Sepenggal Syair Terakhir | A Piece of The Last Poem

in #story7 years ago

persian-poems-3199610_960_720.jpg
Sumber


Sekali waktu, ketika tanah ini dikendalikan peluru, hidup hanyalah selahzah desah napas, malam tinggal jeda ketakutan, sebuah pengharapan esok akan menatap langit seperti sediakala, seorang lelaki datang padaku dengan seulas senyum. Memperdengarkan sepenggal syair dengan suara menanjak seolah rintihan hatinya yang layu. Membisikkannya pada wajah tanah ini yang dipenuhi angkara, yang entah kapan mereka meninggalkannya, menitip kembali tanah ini pada pelipur seperti dirinya.

Aku hampir tak mendengarkan awal dari syair-syair itu, karena kuanggap menjenuhkan. Lagi pula tak berarti apa pun ketika nada resahnya disenandungkan. Masih kuanggap pembual yang setelah itu mengharapkan pamrih atas kata-katanya. Sebelumnya, aku yakin ia pasti tak mau beranjak pergi sebelum merogoh isi kantongku. Sebab sangat kukenali lelaki itu. Orang kampungku memanggilnya “Penunggang Onta” karena ia mengenderai sepeda onta yang entah semenjak kapan. Yang kuingat, pada usiaku sepuluh tahun ia sudah mendatangi seluruh kampung di pesisir samudra Hindia menurut kata kakekku. Tak kercuali kampungku, setiap kali panen padi selalu saja tampak batang hidungnya. Hidupnya bagai sang abdi pada keindahan lirik syairnya. Tak ada yang dapat mengusirnya sebelum orang kampung mendengarkan dan memberikannya jerih.

Tapi siang itu setelah ia membacakan syairnya, ia langsung bangkit, hendak pergi. Aku menatapnya heran, kenapa tak seperti yang aku duga. Apakah lelaki itu sudah tercukupi hidupnya, hingga tak lagi menginginkan pemberian dari para pendengarnya.?

Karena rasa penasaran, kucegat keinginan penunggang onta itu. Sebuah pertanyaan kuhalau langkahnya. “Teungku mau ke mana? Kenapa terburu sekali, apa tidak mau menunggu saya ambilkan uangnya dulu?”

Pada saat itu tak ada uang dalam saku celanaku, aku harus masuk ke dalam rumah untuk mengambilnya. Aku sengaja ingin memberikannya melebihi yang pernah kuberikan pada kedatangannya beberapa bulan yang lalu. Namun, lelaki itu tertegun setelah mendengarkan ucapanku. Ia mendesah, laksana segunung karang menghantamnya. Bahkan seperti nada sinis yang mungkin terpikir olehnya saat itu. Sebab kutatap wajahnya yang segera memadam, menatap hambar ke halaman rumahku. Pada hal tak ada yang menarik di sana selain beberapa anggrek yang layu diterpa sinar matahari siang, sekaligus gersang segersang hatinya yang tak lagi mengharapkan apa-apa pada tanah ini.

Ia tak segera menjawabku. Tapi mengeluarkan selembaran syairnya. Ada harapan di bola matanya agar itu kubaca, kunikmati keindahan bahasanya, kutelaah kedalaman maknanya. Mungkin tidak pada waktu itu. Namun esok, atau kapan kesempatan itu tersisa.

Aku tak menolaknya, apa lagi itu pemberian ikhlas darinya. Setelah kertas itu kuterima, lalu kuletakkan di atas meja. Kemudian ia duduk kembali pada bangku semula. Melepaskan sebuah tas kain putih yang sudah kusam dari bahunya. Lalu menjawab pertanyaanku, bagai sang khatib yang menasehati jamaahnya.

”Anak muda, aku bukan tak mau menerima kebaikanmu, bahkan itulah pengharapanku pada hari-hari sebelumnya.Tapi semua itu akan berakhir di sini, aku tak ingin lagi meyambung nafas yang tinggal sejengkal demi penghidupanku sendiri, yang kulahap dari sebuah ketidakpastian hidup saudaraku. Tahukah kau, bahwa aku telah menghabiskan masa hidup dengan yang kulakukan ini? Ya, itulah jawabmu. Semua orang tahu, akulah yang telah hidup dengan syair-syair. Bahkan aku menikahi syairku. Aku tak butuh siapa pun untuk menghiburku. Karena aku terhibur sendiri dari lirik-lirik ciptaanku. Tapi sekarang, semua itu semakin tak berarti, ketika negeri ini beralaskan darah, kabar angin adalah bencana, ucapan adalah hukuman, dan segalanya hanya luka yang sulit disembuhkan sampai kapan pun. Ya, semua kita terluka, tercabik lalu tercampakkan menjadi bangkai busuk tak terhiraukan.

“Anak muda, bila habis masa tuaku di atas tanah ini, lihatlah semua itu akan berubah. Penderitaan akan berakhir, tapi semena-mena akan menggelantung bagai awan diatas kepala. Semua orang di tanah ini merasakan keperihan, ketidak adilan, keserakahan penguasa karena mereka kelaparan. Tapi bukan, mungkin karena dhalim, atau juga bukan, mungkin mereka adalah setan.”

Aku tak menyahutnya lagi. Ketajaman kata-katanya membikinku kaku sendiri, seolah menahanku untuk menanggapinya walau sepatah ucapan. Tak ada yang melarangnya bicara, sehingga siang itu ia menjadi pemenang atas kata-katanya sendiri.

Keesokan hari kudengar tentang kematiannya. Ia tertembak pada saat peperangan di kampung kuala. Tak seorang pun sanaknya yang datang mengambil jenazahnya. Juga orang-orang tahu bahwa ia tak memiliki anak-isteri. Sehingga jenazahnya langsung disemayamkan di pekuburan umum.

Lelaki itu telah pergi di akhir kegundahannya menimang hidup di antara desing peluru. Terbiarkan segalanya berlalu. Namun sekali-kali, bila ada kenduri kawin di kampungku, akan ada orang yang menyebut-nyebut namanya. Tentang kepiawannya membaca hikayat dengan suaranya yang merdu. Memang, tujuh belas tahun yang lalu ketika lelaki itu masih hidup, orang-orang akan memanggilnya untuk membaca hikayat pada malam kenduri mengiringi orang kampung yang sedang mempersiapkan kenduri esok. Semalam suntuk, anak-anak muda bergadang. Benar-benar meriah, ditambah iringan kemerduan bunyi biola sang penunggang onta yang tiada henti-hentinya sampai menjelang subuh.

Ada seuntai ingatan yang mengenangkanku padanya; tentang perkataan dan syair yang terakhir dari lelaki itu. Betapa tidak, seolah ucapannya menitipkan sebuah duka esok hari yang kini sedang kujalani, saat ia telah menjadi belulang. Bukan berarti ia kuanggap melebihi Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah mengucapkan ketepatan kata. Namun, mungkin hal ini kebetulan belaka tentang gambarannya terhadap penguasa yang memimpin tanah ini, suatu hari kelak bila ia telah pergi menunaikan janjinya.

Aku tak mau berburuk sangka tentang penguasa yang dianggapnya setan. Bukankah mereka juga punya nurani untuk berbuat keadilan? Sungguh, mereka pasti berpikir tentang rakyat yang melarat, sengsara, juga busung lapar.■


address-book-2152426_960_720.jpg
Sumber


ENGLISH

Once, when the ground is under bullet control, life is just a breath of breath, the night is a pause of fear, a hope tomorrow will gaze at the sky as it once was, a man coming to me with a smile. Listening a piece of poet with a voice as if a groan of his heart wilted. Whispering it to the face of this infested land, who knows when they left it, shedding the soil again in consolation like him.

I barely heard the beginning of the poems, because I considered saturating. It does not mean anything anymore when his fretting tone is hummed. I still consider the braggart who afterwards expects an interest in his words. Before, I was sure he would not go away before reaching into my pocket. Because I really know the man. My villager called him "The Rider of the Camel" because he rode a camel bike that had not been around since. I remember, at the age of ten years he had come to all villages on the coast of the Indian Ocean according to my grandfather's words. Not only my village, every time rice harvest always looks the stem of his nose. His life is like the servant to the beauty of the lyrics of his poetry. No one can get rid of him before the villagers listen and give him the jerk.

But that afternoon after he recited his verse, he immediately got up, about to leave. I looked at him in surprise, why not as I thought. Had he sufficed his life, so that he no longer wanted the gifts of his hearers?

Out of curiosity, I caught the desire of the camel rider. A question kuhalau step. "Where will I go? Why hurry up, do not you want to wait for me to get the money first? "

At that moment there was no money in my pants pocket, I had to go inside the house to pick it up. I deliberately wanted to give it more than I ever gave her a few months ago. However, the man was stunned after hearing my words. He sighed, like a mountain of corals hit him. Even a cynical tone that might have occurred to her then. Because I look at his face who immediately extinguished, staring blandly into my yard. On nothing there is nothing but a few wilting orchids in the midday sun, and a barrenness of its heart that no longer expects anything on this land.

He did not answer me immediately. But pulled out a sheet of poetry. There is hope in the eyeballs that I read, I enjoy the beauty of the language, I examine the depth of its meaning. Maybe not at that time. But tomorrow, or when the opportunity is left.

I do not reject it, what else is a gift from him. After I got the paper, I put it on the table. Then he sat back on the pew. Releasing a dull, white cloth bag from her shoulder. Then answer my question, like the preacher who advised his congregation.

"Young man, I am not unwilling to accept your kindness, even that is my expectation in the previous days. But all that will end here, I do not want to continue to breathe life for a span for my own life, which I kulahap of a life uncertain my brother. Do you know that I have spent this lifetime with what I do? Yes, that's your answer. Everyone knows, I am the one who has lived with poems. In fact I marry my poetry. I do not need anyone to cheer me up. Because I am consoled myself from the lyrics of my creation. But now, that is all the more insignificant, when the country is blooded, rumors are a disaster, speech is a punishment, and everything is just a hard wound to be healed forever. Yes, all of us are injured, torn and then thrown into a dead carcass ignored.

"Young man, when my old age is over this land, behold it will change. Suffering will end, but arbitrarily will hang like a cloud overhead. Everyone in this land feels the pain, the injustice, the greed of the rulers because they are starving. But no, maybe because of dhalim, or not, maybe they are demons. "

I did not answer him anymore. The sharpness of his words brings me stiff, as if to keep me from responding in spite of a word. No one forbade him to speak, so that afternoon he became a victor over his own words.

The next day I heard about his death. He was shot during a war in the village of kuala. None of his relatives came to take his body. Also people know that he has no children and wives. So that his body was immediately buried in public graveyard.

The man had gone at the end of his misery waving a life among the whistles of a bullet. Let everything pass. But occasionally, if there is a marriage in my village, there will be people who mention his name. About his ability to read the saga in his melodious voice. Indeed, seventeen years ago.

(Pondok Kates, 2018)