Dayah lembaga tertua pendidikan di atjeh

in #study7 years ago

Dayah Lembaga Tertua
Pendidikan Tertua
Masyarakat Aceh
Sejarah Pendidikan Islam di Aceh
Secara keseluruhan dapat dikatakamn bahwa Aceh sebelum diperang oleh bBelanda pada Tahun 1873 adalah daerah kerajaan. Ada beberapa kerajaan yang terdapat di daerah Aceh pada masa lalu yaitu kerajaan Islam Pereulak di bagian Aceh Timur, Kerajaan Jempa di Aceh Utara, Kerajaan Pidie di bagian Aceh Pidie dan kerajaan Daya di bagian Aceh Barat. Diantara kerajaan-kerajaan itu yang terkenal sampai sekarang Kerajaan Pase dan Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada abad ke-17 kerajaan islam Aceh masih di catat sebagai salah satu negara yang kuat dan maju di antara 5 negara di dunia yaitu kerajaan Mughal di India, Kerajaan Safawi di Isfahan, Kerajaan Islam Maroko di Maroko, kerajaan Turki Ustmani dan kerajaan Islam Aceh Darussalam di Aceh. Sebuah negara itu akan kuat kalau kuat ekonominya politiknya, dan militernya. Hal ini semua diperoleh melalui lembaga pendidikan, baik pendidikan formal maupun melalui latihan-latihan.
Kerajaan pase dan kerajaan Aceh Darussalam, seperti juga kerajaan lain di Aceh di waktu itu adalah kerajaan Islam. Maka dapat di pahami bahwa pendidikan yaang berlaku pada kerajaan tersebut adaah pendidikan agama Islam. Hal yang semacam ini bukan saja berlaku pada kerajaan pase dan kerajaan Aceh Darussalam tetapi juga pada seluruh negeri Islam. Anak-anak dididik oleh orang tuanya,baik lansung oleh Ibu Bapaknya sendiri atau diserahkan belajar di rumah seorang Guru atau di tempat belajar seperti di Masjid atau Meunasah. Pada masa itu belum ada sistem pendidikan sekolah seperti sekolah sekarang ini. Satu-satunya tempat belajar untuk umum adalah Dayah, sedangkan Meunasah berfungsi sebagai tempat belajar anak-anak di kampung dan orang-oran tua dalam bidang agama.
Bila diteliti sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia dan Aceh khususnya, maka kita akan berkesimpulan, bahwa Dayah sudah cukup berjasa dalam mendidik anak bangsa. Mungkin jika belanda tidak datang ke ACEH untuk memenuhi keinginannya menjajah Bangsa Aceh termasuk menghancurkan sejumlah lembaga pendidikan Dayah bersama kitab-kitab di perpustakaannya, mungki Bangsa Aceh masih merupakan salah satu bangsa di antara bangsa yang maju di dunia ini.
Peninggala dunia pendidikan masa itu dapat kita lihat dari nama beberapa Ulama besar dengan dayahnyayang telah meninggalkan nama harum untuk agama dan masyarakat serta karangan-karangannya dalam bidang ilmu Agama, akhlak, sejarah dan lainnya. Pendidikan dayah pada masa itu mulai di tingkat rendah, tingkat menengah sampai tingkat tinggi. Kalau pelajaran di rumah atau di Meunasah pada umumnya dalah tingkat rendah. Tetapi bila Teungku atau Ulamanya di undang untuk mengajar di rumah ada juga tingkat tinggi bahkan juga pada tingkat khusus dalam suatu cabang pengetahuan. Misalnya untuk mengajar putra-putra Uleebalang dan orang terkemuka.
Pendidikan di Dayah kalau ditingkat rendah biasanya diajarkan oleh seorang santri yang sudah tinggi ilmunya. Begitu pula di bagian menengah diajarkan oleh seorang antri yang sudah lebih tinggi ilmunya. Santri-santri pengajar tadi dinamakan Teungku Rangkang, sedangkan Teungku-teungku Rangkang tadi diajarka oleh Teungku Syik(Ulama Besar) yang biasanya pemimpin dayah itu sendiri.
Di masa-masa kesultanan di Aceh, lembaga pendidikan Dayah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Ini di buktikan dengan jumlah dayah di Aceh Terus berkembang, demikian juga dengan jumlah Ulama yang mengajar, selain Ulama tempatan yang semakin lama semakin tumbuh sulthan juga mengundan Ulama-ulama dari luar negeri. Ulama-ulama yang di undang tidak hanya untuk mengajar tetapi juga untuk kebutuhan kerajaan sendiri sebagai konsultan bidang hukum agama. Sebagian Ulama turut memperdalam ilmunya di luar negeri terutama sekali ke Makkah dan ke Madinah.
Bukti lain adalah terdapat sejumlah kitab-kitab ilmiah yang bereputasi internasional yang di tulis oleh sejumlah Ulama Aceh. Beberapa kitab peninggalan mereka sejak dulu telah menjadi bahan kajian para ilmuan kampus di universitas-universitasi nternasional. Pemikiran 4 Ulama Aceh( Hamzah Alfansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili) telah memberi warna pemikiran Islam di Asia Tenggara sejak abad 16-17 bahkan juga sampai sekarang. Kitab Tafsir lengkap 30 Juz dalam bahasa Melayu (sekarang menjadi bahasa Indonesia) yang pertama di tulis oleh Ulama Aceh, yaitu Syeikh Abdurrauf As-Singkili
Dayah, pesantren dan Surau
Lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh adalah Dayah. Lembaga pendidikan semacam dayahini di Jawa di kenal dengan nama Pesantren, di Padang di sebut Surau, sementara di Malaysia dan Pattani(Thailan) di Sebut Pondok. Kata Dayah, juga sering diucapkan Deyab oleh masyarakat Aceh besar, di ambi dari bahasa Arab Zawiyah. Istilah zawiyah yang secara literal bermakna sebuah sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar sahabat pada masa awal islam.
Kendatipun, dayah dianngap sama dengan pesantren di Jawa dan surau di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan tersebut tidaklah persis sama, setidak-tidaknya latar belakang historisnya. Pesantren telah ada sebelum Islam tiba di Indonesia. Perbedaan lain antara pesantren dan Dayah, yakni pesantren menerima anak-anak semenjak mengaji dasar(alif ba ta), sementara dayah menerima orang dewasa saja. Syarat minimal yang dapat di terima di dayah adalah telah menyelesaikan sekolah dasar, maupun membaca Al-Qur’an dan bisa menulis bahasa Arab.
Berbeda dengan sejarah surau di Minangkabau, Sumatera Barat, adalah perumpaan suatu institusi penduduk asli Minangkabau yang telah ada sebelum datangnya islam ke Minangkabau. Biasanya surau ini milik satu Suku ataau indu, dan dibangun untuk melengkapi rumah gadang( rumah adat) yang terdiri atas beberapa famili (dikenal sparuik atau satu keturunan) yang tinggal di bawah kepemimpinan seorang datuk(kepala suku). Agaknya surau sudah pernah dipergunakan sebagai tempat untuk ritual agama hindu-budha sebelum Syeikh Burhanuddin Ulukan memperkenalkan sistem pengajian dayaah di sana. Berdasarkan hal tersebut pada tahun 1956 Raja Adityawarman memebangun surau di sekitar perumahan Bakti Gombak, dan kelihatannya surau tersebut di pergunakan untuk melayani anak muda agar mendapat pengetahuan tentang adat istiadat. Pada masa tersebut surau juga berfungsi sebagai tempat berkumpul, tempat musyawarah, dan tempat tidur anak laki-laki yang meranjak dewasa atau orang laki-laki tua. Fungsi ini sesuai dengan adat Minangkabau bahwa anak laki-laki tidak punya kamar di rumah gadang orang tua mereka. Hanya anak perempuanlah yang tinggal di rumah gadang kamar yang dibuat oleh orang tua mereka. Ketika islam datang surau di islamisasikan, yaitu di samping sebagai tempat pertemuan dan tempat tidur, surau menjadi tempat memepelajari agama Islam, membaca Al- Qur’an dan tempat Shalat. Manakala menjadi tempat shalat di awal berkembangnya islam surau telah berfungsi sebagai Masjid kecil.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dayah, pesantrean dan surau memepunyai latar belakang sejarah yang berbeda. Kendatipun mempunyai fungsi ang sama untuk sekarang ini,. Penting dicatat bahwa pendidikan dayah mengharuskan murid-muridnya menetap di dayah, yang di sana terdapat rumah-rumah untuk guru dan asistennya, asrama santri, dan juga Masjid atau mushalla(masjid kecil) dan ruang-ruang belajar untuk murid. Dayah ini di atur oleh seseorang atau beberapa orang yang di panggil teungku.