Lukisan
Manusia yang paling aku kagumi di kampus adalah Pak Civic. Dosen kontruksi bangunan di Prodi kami. Aku terkagum padanya bukan karena dia pandai membuat struktur bangunan yang kuat atau bahkan mampu membuat struktur cinta yang abadi. Namun, lebih jauh dari itu, tentang skill seni rupanya dan lukisan-lukisan pemandangannya yang aduhai.
Ia seorang dosen muda yang sangat berbakat, cerdas, baik, ganteng dan masih haus cinta. Menurutku, hanya ada satu hal yang membuat dia tak menemukan cinta pada zaman modern ini: karena potongannya rambutnya yang culun dan baju kemejanya yang selalu dimasukan kedalam.
Semakin hari, semakin kagum dan penasaran aku dengan skillnya itu. Maka, dengan itu, aku memberanikan diri memintanya untuk mengajariku melukis wajah orang. Beliau dengan sedang hati menerima Aku sebagai muridnya.
Gara-gara itu, aku semakin dekat dengan pak Civic. Gara-gara itu, juga, aku bisa lebih leluasa melihat buku sketsanya, semua diperlihatkan nya. Tapi ada satu buku sketsa yang dilarang aku sentuh. Aku menebak di dalam situ ada wajah wanita yang dicintainya. Mungkin saja.
Bahkan kami sudah seperti teman. Dekat sekali, berani aku katakan: ia telah menganggapku adik kandungnya. Gara-gara itu juga, aku teringat kata pepatah saat kami sedang minum kopi di kantin kampus. "Cintailah temanmu sekedar saja, kelak suatu hari ia akan menjadi musuhku. Dan bencilah musuhmu sekedar saja, kelak suatu hari ia akan menjadi temanmu". Kata-kata itu, seperti memerintahkanku untuk bersikap biasa saja padanya, tak lebih dari seorang guru.
Tapi ada satu hal yang aku tidak suka darinya. Ia suka mencampuri urusan cinta mahasiswanya. Kadang-kadang, ia suka memarahi kami, bila dipergokinya pacaran malam Minggu. Meskipun ia tak pernah memarahiku setelah aku dipergokinya bermalam Minggu bersama Rahmi. Ia hanya tersenyum padaku, sambil menitip pesan di Wasap: 'jangan berlebihan ya nak!'. Sejak saat itu, ingin aku katakan padanya: 'sini pak biar aku ajarkan menaklukkan wanita'. Tapi itu mustahil, karena aku masih ingin diajarkannya cara melukis wajah orang. Wajah pertama yang akan kulukis setelah aku mahir adalah wajah Rahmi.
Baiklah, kuceritakan tentang Rahmi: wanita beralis tebal itu telah membuatku mabuk kepayang padanya. Gamis yang ia kenakan telah menjadi menara cinta yang harus aku naiki suatu hari. Alamak, lesung pipinya itu membuatku tak usah makan siang. Apalagi kedipannya, adalah kipas angin saat matahari sedang panas-panasnya.
Lagi-lagi ada hal yang membuatku harus kecewa padanya. Yaitu keputusannya tentang pacaran. Ia tak mau pacaran. Rahmi menganut ajaran Teman Rasa Pacar. Ajaran itu membuatku surut, sekaligus mengambil kesimpulan bahwa sewaktu-waktu, ia bisa pergi dengan laki-laki lain. Bebas dan itu diluar kontrak denganku. Sudah berpuluh kali kunyatakan cinta padanya. Dan ia menjawab dengan ajaran itu. Tapi aku sedikit punya harapan untuk bersahabat dengan waktu suatu hari, sebab ia sangat baik dan dekat denganku.
Berulang kali temanku mengingatkan. Rahmi hanya memanfaatkanku. Semakin diingatkan semakin berkembang biak cintaku ini. Hingga suatu hari, satu foto yang kudapat dari temanku: Rahmi sedang bermalam Sabtu bersama pak Civic di sebuah coffee. Pupus harapanku. Malam itu sangat gelap, walaupun bintang dan bulan bekerjasama dengan angin, memainkan nyanyian alam untukku.
Tiba-tiba aku teringat buku sketsa yang dilarang pak Civic untuk kusentuh. Aku curiga di dalam sana ada lukisan wajah Rahmi. Esoknya, untuk memastikannya, aku beranikan diri melihatnya langsung. Setelah jam kuliah selesai, aku menuju ruang dosen, menuju meja pak Civic. Telah kusiapkan strategi jika ditanya dosen lainya: disuruh ambil buku sama pak Civic buk. Tentu adegan itu percuma jika di sana ada pak Civic. Ternyata keadaan bersahabat baik denganku. Tak kutemui pak Civic di sana.
Hancur hatiku. Berkeping-keping. Andai orang-orang di dalam ruangan itu, bisa membaca hati. Maka mereka akan mendengar semua teriakan perang atau kibaran bendera perang. Bertanda perang akan segera di mulai. Kulihat wajah Rahmi di buku itu. Bukan hanya satu. Enam wajah Rahmi dilukis pak Civic. Hancur lagi kepingan hatiku. Ketika kulihat lukisan keenam wajah Rahmi adalah fotonya yang kuambil di taman kota waktu itu. Uuhh!, Aku curiga bahwa pak Civic mendekatiku untuk mengetahui kelemahanku. Ah, Sungguh politik cinta yang klasik.
Maka detik itu juga. Kucari pak Civic di manapun. Dan kutemui ia di meja kantin yang biasa kami duduk. Pak Civic menyapaku dengan polos saat aku tiba: "Bagaimana kabarmu nak?". Kujawab dalam hati: "Basa-basimu terlalu basi!". Langsung aku menyalaminya, tapi kali ini bukan karena mahasiswa bertemu dosennya. Namun, layaknya dua kapten kesebelasan sepakbola bertemu di tengah lapangan sebelum bertanding.
"Aku tau bapak suka sama Rahmi. Tak kusangka ini bisa terjadi. Baiklah, kita awali persaingan ini, hari ini," kataku dengan wajah setengah sopan. Pak Civic diam sejenak, lalu ingin berbicara tapi sebelum ia mengangkat mulut, aku bergegas pergi.
Ternyata kata pepatah yang pernah terlintas di benakku benar-benar terjadi. Saat ini, Pak Civic adalah sainganku. Seketika jiwa lemas, saat teringat, tentang ajaran yang dianut Rahmi. Jangan-jangan ia membohongiku, jangan-jangan ia telah berpacaran dengan Rahmi.
Hanya fiksi. Nama yang digunakan pada dosen adalah bentuk harapan: Kroasia menang Piala Dunia 2018.
(source image: from my photo, i edited with skecth app. thankyou)