(Story) WANITA PILIHAN
Runi menghela nafas, memandang nanar dari jendela kaca mobilnya yang gelap.
Ada yang menggenang di ujung matanya yang cantik, cepat disekanya dengan ujung jarinya.
"aku sudah terlambat" gumamnya lirih. Bergegas Runi pacu mobilnya meninggalkan tempat itu.
Runi merasa hidupnya sudah lengkap dan bahagia.
Runi dikaruniai Tyara , anak semata wayang yang cantik dan pintar.
Tyara yang beranjak remaja tetap saja canda manjanya meluruhkan segala penat setelah seharian Runi berkutat dengan pekerjaan kantor.
Sebagai Manager di sebuah perusahan besar membuat Runi sering pulang larut malam.
Untunglah Runi mempunyai suami yang baik, sabar dan sederhana.
Mas Bima adalah lelaki kekar yang lembut, tidak sekalipun berkata kasar padanya.
Mas Bima yang bekerja sebagai wartawan di sebuah koran lokal mempunyai waktu yang luang untuk menemani dan mengurusi Tyara.
Runi merasa bersyukur mempunyai suami seperti Mas Bima.
Runi juga tidak mempermasalahkan gaji mas Bima yang jauh lebih kecil dari gaji Runi.
Hampir tidak pernah Runi meminta uang pada suaminya.
Jika lelaki itu memberikan gajinya , Runi biasanya menolak dengan halus.
"Mas Bim simpan aja,buat operasional mas Bim dilapangan, Runi udah ada"
Mas Bima biasanya hanya tersenyum, menyium kening dan pipi istrinya.
Runi merasa rumah tangganya baik baik saja, sebelum Runi dengan tidak sengaja membaca sms seseorang dari HP jadul suaminya.
"Ayah, anterin bunda ke RS"
Pesan itu bagaikan arus listrik yang mengaliri seluruh tubuh Runi.
Runi ingat baru saja suaminya begitu bergegas keluar dari rumah, pamit begitu saja pada Runi yang sedang di kamar tanpa menyium kening Runi seperti biasa.
Runi segera mengambil kunci mobilnya, dan berharap tidak kehilangan jejak suaminya.
Runi merasa bisa menyusul mas Bima, karena belum begitu lama mas Bima keluar dari rumah megah mereka.
Motor butut yang dikendarai suaminya dan rumah Runi yang agak jauh dari gerbang komplek elite memungkinkan Runi bisa menyusul mas Bima.
Dari kejauhan Runi melihat punggung tegap suaminya yang tampak memacu motor bututnya.
Jantung Runi berdegup kencang, dia agak ambil jarak agar suaminya tidak mengetahui kalau dirinya diikuti oleh Runi.
Runi ingin tahu kemana suaminya, siapa yang kirim sms di HP suaminya, siapa yang dimaksud dengan ayah atau bunda?
Runi terlatih dalam banyak masalah, sejak kecil Runi dididik ayahnya untuk jadi wanita yang tangguh ,tidak gegabah dan berhati hati dalam mengambil langkah atau keputusan.
Begitu juga dalam masalah yang sedang dihadapinya saat ini.
"Ini masalah besar bagiku..aku harus amati dulu sebelum aku menyimpulkan dan membuat keputusan yang salah " batin Runi.
Setelah beberapa lama, Mas Bima nampak membelok pada sebuah gang yang agak sempit.
"Sial..mobilku gak bisa masuk"
Runi bergegas memarkir mobilnya di ujung gang.
Dia keluar dan berjalan berharap akan menemukan dimana suaminya berada.
Setelah beberapa langkah yang cukup jauh, Runi melihat motor butut suaminya diparkir di teras sebuah rumah bercat hijau.
Rumah yang begitu sederhana, bersih dan sejuk.
Runi menghentikan langkahnya. Runi merasa ragu, apakah dia harus masuk atau hanya mengamati saja.
Tiba tiba seorang anak SMP seusia Tyara mengagetkan kebimbangan Runi
"Nyari siapa bu, nyari mb sari ya, mbak sari baru aja pergi bu, dianter suaminya ke rumah sakit"
Deg..suaminya??
Berpayah Runi mengendalikan hatinya, berusaha tenang.
" Oh kok motor suaminya ditinggal? naik apa tadi mereka?"
Runi berusaha memancing agar pertanyaan2 di benaknya menemukan sedikit jawaban.
" Naik taksi tadi bu, lewat jalan yang sebelah rumah itu"
Runi melihat ada jalan yang agak besar dan bisa dilalui mobil di sebelah rumah paling ujung.
Selisih tiga rumah dari rumah Sari.
"Emang sakit apa mbak sari, dek?"
"Kan mau melahirkan bu..maaf ibu siapanya mbak sari, nti saya sampaikan."
"Oh, saya teman sekolahnya dulu, mau nyari kontrakan daerah sini..ya sudah dek makasih ya, nanti saya kesini lagi"
Runi cepat melangkahkan kakinya menuju mobilnya diujung gang.
Gemetar dalam melangkah, lunglai seluruh tubuh dan jiwanya.
Hatinya seperti tersayat, antara percaya dan tidak, sejuta tanya menggenangi matanya.
Hampir tengah malam Runi pulang, dia mendapati suaminya tertidur di sofa ruang tengah.
Perlahan Runi duduk disamping suaminya.
Berlinang air mata Runi, Runi merasa dikhianati.
Kurang apa aku mas, selama ini aku tidak pernah menuntut macam macam padamu, apa kurang pengorbananku, bekerja tidak kenal waktu, untuk siapa mas, aku lakukan itu untuk keluarga kita, untuk Tyara, untuk kebutuhan keluarga kita.
Aku korbankan waktuku karena aku tahu , pendapatanmu belum cukup untuk cita cita kita pada Tyara.
Aku menghargaimu, tidak menuntutmu dalam segi materi dan aku merasa tidak kurang dalam melayanimu..
Apa yang salah dan kurang pada diriku mas Bim.."
Begitu lirih dan pedih Runi menggumam, seperti tidak ingin suaranya membangunkan suaminya.
Runi mengambil selimut, diselimutinya suaminya.
Dipandangnya wajah lelaki itu. Lelaki yang telah 16 tahun bersamanya.
Lelaki paruh baya yang masih selalu tampan dimata Runi, sekilas ia mengecup pipi Bima, sebelum Runi menghilang di balik pintu kamarnya.
Hampir seminggu ini Runi mencari tahu tentang Sari, dengan berpura pura mencari kontrakan, Runi menggali informasi pada tetangga2 sekitar rumah sari.
Suasana di keluarga Runi biasa saja, seakan tidak terjadi apa apa.
Suami Runi juga bersikap mesra seperti biasa tanpa menyadari ada luka di mata Runi.
Runi memang mengkondisikan seperti itu, dia ingin semuanya jadi jelas terlebih dulu hingga dia tahu siapa yang salah disini.
Selama Runi mengawasi rumah Sari, Runi belum pernah melihat sari, rumahnya tertutup rapat.
Dari informasi yang dia dapat, Sari adalah janda satu anak yang masih berumur 4 tahun. Suaminya meninggal karena kecelakaan saat anak sari berumur satu tahun.
Ternyata rumah itu bukan rumah sari, tapi sari mengontrak rumah hijau itu sejak lima tahun yang lalu bersama suaminya yang terdahulu.
Ibu yang punya toko di ujung gang menyebutkan kalo sari menikah lagi dua tahun yang lalu.
Ya, menikah secara siri dengan Bima, suamiku..
Terbayang sosok sari yang cantik,
muda, seksi, menggoda.
Hingga pantas kamu berpaling dariku mas Bim...
Sore itu, Runi kembali memenuhi rasa penasarannya pada sosok sari.
Dia memgawasi rumah sari dari dalam mobil. Sengaja Runi pinjam mobil salah satu rekan bisnisnya untuk menjaga kalau suaminya mengenali mobil Runi.
Di halaman rumah hijau itu, Runi melihat motor butut suaminya, dan pintu rumah terbuka.
Di dekat pagar, ada beberapa jemuran baju bayi.
Hmm..benar rupanya mas bima baru saja punya anak..getir dalam hati Runi.
Dari dalam rumah ada seseorang yang keluar, Runi sangat mengenalnya.
Laki laki itu keluar sambil menggendong seorang bayi mungil. Dibelakangnya seorang gadis kecil yang berkucir mengikutinya.
Gadis kecil itu melompat lompat riang ingin melihat bayi dalam gendongan.
Mas Bima tampak tertawa, lalu menunduk, agar gadis kecil itu bisa mencium adiknya.
Mas bima juga nampak menyium bocah kecil itu lalu menyium bayi dalam dekapannya.
Tatapan teduh penuh kasih sayang jelas terlihat oleh Runi.
Runi seakan sadar, tatapan bahagia seperti itu sudah lama tidak Runi temukan pada raut wajah suaminya.
Begitu lepas, sumringah, bahagia.
Perasaan Runi berkecamuk, campur aduk, hampa, sedih, cemburu.
Lelaki itu masih menimang bayi itu, kemudian seperti ada yang memanggil namanya, lelaki itu menoleh dan masuk kedalam rumah.
Tak lama lelaki itu keluar dengan mendorong kereta bayi.
Oh..bukan kereta bayi..itu kursi roda.
Diatas kursi roda duduk seorang wanita cantik berperawakan kecil berhijab, memangku bayi mungil.
mereka penuh tawa dan canda..
Mas bima berjongkok di depan wanita itu, menghalangi pandangan penasaran Runi.
Beberapa saat, Mas bima menyondongkan badannya kedepan.
Runi melihat salah satu tangan wanita itu melingkar ke leher mas Bima.
Mas Bima menggendong wanita itu dengan bayi yang masih di dekapannya.
Runi berdesir, darahnya seakan mendidih, kebencian seakan magma yang siap membuncah.
Runi ingin keluar dari dalam mobil, kesabarannya sudah habis.
,"Aku akan labrak saat ini juga!!"
Kesadaran,.ketenangan, logika,pengendalian emosi yang dipertahankan Runi melayang entah kemana.
Mata Runi memerah, tangannya mengeras dan siap membuka handle pintu mobil.
Runi tercekat, saat melihat , Sari tidak berkaki..!!
Sepertinya sari cacat, kakinya mungkin hanya sebatas lutut.
Runi mengurungkan niatnya, dia melihat secara jeli kembali.
Ya, benar Sari cacat, ada ruang kosong sebatas lututnya, terlihat jelas dibalik gamisnya saat mas Bima membopong sari dan memindahkannya di kursi panjang di halaman rumah mereka.
Rasa amarah benci, seakan sirna.
Runi terduduk lemas, apa yang ada dipikirannya saling berkecamuk.
Runi sekali lagi melihat mereka, mereka duduk berdampingan, saling tertawa dan bahagia.
Sesekali mas Bima membelai kepala Sari , dan Sari merebahkan kepalanya ke bahu Mas Bima.
Kebiasaan itu dulu sering Runi lakukan juga, saat sore menjelang, duduk berdua ditaman belakang.
Saat itu Runi belum begitu sibuk karena kariernya.
Ada rasa sunyi menjalari batin Runi.
Runi duduk terpekur beberapa saat, memulas dan menyusun kepingan dari jawaban semua tanda tanya di benaknya.
Runi seakan menemukan jawaban atas peristiwa ini.
"Aku yang salah ternyata, Mas Bima butuh egonya sebagai laki laki, dia merasa tidak berharga, merasa tidak dibutuhkan. Karena semua aku mampu lakukan sendiri, bahkan kewajiban mas Bim menafkahiku secara materi juga aku kebiri"
Runi melihat kembali, ada rasa bersalah dan iba ketika pandangannya beralih ke sari.
Sari mungkin lebih membutuhkan Mas Bim daripada aku, dan mas Bim juga menemukan sosok yang membuatnya merasa dibutuhkan.
Runi tidak menyangka bayangannya akan sosok sari yang janda, seksi, menggoda hilang begitu saja.
Runi melihat sari sebagai wanita yang cantik, wanita cacat yang berhijab, yang sangat butuh sosok seorang lelaki yang menafkahinya secara lahir dan bathin.
Mungkin kakinya diamputasi saat mengalami kecelakaan bersama suaminya, gumam Runi
Runi teringat Tyara, teringat rumah tangganya yang dia kira baik baik saja.
Dua tahun lelaki ini berhasil menyimpan wanita lain, tanpa perubahan sikap pada Runi.
Runi sudah membulat dalam keputusannya.
Runi menghela nafas, memandang nanar dari jendela kaca mobilnya yang gelap.
Ada yang menggenang di ujung matanya yang cantik, cepat disekanya dengan ujung jarinya.
"aku sudah terlambat" gumamnya lirih. Bergegas Runi pacu mobilnya meninggalkan tempat itu.
Runi harus menghadiri rapat dengan koleganya malam ini.
Ada perasaan lega menyusup di dadanya. Suasana senja dalam perjalanannya kekantor menjadi begitu indah.
Besok dia akan ambil cuti, dia akan mengajak Tyara bersamanya, menemui papanya dan berkenalan dengan ibu serta dua adiknya yang baru.
T A M AT