Tomyam, Penawar Rindu pada Thailand

Petang itu aku dilanda rindu, rindu Thailand. Sewaktu tinggal di Negeri Gajah Putih itu, nyaris setiap hari aku makan tomyam. Jujur, mulanya aku tidak begitu suka masakan tomyam. Menurutku, bentuknya seperti asam keu-eueng aceh. Namun, karena waktu itu aku memang sedang berada di negeri tomyam, mau tak mau, lidahku akhirnya terbiasa dengan tomyam.

Sejak tahun 2015, aku resmi kembali ke Aceh, negeri kelahiranku. Sejak itu, hilang sudah kebiasaanku makan tomyam. Kalau aku mau makan tomyam, aku tinggal mencari kedai nasi masakan Aceh yang ada asam keu-euengnya.

Hari ini sesuatu berbeda kurasakan. Meski sudah makan siang dengan asam keu-eueng, aku masih tetap ingin makan tomyam. Warna merah kuahnya terngiang-ngiang di benakku. Akhirnya makan malam aku benar-benar mencari warung yang ada tomyam.

Warung nadi dengan masakan tomyam tidak mudah di Banda Aceh. Jikapun ada, tomyam yang disajikan tidak sama dengan yomyam Thailand. Karenanya aku coba cari pelan-pelan.

Di Jalan P. Nyak Makam, Lampineung, ada sebuah kedai nasi dengan nama CH Corner. Setelah kuamati beberapa poster di depan kedai itu, sepertinya ini kedai khas Malaysia. Kulihat pada salah satu poster menu ada tomyam.

Aku masuk kedai tersebut. Kupesan tomyam. Dari bentuknya, tomyam di sini beda dengan warung di pusat kota Banda Aceh. Tomyam di sini tampaknya lebih bagus. Tatkala kucicipi, rasanya benar-benar Thailand, bukan rasa asam keu-eueng.

Kulahap tomyam tersebut sampai kering kuah-kuahnya. Rindu pada Thailand benar-benar terobati di warung CH Corner. Sungguh aku tak menyesal masuk warung ini. Bukan hanya karena rasa tomyamnya yang asli Thailand, tapi harga makanan di sini juga bersahabat.

"Ini tomyam asli Thailand ya, Bu?" tanyaku saat membayar makam malam aku dan keluarga.

"Iya, dibawa dari Malaysia."

Khittung Thailand, batinku sambil meninggalkan kedai di depan Hermes Palace Hotel itu.

Banda Aceh, 4 April 2018
HRN