Secret Mission of Sipahi Troops in Szigetvár |
A young Jannissary was already in the square, standing swiftly with two swords already in hand. In the vicinity, ten people huddled with various weapons. They are also in the ready position, it seems that an unfair battle is about to ensue. The slaughter will happen in a heinous way. Perhaps the young Jannissary's body would be just like Hamzah bin Abdul Muttalib in the Uhud War, torn apart with a perforated chest and his heart was uprooted. Perhaps it would be even sadder than that. The young Jannissary's body would not be recognized anymore because it had been chopped up.
The ten men who surrounded him were members of Sipahi-the trained soldiers of the Sultan's convoy in war. They have experienced and hundreds of wars in various countries. Already thousands have been killed in their hands in battles in open fields, in the jungle, in the desert, in summer and winter. No enemy has survived their siege. No Palace intruders can get out alive from their guard. A piece of the needle that fell on the floor made them wary.
The afternoon breeze was blowing hard in the square, carrying the sad aroma of death. Some birds fly and perch in the trees around the square. Two small birds hugged each other's beak, others chirping happily as they jumped from one branch to the other. The birds are not affected by the scenery down there even though the smell of death has been smelled. They are not crows who eat corpses with gusto.
Dried leaves that fall also not affected by the atmosphere below. Everything goes according to his nature. Life goes on, whatever happens to the young and handsome young Jannissary down there. Tragic deaths may continue to be remembered, but life continues and will not be affected.
However, ten members of Sipahi troops and a Jannissary were not enemies. Do not expect any terrible physical death between them. Death may exist, but it passes silently. Blood may flow and life may be floating, but not in the square.
Sipahi's commander is not a mighty man. He's just a small man, skinny, and too short to be a commander. But he has proved his might in all wars. His small body would have been much to outwit the opponent. When the enemy smiles to harass his appearance, a second later the man has fallen to earth with a bloody body.
The young Jannissary had heard of Sipahi legend. So he prepared himself well. Practice swordsmanship and war strategy earnestly, read many books of war, and to pray--of course.
But, after standing for so long, only two Sipahi troops attacked the young Jannissary. They threw a spear and two secret weapons that young Jannissary could easily paralyze. Other Sipahi members just look without expression.
"Please go away," says the Sipahi commander. "Your business is enough."
The young Jannissary left questionably. He expects a great fight to show his ability, to prove that he is worthy and deserves to be a member of Sipahi to replace the task of escorting the Sultan Sulaymen's convolution in battle. Are the ten men who will choose the troops Sipahi already know his ability, or they do not respect him?
Months later, the young Jannissary did not get the answer. He failed to be part of Sipahi, but continued his duties as a respected Jannissary. The test in the square remains a secret. Seven young Sipahi troops are already wearing armor. They were already on their way to Hungary on a war mission. Not to kill the enemy, but to kill Sultan Sulayman in the secret mission.[]
Misi Rahasia Pasukan Sipahi di Szigetvár
Seorang Jannissary muda sudah berada di alun-alun, berdiri dengan posisi sigap dengan dua pedang sudah berada di tangan. Di sekitarnya, sepuluh orang merubungnya dengan berbagai jenis senjata. Mereka juga dalam posisi siap, sepertinya pertempuran yang tidak adil sebentar lagi akan terjadi. Pembantaian akan terjadi dengan keji. Barangkali tubuh Jannissary muda itu akan sama seperti Hamzah bin Abdul Muthalib di Perang Uhud, tercabik-cabik dengan dada berlubang dan hatinya sudah dicabut. Barangkali juga akan lebih menyedihkan dari itu. Jasad Jannissary muda itu tidak akan dikenali lagi karena sudah dicincang.
Sepuluh orang yang merubungnya adalah anggota Sipahi—para tentara terlatih pengaal konvoi Sultan dalam peperangan. Mereka sudah berpengalaman dan ratusan perang di berbagai negara. Sudah ribuan orang terbunuh di tangan mereka dalam peperangan di lapangan terbuka, di hutan, di gurun, di musim panas maupun musim dingin. Tidak ada musuh yang selamat dari kepungan mereka. Tidak ada penyusup Istana yang bisa keluar hidup-hidup dari penjagaan mereka. Sepotong jarum yang jatuh di lantai pun membuat mereka waspada.
Angin sore itu berembus kencang di alun-alun, membawa aroma kematian yang menyedihkan. Beberapa ekor burung terbang dan hinggap di pepohonan di sekitar alun-alun. Dua ekor burung kecil saling merapatkan paruh, yang lainnya saling berkicau gembira sambil melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Burung-burung tidak terpengaruh dengan pemandangan di bawah sana meski aroma kematian sudah tercium. Mereka bukan burung gagak yang menyantap mayat dengan lahap.
Daun-daun kering yang berguguran juga tidak terpengaruh dengan suasana di bawah. Semuanya berjalan sesuai kodratnya. Kehidupan terus berlanjut, apa pun yang akan terjadi terhadap Jannissary muda dan gagah di bawah sana. Kematian yang tragis mungkin akan terus dikenang, tapi kehidupan terus berlanjut dan tidak akan terpengaruh apa pun.
Namun, sepuluh anggota pasukan Sipahi dan seorang Jannissary itu bukan musuh. Jangan mengharapkan adanya kematian fisik yang mengenaskan di antara mereka. Kematian mungkin ada, tapi berlalu dalam senyap. Darah mungkin mengalir dan nyawa mungkin akan melayang, tapi tidak di alun-alun.
Pemimpin Sipahi bukan lelaki yang gagah perkasa. Dia hanya seorang lelaki kecil, kurus, dan terlalu pendek untuk menjadi seorang komandan. Tapi dia sudah membuktikan keperkasaannya dalam semua peperangan. Tubuhnya yang kecil justru sudah banyak mengecoh lawan. Ketika musuh tersenyum melecehkan penampilannya, sedetik kemudian orang itu sudah rubuh ke bumi dengan tubuh bersimbah darah.
Jannissary muda itu sudah mendengar legenda Sipahi. Jadi, dia mempersiapkan diri dengan baik. Berlatih ilmu pedang dan strategi perang dengan sungguh-sungguh, membaca banyak kitab peperangan, dan tentu saja berdoa.
Tapi, setelah berdiri sekian lama, hanya dua pasukan Sipahi yang menyerang Jannissary muda itu. Mereka melemparkan satu tombak dan dua senjata rahasia yang bisa dilumpuhkan Jannissary muda dengan mudah. Anggota Sipahi lainnya hanya melihat tanpa ekspresi.
“Sekarang pergilah,” kata komandan Sipahi. “Usahamu sudah cukup.”
Jannissary muda itu pergi dengan penuh tanda tanya. Dia mengharapkan adanya pertarungan hebat untuk menunjukkan kemampuannya, untuk membuktikan bahwa dia layak dan patut menjadi anggota Sipahi untuk menggantikan tugas mengawal konvol Sultan Sulaymen dalam peperangan. Apakah kesepuluh orang yang akan memilih pasukan Sipahi itu sudah tahu kemampuannya, atau mereka tidak respek kepadanya?
Berbulan-bulan kemudian, Jannissary muda itu tidak mendapatkan jawabannya. Dia gagal menjadi bagian dari Sipahi, tetapi melanjutkan tugas sebagai Jannissary yang disegani. Ujian di alun-alun tetap menjadi rahasia. Tujuh pasukan Sipahi muda sudah memakai baju zirah. Mereka sudah berada dalam perjalanan ke Kota Szigetvár, Hungaria, dalam misi peperangan. Bukan untuk membunuh musuh, tetapi membunuh Sultan Sulayman secara rahasia.[]
Sang di tempat tanyoe suah beuna chit pasukan yang pakek baju anti baja. Biar membal mandum polemik yang menimpa daerah tanyoe.
Pulom jino tengoh musim pemilu.
Salam kupi pancong.
Nyoe na baje baja lage nyan, lon ku jak lam prang jak meliput berita @mulawarman.
vary good story. thank you @ayijufridar
Cerita nya paduan warna banget ya.... Sesuatu dech
Thanks so much @rasidulislam0433 dan @bennpoelem. Saleum.
Ceritanya bagus sekali.. pingin tau kelanjutannya.
Tulisan yang bagus Bang @ayijufridar tapi saya sudah baca sampai habis, pasti ada maknanya dibalik tulisan ini. Salam KSI