itu kejam", frasa ini sering kita dengar dari mulut orang, terlepas yang bersangkutan punya pemahaman dan latarbelakang pendidikan yang memadai ataupun tidak.
Ada benarnya juga apabila kita melihat dari sisi praktiknya, artinya saat politik kita menetapkan standar keberhasilan pada "kepentingan", jelas selama kepentingannya tercapai maka politiknya sukses, tak peduli cara dan prosesnya bagaimana, intinya apa yang diharapkan terlaksana.
Perlu kita tahu bahwa di era demokrasi ini, pemimpin itu lahir dari pilihan langsung rakyatnya, dari beberapa calon yang diusung, yang terbanyak pemilihnya lah yang menang. Ingat, yang menang bukanlah yang baik, tetapi yang banyak pemilih.
Di sisi lain, kita berharap pemimpin yang takut kepada Allah dan sayang kepada rakyatnya. Sedangkan pada kondisi real yang terpilih tidak ditentukan oleh yang baik, melainkan yang suaranya paling banyak. Secara tak langsung, kita sedang bermimpi mendapatkan pemimpin yang baik sedangkan "kebaikan" tidak kita gunakan sebagai standar dalam menentukan pilihan.
BAIK ITU TIDAK BANYAK, DAN BANYAK BELUM TENTU BAIK
Pemimpin yang baik itu datang dari rakyat yang baik pula. Mengingat calon pemimpin berasal dari rakyat, dengan sendirinya, yang maju menjadi calon pemimpin pun akan lebih banyak dari orang baik ketimbang sebaliknya.
Selanjutnya, ketika beberapa calon sudah di depan mata, dan rakyat (pemilih) didominasi oleh orang baik, pasti mereka akan menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar pula (menggunakan standar kebaikan) tanpa embel-embel kepentingan seperti : Proyek, proposal, bantuan dan berbagai macam keuntungan lainnya.
Maka sia-sia aja berharap orang baik menang, kalau rakyat "tidak baik" yang mendominasi. Karena baik pemilih maupun calon sama sama dihuni oleh pribadi-pribadi yang tidak baik dan tidak menerapkan standar kebaikan. Oleh karena itu, memperbaiki rakyat terlebih dahulu terasa lebih logis dari mencari pemimpin yang baik.
Namun dibalik semuanya, kita tetap diharuskan berusaha, berdoa dan tidak berhenti berharap demi terpilihnya orang baik, tetap optimis juga awal dari kebajikan, tentu saja tanpa mengesampingkan sikap realistis.
ANTARA KEJAM DAN ETIKA
Lebih jauh, pendidikan yang paling buruk yang pernah saya dengar adalah frasa "Politik Itu Kejam". Alasannya, ada 2 golongan manusia di dalam politik, yaitu golongan pemula dan pemain lama.
Saat pemain lama menyebarluaskan frasa "Politik Itu Kejam", itu menjadi konsumsi yang tidak edukatif bagi calon pemula, seakan-akan tidak ada lagi politik yang benar yang bisa dilakukan, artinya kalau kita tidak menyakiti, pasti akan tersakiti. Jika kita tidak menyenggol, pasti akan tersenggol, tidak menyikut duluan, pasti tersikut.
Bila pemula sudah disuguhi materi seperti ini, yakinlah bahwa sebelum itu terjadi sang pemula akan mempersiapkan sepatu khusus untuk "main tendang", tidak ada lagi niatan yang baik lantaran sudah teracuni dengan ideologi "yang baik akan dijahati".
Padahal, mengingat politik hanya berupa media dan pelakunya tetap lah manusia, maka politik juga tidak bisa dipisahkan dari moral yang sering kita dapati dengan istilah "Etika Politik". Berbanding terbalik dengan fakta di lapangan, saat manusia terlalu bermoral dan beretika di dalam politik, dan mereka pun tersakiti, tujuannya gagal terpenuhi, maka kesimpulan yang tersematkan kepada mereka adalah "Politik itu kejam, dan kalau tidak mampu untuk kejam jangan bermain dengan politik".
Saya pun heran, kenapa pula ada "Etika Politik" jika memang yang beretika itu dianggap tidak becus, tidak mampu berjaya, dan tidak ada tujuan yang tercapai. So, dalam posisi ini, yang beretika akan terlihat salah dan bodoh lantaran tidak mau menyakiti orang lain, sedangkan yang "kesetanan" akan tampil sebagai pahlawan politik.
Mana politik yang benar? Berpolitik sekaligus bermoral (tapi cenderung menjadi korban) ataukah berpolitik sekalian kesetanan (menghalalkan segala cara demi kepentingan dan menang).
Kesimpulan sementara, frasa "Politik Itu Kejam" adalah cikal bakal tumbuhnya politisi yang meninggalkan moralnya. Padahal, di dalam ilmu politik ada juga istilah "Etika Politik". Tetapi semakin lama semakin yang beretika itu menjadi korban sikutan, sehingga yang beretika pun terpaksa membeli senjata untuk menzalimi sebelum terzalimi.
Sebagaimana kita tahu bahwa etika itu ukurannya ada pada moral manusia, sedangkan jika kita mengukur kesuksesan pada "kepentingan", kebanyakan kita tidak akan mempertimbangkan lagi sisi moralitas, lantaran yang bermoral (beretika) cenderung menjadi korban. Imbasnya, pelaku politik akan berkesimpulan "bermoral menghasilkan nothing, dan tanpa moral menghasilkan everything".
Posted from my blog with : https://rizal-sahabat.000webhostapp.com/2018/09/saat-etika-berujung-kekalahan
Sukses terus kawan @rizal-sahabat
Posted using Partiko Android
Meuapui kawan...hahahaha...
Pisau itu tergantung pemegangnya, politik juga demikian
Iyaa adun..berarti sige ge ka payah tapike perbaikan ureung jih..ken le sikin yang salah. Menye bit sit manteng na urg mate dalam kesehariannya, brarti ttap na jiwa jiwa yang pakek sikin bak buet sumupoh
Congratulations @rizal-sahabat! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :
Click here to view your Board of Honor
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Do not miss the last post from @steemitboard: