Garam itu “Hidup ku”
Gerakan searah dan lurus terlihat begitu indah dan menarik untuk diiukuti. Ya, menggunakan alat tradisional Creuh gerakan mengorek tanah sebagai bahan baku adalah step yang setiap hari dilakoni oleh petani Garam di Gampong Baet-Aceh Besar. Sejarah kuliner menggambarkan garam tidak dapat dipisahkan berbagai jenis kuliner di Dunia ini. Dibelahan dunia manapun Garam menjadi iconic nya suatu masakan, baik sebagai penyedap yang alami maupun sebagai bahan untuk pengawetan yang alami.
Di Aceh besar tepatnya, Gampong Baet, pembuatan garam menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat yang menempati wilayah pesisir. Tanah, air, kayu bakar merupakan mainan keseharian yang dilakoni hampir setiap hari oleh para petani Garam, Tidak terkecuali perempuan yang ambil bagian dalam menghasilkan garam terbaik dan menjadi masukan utama untuk menyokongi hidup keluarga.
Bahagia dan bersyukur mendapat Kesempatan untuk dapat melihat langsung proses pembuatan garam tradisional di Gampong Baet, mata lensa dan pastinya mata saya langsung tertuju kepada gubuk tua yang beratapkan rumbia, seorang perempuan sedang melakukan gerakan harmonis dengan peralatan sederhana. Perbincangan pun dimulai dengan saya meminta izin untuk bisa memotret proses hingga menjadi garam. Dengan friendly nya orang-orang yang berada disekitar area pembuatan garam menyambut baik niat saya untuk bisa mendokumentasikannya.
Ada banyak pengetahuan dan pengalaman yang unik dan belum terkhabarkan secara booming ke dunia luar, misalnya bagaimana petani garam tradisional mempertahankan tradisinya yang tidak mengganggu keseimbangan alam, yaitu dengan metode pucuk mangrove, garam bisa dinilai sudah matang atau belum. Metode ini terus diturunkan oleh generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Namun reward dari berbagai pihak untuk dapat mengapresiasi potensi lokal ini belum menuai hasil. Belum lagi petani garam tradisional harus berhadapan dengan berbagai persoalan dan hambatan yang lainnya, misalnya nilai jual dipasar lebih rendah daripada garam yang diproduksi massal. Dengan harga murah dipasar, petani garam harus terus memutar otak, untuk bisa memproduksi garam setiap hari dan kemudian di jual sehinga priuk, piring dan gelas dirumahnya dapat terisi dengan baik walau lauknya hanya berisikan ikan asin dan kadang-kadang hanya dengan nasi dan sayur saja untuk mengisi perut selepas lelah memproduksi garam.
Cerita hangat terus mengalir, sesekali tertawa bahagia mengiringinya dan bahkan curhatan yang mengisakkan Dada, misalnya bagaimana nasip petani garam tradisional dikepung dengan garam impor dari luar negeri. Dan seharusnya Negara hadir untuk menjawab berbagai persoalan petani garam tradisional yang selalu setia menjaga keberlangsungan tanah sebagai sumber-sumber kehidupan manusia.
Untuk jawaban paling bawah itu yang masih dirasakan oleh petani garam khususnya yg ada di Baet juga. Semoga semuanya semakin makmur dan lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah.
mari kita Aamiiiinkan bersama wak @kemal13
...hehe
Setuju kak seharusnya negara hadir dg solusi menjaga agar garam lokal harus tetap asin di pasar.
semoga Negara cepat tersadar dari tidur panjangnya ya @fauziulpa..hopefully
Luar biasa buk, semoga garam lokal kita asin kembali.
terimakasih banyak @silvira mari kita berdoa dengan harapan yang sama , semoga asinnya garam lokal nantinya murni bebas dari politik negara
Smg kedepannya pelaku usaha tani bisa lebih makmur
Aamiiinn dan sejahtera @fararizky kaan
semoga garam tetap asin dan tidak ingkar janji...apa hubungannya ya...??? kwkwkwkwkw
serta rajin menabung ,,, tambah ga nyambung lagi ya Bg @awinyaksteemit..wkwkkwwk